Search
Close this search box.

Mencari Kambing Hitam

Oleh : Dev*

Suarakita.org- Pertanyaan tentang “Kenapa kamu jadi gay/ lesbian” kerap kali menjadi pertanyaan, baik dari kalangan LGBT maupun masyarakat awam. Biasanya orang yang diberondong dengan pertanyaan semacam itu dengan sigap menceritakan hal ihwal “mengapa mereka menjadi seorang LGBT”.

Jawaban paling umum adalah “aku dari keluarga broken home, atau “aku dendam pada ayahku”. Rata-rata mereka cenderung mencari objek atau situasi/kondisi yang bisa mereka persalahkan dan dianggap paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada diri mereka sekarang. Jawaban semacam itu selalu menggelitik pikiran saya sehingga timbul pertanyaan,”Benarkah?

Seseorang memang sejak dilahirkan sudah memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis (given), namun kemudian ada yang mengalami berbagai proses dalam hidupnya hingga akhirnya ia menjadi seorang penyuka sesama jenis. Terlepas dari hal tersebut, ketertarikan atau cinta menurut keyakinan saya adalah merupakan dorongan alamiah dari dalam diri, yang bahkan (mungkin saja) anugerah dari Tuhan. Lantas kenapa kita sendiri sibuk mempersalahkannya?

Orang yang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis bisa dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu egosintonik dan egodistonik. Egosintonik yaitu apabila orang yang menyukai sesama jenis, menyadarinya, dan menerima dirinya sendiri bahwa ia adalah seorang homoseksual. Sedangkan egodistonik adalah orang yang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis namun ia tidak bisa menerima dirinya sendiri, bahkan menyangkalnya. Orang-orang yang sering mencari kambing hitam atas kondisi dirinya inilah yang termasuk dalam kategori homoseksual egodistonik.

Orang dengan egodistonik inilah yang seringkali membutuhkan bantuan tenaga medis atau psikolog untuk membantunya mengatasi stress karena ketidaksesuaian antara ego dan kenyataan. Peran psikolog akan membantu mereka lebih mengenali dirinya sendiri untuk pada akhirnya mampu menerima kenyataan diri. Bahkan bagi beberapa orang yang pada awalnya heteroseksual, kemudian bertemu dengan seseorang atau menghadapi situasi tertentu hingga orientasi seksualnya bergeser menjadi homoseksual tetaplah tidak ada alasan baginya untuk mencari kambing hitam.

Freud, seorang tokoh dalam dunia psikologi menyatakan bahwa seksualitas manusia itu cair, ia bisa bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Hari ini bisa jadi seseorang berorientasi heteroseksual, namun tidak menutup kemungkinan sehari, seminggu, atau bahkan setahun kemudian ia jatuh cinta dengan sesama jenis. Begitu pula dengan pendapat Carl Gustav Jung yang menyatakan bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk biseksual. Pada tingkat fisiologis, laki-laki mengeluarkan hormon seks laki-laki maupun perempuan, demikian juga wanita. Pada tingkat psikologis, sifat-sifat maskulin dan feminin juga terdapat pada keduanya.

Berpijak pada pendapat tersebut, jelas bahwa tak perlu ada yang dipersalahkan atas orientasi seksual seseorang. Tak perlu lagi mencari-cari alasan klise demi rasa aman. Kunci utama untuk kondisi yang sehat secara mental adalah penerimaan diri, tentang bagaimana kita menerima dan menyadari diri kita sepenuhnya. Coming in merupakan hal yang wajib, sedangkan coming out merupakan pilihan bagi masing_masing individu dengan berbagai pertimbangan. Jika diri sendiri saja belum bisa berdamai, bagaimana kita menuntut orang lain berterima dengan keadaan kita?

 

*Penulis adalah aktivis Talita Kum, sebuah organisasi LGBT di Solo.