Search
Close this search box.

Pasangan Setara Ditolak, Paedofil Didukung

Oleh : Hartoyo*

Suarakita.org- Amerika Serikat baru mengeluarkan kebijakan yang bisa disebut sebagai sebuah putusan besar bagi negeri itu maupun dunia; pelegalan perkawinan sejenis, jum’at 26 Juni 2015. Kebijakan tersebut bukan tanpa pertentangan dari rakyat Amerika sendiri, dalam lingkaran Hakim Mahkamah Agung yang memutuskan kebijakan tersebut, ada 4 hakim dari 9 hakim menolak UU perkawinan sejenis tersebut.

Keputusan itu tentunya bukan hanya direspon pro dan kontra di Amerika saja, tetapi juga di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia. Amerika sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen sedangkan Indonesia negara mayoritas muslim sebagian sama-sama menolak dengan menggunakan dalil agama. Perkawinan sesuatu yang “sakral dan suci” maka yang layak melangsungkan hanya pasangan heteroseksual. Misalnya komenter Menteri Agama RI, Lukman Hakim dalam akun twitter @lukmansaifuddin (28/6/2015); “Dalam konteks Indonesia, perkawinan adalah peristiwa sakral dan bagian dari ibadah. Negara tak akan mengakui perkawinan sesama jenis,” ungkapnya.

Sebagian orang yang menolak di Indonesia bahkan karena kurangnya informasi yang dimiliki, meyamakan hubungan sejenis (homoseksual) dengan paedofilia (hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak-anak). Memang pada kasus-kasus paedofilia sejenis (sesama laki-laki) yang terjadi di Indonesia, banyak orang meyamakan hubungan homoseksual dengan paedofilia, misalnya kasus paedofilia di sekolah Jakarta International School (JIS) atau kasus-kasus paedofilia lainnya.

Padahal perkawinan sejenis adalah konsep atau relasi hubungan antara dua manusia dewasa yang memiliki jenis kelamin sama dilakukan dengan sadar, tanpa paksaan dari pihak manapun. Kata kuncinya dilakukan oleh orang dewasa, sadar, adil dan tanpa eksploitasi satu sama lainnya. Itulah konsep hubungan atau perkawinan sejenis yang diperjuangkan oleh seluruh aktivis homoseksual di dunia, termasuk juga Indonesia.

Sedangkan paedofilia adalah hubungan yang juga melibatkan secara seksual antara orang dewasa terhadap anak-anak (baik laki-laki maupun perempuan). Batas umur anak yang dimaksud dibawah 18 tahun bahkan sebagian negara memasukan dibawah 21 tahun sebagai kategori anak. Pointnya, siapapun orang dewasa (baik laki-laki maupun perempuan) yang melakukan hubungan seksual kepada anak maka dikategorikan sebagai pelaku paedofilia, apapun alasannya. Jadi dalam paedofilia tidak ada konsep kesetaraan atau pilihan sadar dari sang anak. Karena di dalam paedofilia yang terjadi adalah hubungan eksploitasi seksual pelaku (orang dewasa) dengan korban eksploitasi seksual (anak).

Menurut konvensi international tentang hak anak, tindakan pelaku paedofilia sebagai tindakan pelanggaran hak anak yang berat dan mungkin dapat digolongan sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Sehingga posisi politik saya, tidak akan pernah mengategorikan paedofilia sebagai tindakan “perkawinan anak” tetapi tindakan eksploitasi seksual atau perkosaan anak.

Kembali soal perkawinan sejenis di Amerika yang sebagian ditolak masyarakat Indonesia mengatas-namakan agama. Mungkin perlu diingatkan bahwa di Indonesia praktek paedofilia justru masih berlangsung dan dilanggengkan oleh Negara melalui UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 7 ayat 1 UU tersebut meyebutkan bahwa anak perempuan yang berumur 16 tahun dapat dinikahkan dengan persetujuan orang tuanya. Sedangkan dalam UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat 2 disebutkan anak adalah seseorang yang berumur dibawah 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya negara melalui UU Perkawinan mengizinkan secara legal praktek paedofilia terjadi di negeri ini, yang pemerintah katakan sebagai “perkawinan anak”. Padahal itu jelas praktek paedofilia.

Pelegalan praktek paedofilia yang ada dalam UU Perkawinan sebenarnya pernah digugat oleh beberapa aktivis perempuan. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut (18/6/2015). Hanya satu hakim konstitusi, Prof.Maria Farida Indrati, yang menolak paedofilia terjadi di Indonesia. Sedangkan hakim lainnya (semua laki-laki) mendukung praktek paedofilia tetap terjadi di Indonesia.

Inilah fakta yang terjadi pada negeri dan sebagian masyarakat di Indonesia, bahwa relasi sejenis orang dewasa yang setara dan adil ditolak tetapi hubungan eksploitasi seksual pada anak (paedofilia) justru didukung bahkan dikukuhkan oleh negara dalam sebuah kebijakan, UU Perkawinan. Alangkah lucunya negeriku, gagal mikir!!!

 

*Ketua Perkumpulan Suara Kita