Oleh : Sulfiza Ariska*
Suarakita.org- IRREBA telah menjelang. Saweri bersemayam di rakkeang. Tubuh telanjangnya hanya dibungkus kain kafan. Sebelum musim berganti, Saweri akan menjelma bissu sejati. Mantra-mantranya menjadi jembatan yang menyatukan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Siri’ jatuh ke telapak tangannya. Tapi, ia tidak menduga, serpih-serpih kenangan yang telah menjelma arang, tiba-tiba datang dan mendorongnya melanggar pantangan.
Malam itu, Saweri tersentak. Alunan seruling yang digiring angin, membelah dendang musik suci di bola arajang. Meski telah berpuasa empat puluh hari dan mendaraskan mantra-mantra suci, alunan seruling itu, tetap menembus jiwanya. Ia menggigil dikepung kenangan.
Dulu, Saweri pernah terpikat alunan seruling tersebut. Si peniup seruling, Palakka, telah membawa cahaya yang paling purnama, menerangi hidupnya yang selalu diselimuti gerhana. Saweri merasa tidak membutuhkan cahaya matahari, bulan, ataupun bintang. Baginya, Palakka adalah nur Ilahi yang menerangi semesta dirinya. Ia tidak menyangka, setelah menyerahkah selembar hatinya, Palakka menguap hilang dalam kabut silariang.
***
Sebagai calabai, hidup Saweri penuh serpihan-serpihan luka. Hari-hari yang dilaluinya hanyalah arus lara yang tidak memiliki muara. Caci-maki dan kerikil-kerikil setajam belati terus menghujani dirinya setiap ia melangkah di bawah matahari.
“Siapa pun yang melihat Calabai,” nasihat guru-guru mengaji, “selama empat puluh hari dan empat puluh malam, Allah tidak akan memberinya rezeki dan amal baiknya tidak memperoleh pahala.”
Semasa kedua orangtua Saweri hidup, bersama-sama mereka mendatangi puluhan sanro dan imam untuk berobat. Agar Saweri menjadi lelaki sejati. Berbagai upacara dilalui dijalani Saweri. Mereka tidak hanya meminta pertolongan pada Allah, tapi juga memohon bantuan Batara Guru. Sayangnya, semua usaha itu tidak menyisakan hasil. Hingga jenazah kedua orangtuanya diusung ke pemakaman, tubuh laki-laki yang dimiliki Saweri, tetap dikuasai jiwa perempuan.
Tanpa melalui cenning rara, pijar bidadari yang memendar dari wajah Saweri, semakin kuat. Membuat para lelaki terbakar berahi dan para perempuan dihanguskan iri. Tidak akan pernah terkikis dalam ingatan Saweri. Ketika melintasi Sungai Segeri—dalam perjalanan pulang seusai upacara maddoja bine—sekawanan berandalan menghadangnya. “Calabaimi ropale wasetongi anadara!” ejek mereka seusai menelanjangi dan menghanyutkan pakaian Saweri.
Para bissu yang mendengar jeritan Saweri yang dibawa angin, terbang ke Sungai Segeri dan menghalau para berandalan tersebut. “Jadilah bissu,” tutur Puang Matoa sambil melilit tubuh Saweri yang telanjang dengan sehelai kain lipa sabe, “maka kau akan dilindungi Batara Guru dan dihormati.”
Di kemudian hari, dalam perjalanan menuju upacara Mappalili, para berandalan tersebut, tidak lagi sekadar meraba-raba atau menelanjanginya. Kini, mereka menyeret Saweri ke dalam gerimbun kebun kopi, lalu berusaha menggagahinya bersama-sama. Bau tuak menguar dari mulut mereka. Aromanya masam dan tajam. Saweri memanggil-manggil Tuhan dan mendaraskan doa-doa penolak bala. Jeritannya membuat ranting-ranting kopi menggigil dililit nyeri.
“Tidak akan ada yang menolongmu,” umpat para pemuda tersebut. Mereka pun tertawa mesum.
“Tidak ada Tuhan yang melindungi calabai!” sambung pemuda yang lain.
“Benarkah?” tanya sebuah suara asing yang menyelinap dari sela-sela gerimbun kopi.
Saweri tersentak. Tubuhnya kejang. Tangisnya pun terhenti seketika. Sebelum para bajingan menyadarinya, sesosok tubuh melayang-layang serupa elang. Ia meradang dan menerjang mereka. Dalam sekejap, para berandalan yang berusaha menggagahi Saweri, tersungkur dan terluka. Tanpa bisa membalas serangan yang tiba-tiba itu, mereka lari tunggang-langgang, menyisakan seorang putra bangsawan yang telah lama menjadi purnama dalam mimpi-mimpi Saweri.
Pemuda itu bernama Palakka. Bagi Saweri, ia hanya indah dipandang, tapi tidak untuk diraih. Saweri sadar, dirinya hanyalah seorang calabai. Sedangkan Palakka bermartabat, lulusan sarjana sastra dari universitas ternama di Makassar, berjiwa ksatria, dan rupawan. Seumur hidup, Saweri meyakini, tidak ada lelaki yang melampaui kesempurnaannya. Palakka hanya bisa dikalahkan para malaikat, bukan lelaki biasa. Di mana-mana Saweri dihujani caci-maki dan kerikil-kerikil setajam belati. Sebaliknya, Palakka dikepung pujian. Banyak gadis, janda, ataupun perempuan bersuami berusaha memikat Saweri. Di antara mereka, Andi Soraya yang paling tergila-gila. Seisi kampung tahu, Andi Soraya, berulang kali meminta pelet dari sanro untuk menjerat Palakka.
Namun, kehidupan memang sebuah teka-teki abadi. Tidak seorang pun yang mampu meramalkan putaran roda takdir. Selama ini, Saweri merasa jarak seribu tahun cahaya memisahkan dirinya dengan Palakka. Tapi kenyataannya, saat ini Palakka hanya satu langkah di hadapannya.
“Mengapa kau datang padaku?” tanya Saweri heran.
“Puisi yang memanggilku ke sini,” jawab Palakka sambil menyelipkan bunga bakung di sela telinga Saweri. “Kamu lebih indah daripada semua puisi yang pernah kubaca,” sambungnya, membuat hati Saweri diretakkan kebahagiaan. Sambil menunggu Saweri mengenakan pakaian, Palakka meraih seruling dari pinggangnya dan meniupnya.
Sejak waktu itu, Saweri dan Palakka seolah tidak terpisahkan. Hari-hari Saweri penuh alunan seruling Palakka. Orang-orang takut dan segan pada Palakka. Mereka hanya bisa bergunjing di belakang mereka. Di sisi Palakka, Saweri selalu aman. Bahkan, Saweri pun berani memakai pakaian perempuan.
“Aku akan bekerja di Jakarta,” ujar Palakka suatu malam di pertengahan bulan September. Kala itu, ia dan Saweri larut dalam keramaian penduduk yang akan menyaksikan para bissu yang menarikan tari mabissu.
“Jakarta?” desis Saweri tak percaya.
“Ya!” sahut Palakka. “Ikutlah denganku. Kita bisa hidup bersama dan bebas dari pergunjingan. Besok malam, tunggu aku di lego-lego rumahmu.”
Sayangnya, roda takdir sering kali bergulir ke arah yang tidak dikehendaki dan menggilas mimpi-mimpi. Pada hari yang telah dijanjikan Palakka, sejak sore menjelang, Saweri bersimpuh di lego-lego. Pada sepotong cermin rias di tangannya, ia melihat bayangan seorang perempuan berkerudung dan berwajah jelita yang balas menatapnya. Wajahnya sendiri. Sungguh, ia tidak pernah berdoa agar Tuhan memberinya wajah jelita dan jiwa perempuan. Keduanya membuat dirinya menjadi manusia yang tidak utuh. Hanya Palakka yang mampu membuat dirinya merasa sempurna.
Sayangnya, hingga malam menjelang dan cermin tersebut pecah diremas Saweri, Palakka tak jua datang. Sambil membalut luka di telapak tangan kanannya, Saweri mendengar teriakan-teriakan geram memecah kampung.
“Silariang!”
“Silariang!”
“Palakka membawa lari Andi Soraya!”
Dalam keremangan malam, terlihat ayah Andi Soraya menghunus badik—bersama rombongan lelaki—berlari menuju gerbang kampung. Hati Saweri seketika tertusuk duri. Bertahun-tahun Saweri mencabut nama Palakka yang memenuhi hatinya. Lalu, ia membiarkan hatinya yang telah kosong ditumbuhi ilalang sunyi. Menjadi bissu adalah satu-satunya cara bagi Saweri untuk meraih siri’. Tanpa bissu, tidak akan ada seorang raja di Negeri Bone. Bila menjadi bissu, Saweri akan dihormati dan tidak lagi dibenci.
***
Kini, wuju—salah satu dalam prosesi irreba—telah nyaris purna, serupa rembulan yang perlahan-lahan menyabit purnama. Namun, alunan seruling yang menyelinap ke dalam bola arajang, membuatnya dada Saweri berdebar diketuk-ketuk kenangan. Di mana Palakka sekarang? Apakah Palakka bahagia? bisiknya dalam hati. Setelah bunyi seruling itu terhenti, lantai rakkeang menjerit lirih. Lalu sepasang tangan merobek-robek kain kafan yang membungkus tubuh telanjang Saweri. Wajah yang dulu menjadi purnama dan menerangi malam-malam Saweri—melayang di rakkeang. Saweri tergeragap. Sesaat ia merasa matirasa.
“Aku merindukanmu.”
“Mengapa kau pergi?” tanya Saweri parau sambil meraba-raba wajah purnama itu.
“Puisi yang membawaku pergi!” sahut Palakka. Sebelum Saweri bertanya kembali, Palakka melanjutkan, “dan puisi pula yang membawaku kembali.”
“Kau bisa dibunuh ayah Andi Soraya!” desis Saweri cemas dan marah.
“Aku tidak peduli!” balas Palakka sambil merengkuh Saweri.
Meskipun Saweri telah menduga Andi Soraya yang mencuri Palakka, tapi kesucian bola arajang tidak boleh dinodai. Saweri meronta-ronta dan menghindar. Alih-alih membuat Palakka menyerah, ia hanya membuat Palakka semakin dibutakan rindu. Temaram cahaya sulo menyepuh malam, membuat tubuh telanjang Saweri berkilau bagai pualam.
Saweri tidak pernah tahu puisi apa yang membuat Palakka datang, pergi, dan kembali. Mungkin puisi Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, Herta Müller, atau Rainer Maria Rielke. Tapi, malam itu, Palakka memasuki tubuh Saweri sambil mendesahkan puisi yang belum pernah didengar Saweri. Entah berapa bait puisi yang tercipta, sebelum badik mendesing di keheningan pagi dan tanah dimerahkan darah.
Catatan:
[1] Calabai: lelaki yang memiliki sifat perempuan yang sangat kental.
[2] Bola arajang: rumah penyimpangan pusaka kerajaan, tempat tinggal bissu.
[3] Batara guru: nenek moyang orang bugis
[4] Sanro: dukun
[5] Puang Matoa: ketua bissu
[6] Siri’: harga diri dan kehormatan
[7] Cenning rara: prosesi membuka aura di dalam diri. Dipercaya membuat seseorang semakin terlihat tampan atau cantik, sehingga mendatangkan jodoh lebih mudah.
[8] Maddoja bine: budaya padi sebelum menanam benih
[9] Calabaimi ropale wasetongi anadara: “Ternyata banci saya kira seorang gadis.” (kalimat ejekan dalam bahasa Bugis)
[10] silariang: kawin lari. Telah menjadi tradisi (hukum adat) Bugis: untuk mengembalikan kehormatan (siri’) keluarga pihak perempuan, laki-laki dari pihak perempuan wajib melukai laki-laki yang telah membawa ‘lari’.
[11] lego-lego: beranda rumah
[12] Irreba: prosesi yang dijalani calabai untuk menjadi bissu. Dalam proses wuju, calon Bissu dimandikan dan dibungkus kain kafan putih seperti mayat.
[13] rakkeang: loteng bagian depan bola arajang
[14] Sulo: lampu minyak tanah
[15] Bissu merupakan pendeta dalam agama tradisional Bugis yang berasal dari kalangan transgender. Kata Bissu berasal dari kata mabessi dalam bahasa Bugis, yang berarti bersih atau suci, karena tidak memiliki payudara dan tidak haid. Para bissu tidak menikah dan menyingkirkan hasrat seksualitasnya. Bissu berperan penting dalam upacara adat seperti upacara pelantikan raja, kelahiran, kematian, pertanian. Mereka nyaris punah karena adanya pembasmian (represi/pembunuhan) bissu oleh rejim militer, DI/TII, dan pemuda Anshor.
[16] Tari Mabissu atau tarian mistis dengan memutari benda yang dikeramatkan yang diyakini sebagai tampat roh leluhur beristirahat. Puncak dari Tarian Mabbisu adalah gerakan maggiri yakni menusukkan keris ke bagian tubuh seperti perut, telapak tangan, perut, dan tenggorokan.
*Penulis adalah pemenang unggulan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Tahun 2014, ia terpilih sebagai penulis emerging Indonesia dalam Ubud Writers and Readers Festival ke-11 di Bali.