Search
Close this search box.

[CERPEN] AKU MEMANG LESBI

Oleh: Suriana

Suarakita.org- “Aku memang lesbi. Lalu kenapa?” teriakku sembari berjalan menuju pintu. Kulangkahkan kaki dengan cepat. Tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanya ingin pergi dari tempat ini, dari rumah tempatku dibesarkan.

Aku berjalan menyusuri taman. Perlahan kubuka pagar. Dari dalam rumah terdengar suara teriakan memanggilku. Aku mengacuhkannya, kupercepat lagi langkahku. Seseorang menarik tanganku sebelum aku berhasil keluar.

“Mau kemana, Kak?” tanya Deni, adikku satu-satunya.

“Aku mau ketemu pacarku. Kenapa? Mau ikut?” jawabku ketus.

“Jauh-jauh dari aku. Aku sampah. Kau nda dengar paman bilang apa tadi tentangku? Nda takut pacarmu nanti kurebut?”

Adikku terdiam dan perlahan melepaskan tanganku. Sepertinya dia kaget dengan kalimat yang baru saja aku lontarkan. Kami saling bertatapan. Dia tampak terpukul dan sedih. Ah, andai ia bisa melihat kesedihan yang kualami.

“Biarkan aku pergi. Aku mau sendiri. Aku capek.”

Laki-laki yang terpaut dua tahun denganku itu terus menatapku tanpa kata. Aku melangkahkan kakiku lagi. Tepat di luar pagar, aku menarik napas. Aku merasa sedikit tenang. Kemabli kulangkahkan kaki. Seperti magnet, ada sesuatu yang menarik diriku untuk terus berjalan, tanpa tujuan. Pikiranku kosong. Bukan. Bukan kosong, mungkin terlalu banyak yang aku pikirkan hingga otakku tak mampu lagi bekerja.

Cukup lama aku berjalan hingga aku merasa lelah. Kupandangi sekitarku, tak ada siapapun. Aku memutuskan duduk. Tak ada lagi tenaga untuk berjalan. Kenapa sangat sepi, tanyaku. Sesaat kemudian terdengar suara adzan. Sepertinya ini adzan maghrib. Kulirik jam tanganku, pukul 18.18 WITA. Ternyata aku berada di dekat mesjid. Tetapi, kenapa sangat sepi? Apa manusia yang ingin beribadah dan dekat dengan Tuhannya sudah sangat sedikit? Ah, bullshit, untuk apa aku memikirkan hal itu? Cukup pikirkan bagaimana hidupku setelah ini, setelah pergi dari rumah. Tapi, dimana aku akan tidur malam ini? Siapa yang harus aku hubungi sekarang?

Kuraba isi tasku. Kukeluarkan semua isinya. Barang yang kucari tak ada. Where is my handphone? Tertinggal di rumah Nurul sepertinya. Ya sudah lah, kuputuskan untuk tinggal disini sejenak. Aku tak butuh siapapun saat ini, juga Nurul.

Nurul? Ah, perempuan itu telah banyak mengubah hidupku. Ialah pacar pertamaku. Nurul membantuku mnemukan jati diri yang sebenarnya. Ia membuatku lebih bisa menikmati hidup yang sebelumnya sangat membosankan. Kuliah, pulang, tugas. Tiga hal yang menghantuiku semenjak memasuki dunia perkuliahan setahun yang lalu. Ia juga yang memberiku kekuatan agar lebih berani mengekspresikan diri, mengekspresikan apa yang aku pikirkan dan inginkan. Teman sekelasku bahkan terheran-heran melihat perubahanku. Mereka bertanya organisasi apa yang aku geluti karena biasanya mahasiswa yang aktif dalam organisasi lebih vokal dan berani menyampaikan pendapatnya. Setiap kali mendapat pertanyaan seperti itu, aku selalu menjawab dengan candaan. Candaan. Ya, bercanda, hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya di depan mereka.

Aku bertemu dengan Nurul enam bulan lalu. Saat itu aku berada di Perpustakaan Daerah, mencari refrensi untuk tugas. Seperti biasa, aku menyempatkan diri membaca novel dari pengarang favoritku, Tere Liye. Saat sedang asyik membaca, Nurul menyapaku.

“Suka Tere Liye juga?”

Aku tersenyum. “Iya,” jawabku singkat.

“Novel mana yang paling kamu suka?”

“Aku suka semuanya. Jadi kalau ditanya yang mana yang paling aku suka, aku nda bisa jawab.”

“Kalau aku, aku paling suka Berjuta Rasanya,” ungkapnya.

“Suatu saat jika kau beruntung menemukan cinta sejatimu, lalu saling bertatap untuk pertama kalinya, waktu akan berhenti. Seluruh semesta alam takzim menyampaikan salam. Ada cahaya keindahan yang menyemburat, meggetarkan jantung. Hanya orang – orang yang beruntung yang bisa melihat cahaya itu, apalagi berkesempatan bisa merasakannya.” Perempuan berhijab itu tersenyum manis padaku.

“Nurul,” panggil seseorang. Si pemilik nama mencari asal suara itu. Dia tersenyum ketika melihat orang yang memanggilnya, seorang perempuan yang juga berhijab.

Balik yuk?!”

“Sekarang? Baru aku mau ngobrol sama cewek cantik di sebelahku ini,” ucapnya sembari melirikku. Aku hanya tersenyum.

“Bisa minta nomer hapenya? Kita bisa tukar-tukaran koleksi novel Tere Liye, gimana? Berminat?” tawarnya.

“Boleh,” aku mengiyakan.

Nomer kamu?” menyodorkan handphone.

Aku mengetik nomor handphoneku di layar utama.

“Ini,” ucapku setelah selesai.

“Nama kamu?”

“Rena, Rena Wulandari.”

“Oke Rena, aku miss call ya.”

Handphoneku berdering. Kuraih barang mungil yang semenjak tadi tergeletak di hadapanku.

“Nama kamu?” Aku tersenyum.

“Ya ampun, hampir lupa.” Menyodorkan tangannya.

“Nurul Ayu Permatasari, panggil saja Nurul.”

Malam harinya kami mulai berkomunikasi. Membicarakan Tere Liye dan karya-karyanya. Tak hanya Tere Liye, kami juga membicarakan mengenai aktivitas kami sehari-hari. Dia yang saat ini bekerja di toko buku dan aku yang kuliah. Sejak saat itu kami menjadi sangat dekat. Dia sering mengajakku jalan atau sekedar makan siang. Aku juga sering diajak berkumpul dengan teman-temannya. Aku merasa sangat nyaman dengannya. Bagaimanapun juga aku belum pernah sedekat ini dengan siapapun. Tapi kenyamanan itu berubah saat ia menyatakan perasaan padaku. Aku terkaget. Tak terpikirkan sama sekali olehku untuk menjalin “hubungan” terlebih dengan seorang perempuan karena aku juga adalah seorang perempuan.

Semalaman aku berpikir. Aku tak ingin jauh dari dia karena bisa jadi aku tak akan menemukan teman sebaik dia. Terlebih ia adalah sahabat pertamaku. Di sisi lain, aku tau bahwa dalam agamaku, “hubungan” sesama jenis dilarang dan dilaknat. Belum lagi stereotip masyrakat mengenai hal itu. Aku bisa saja dikucilkan jika menjalin “hubungan” sesama jenis. Pada akhirnya kuputuskan berhenti berkomunikasi untuk sementara waktu. Aku memberitahu Nurul. Dia mengiyakan.

Nurul, ia sangat pengertian. Perempuan lembut yang memperlakukanku dengan baik. Ia pula yang perlahan membatuku keluar dari zona nyaman, kesendirianku. Ia berkata bahwa hidup akan lebih membahagiakan jika memiliki banyak teman. Sejalan dengan itu untuk menjadi seorang penulis aku harus menemu-kenali banyak karakter di kehidupan nyata, bukannya terjebak sendiri di dalam kamar. Aku mulai bersosialisasi dengan teman-temannya. Aku juga memberanikan diri untuk menyapa teman-teman sekelasku dan menyampaikan pendapatku saat diskusi perkuliahan. Ia benar. Hidupku lebih bahagia. Aku menemukan banyak karakter yang bisa kujadikan inspirasi untuk tulisan-tulisanku.

Seminggu berlalu, aku merasa sangat kesepian tanpa Nurul. Aku yang biasanya sangat nyaman berada di kamar seharian, kini tidak lagi. Aku mencoba berjalan-jalan sendiri, terkadang pula mengajak salah satu teman sekelas. Aku menyibukkan diri dengan segudang aktivitas yang tidak melibatkannya. Tapi semakin menghindar, semakin aku ingin bertemu. Apakah aku mulai merindukannya? Apakah perasaan kita sama? Apa yang harus aku lakukan? Rasanya begitu tersiksa tanpa dia. Aku mencoba melawan keinginan untuk bertemu. Tapi takdir mempertemukan kami lagi di tempat pertama kali kami bertemu.

Kami saling bertatapan. Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh. Teringat olehku kalimat Tere Liye favoritnya. Jantungku benar-benar bergetar. Dia berjalan ke arahku. Aku hanya diam menatapnya. Dia menyerbu tubuhku lalu memeluk. Kubalas pelukan itu.

“Aku merindukanmu,” ucapnya lirih.

“Aku juga,” sambutku. Beberapa saat kemudian, kami saling melepas pelukan. Kuperhatikan sekitar. Untung sedang sangat sepi. Kalaupun ada yang melihat kami, mereka akan berpikir kami adalah sahabat yang sudah sangat lama tidak bertemu.

Setelah kejadian itu, kami menjadi semakin dekat. Kami memutuskan untuk memulai “hubungan”. Bersamanya, aku mendapat banyak kebahagiaan. Kami mulai sering mengunjungi rumah masing-masing. Kedua orang tua dan adikku mengira kami adalah sahabat. Mereka menyambut kedatangan Nurul dengan hangat karena ia adalah teman pertama yang aku ajak ke rumah. Tapi semua berubah hari ini, hari dimana aku dan Nurul bertengkar. Hari ini pula orangtuaku tahu mengenai hubungan kami. Aku sangat kaget ketika memasuki rumah. Kedua orangtua dan adik serta pamanku yang baru datang dari luar kota, sudah menungguku dengan memegang sebuah buku. Dari sampulnya aku tahu kalau buku itu adalah diary milikku.

“Biar ibu yang bicara,” pinta perempuan yang melahirkanku.

“Rena sayang, ibu sudah baca buku diary kamu. Apa benar semua yang tertulis disini?”

Aku tertunduk. Aku sedang sangat pusing karena pertengkaranku dan Nurul. Baru sampai rumah, sudah dicekoki dengan pertanyaan yang akan membuat kepalaku makin pusing. Ingin rasanya aku berbohong tapi untuk apa? Cepat atau lambat mereka juga akan tahu. Lagipula aku bukan pembohong yang hebat. Aku tidak punya alasan. Aku sudah sangat pusing memikirkan Nurul yang tiba-tiba ingin pergi merantau keluar kota.

“Iya,” ucapku pelan sembari menganggukkan kepala.

“Apa kau sudah gila? Kau tau apa sebutan untuk lesbi? SAMPAH!” ungkap laki-laki berusia sekitar 30 tahun.

“Paman benar-benar nda nyangka, kamu yang keliahatan sangat naif dan pendiam, bisa mempermalukan keluarga seperti ini.”

Aku tetap diam. Aku berusaha menahan emosiku. Kulirik kedua orangtuaku. Ibu menangis sementara ayah memegang pundak ibu, mencoba untuk menenangkan tapi aku tahu ayah juga sangat terpukul. Aku dan ayah sangat dekat. Beliau adalah tempatku mencurahkan semua kegelisahanku, sebelum aku bertemu dengan Nurul.

“Kenapa diam saja? Apa kamu tetap mau jadi sampah? Lesbi itu penyakit. Kau mau disembuhkan atau nda? JAWAB!” bentaknya.

“Apa kau malu? Atau jangan-jangan kau merasa sangat bangga dengan kelesbianmu itu? Sudah berapa perempuan yang kau pacari?”

“Sudah Mas, biarkan Rena istirahat dulu,” sambil menangis ibu mencoba meredakan kemarahan paman. “Nanti saja kita bicarakan lagi.”

“Kenapa harus disudahi? Kalian terlalu memanjakannya makanya dia seperti ini,” ucap paman tak mau berhenti.

“Den, kau sudah punya pacar? Jangan dibawa ke rumah ya. Bisa-bisa pacarmu direbut sama kakakmu sendiri.”

“Paman…” Aku mulai membuka suara. “Jangan ngomong sembarangan ke Deni!”

“Kau melawan sama paman? Iya? Sampah sepertimu bisa apa, ha?”

Emosiku semakin memuncak. Rasanya aku ingin sekali meninju wajah pamanku. Tapi aku tak mau melakukannya. Tak ada gunanya berdebat dengan seseorang yang sangat emosional seperti dia, pikirku saat itu. Lantas kuputuskan untuk pergi.

“Aku memang lesbi. Lalu kenapa?”

Apa yang salah dengan seorang lesbi? Kami bukan sampah. Kami juga manusia. Sama seperti manusia lainnya, kami lahir dan menjalani hidup di bumi, bukan di dunia lain. Kami juga jatuh cinta. Kenapa kami didiskriminasi? Kenapa kami harus dikucilkan? Untuk melawan kontradiksi dalam diri kami sendiri saja, butuh waktu, tenaga juga pengorbanan yang tidak sedikit. Kenapa kalian malah mempersulit kami yang ingin mencoba membuka dan jujur pada diri sendiri?

Lesbi itu penyakit? Hei, ayolah! Penyakit itu akibat bakteri atau virus. Memangya kami terjangkit bakteri? Terjangkit virus? Kalian dungu. Kalian tidak mengerti apa-apa. Bahkan dalam dunia internasional sudah dikatakan dengan jelas bahwa homoseksual itu bukan penyakit(1). Ingat, BUKAN PENYAKIT.

***

Butiran air mengenai kepalaku. Aku menengadah. Butiran air itu terasa semakin besar. Aku berlari menuju mesjid. Dari luar terlihat seorang laki-laki sedang bersujud kemudian diikuti delapan orang yang berbaris tepat di belakangnya. Seorang imam dengan delapan orang makmum. Sedikit sekali, pikirku. Aku berbalik. Kupandangi langit. Sangat hitam. Butiran air yang turun juga semakin banyak.

“Kapan hujannya akan berhenti?” tanyaku dalam hati.

Suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Aku tetap memandang langit. Beberapa orang mengikutiku, mereka juga memandang langit. Aku yakin mereka juga mempertanyakan hal yang sama.

“Semoga hujannya cepat reda ya, jeng.”

Aku terlonjak. Aku baru saja mendengar nada bicara yang sangat khas. Aku memalingkan wajah ke arah suara itu berasal.

“Iya jeng, masih banyak yang harus kita siapkan untuk keberangkatan besok,” sambut seorang laki-laki yang mengenakan baju koko warna putih. Sepertinya aku mengenalnya.

“Rasanya seperti mimpi berada di kota ini. Makasih ya jeng sudah mengajakku ke kota kelahiranmu. Kamu benar, Tarakan ini menyimpan banyak keunikan.”

“Iya. Jadi kapan aku bisa jalan-jalan ke kotamu? Idul Fitri ini, gimana?” tanyaku.

“Kamu berencana berkumpul dengan keluarga di hari besar itu?”

“Tidak. Kamu dan temen-temen di pesantren waria keluargaku juga. Sejak bertemu dan menghabiskan dua tahun bersama kalian, bagiku kalian adalah keluarga. Terlebih kamu.” balasnya.

Pesantren waria? Aku pernah membaca mengenai tempat itu di internet. Pesantren yang berada di Yogyakarta. Sekarang aku tahu kemana aku akan pergi setelah ini. Persisnya tidak ke tempat itu, tapi aku tahu tempat sejenis. Tempat dimana aku akan menjalani hidup setelah ini.

 

Catatan kaki:

(1) 17 Mei 1980, World Health Organization (WHO) mencabut homoseksualitas dari datar penyakit mental

Bagikan