Search
Close this search box.

[CERPEN]: “Hujan di Mata Juli” Oleh: Banyu Bening*

Hujan di Mata Juli
Oleh: Banyu Bening*

Suarakita.org– Juli berjalan pelan seperti menghitung langkah-langkah yang pecah dilindas roda kendara yang takkan pernah mau mengalah. Seperti percikan hujan, tempiasnya memercik dalam lubuk hatinya, basah. Menghilangkan jejak-jejak lukisan yang selama hampir lima tahun ia gores di tepian pantai, hanyut terbawa gelombang seperti sampah. Tiba-tiba Juli merasa menjadi manusia paling munafik di dunia, paling rapuh dan lemah.

Kelemahan yang ia anggap sebagai penyelesaian. Selama ini ia pikir sudah mampu menyucikan dirinya, mungkin benar. Lalu bagaimana dengan hatinya? Hatinya seperti terbakar. Selama ini ia kira sudah berdamai dengan dirinya, dengan Tuhan, dengan agama, namun kini ia kembali bergetar. Apa mungkin ternyata selama ini ia hanya mencoba menampik semua rasa yang membara?

Getaran itu kini kian menguat, harus dengan apa lagi ia menolak perasaannya? Kerudung telah ia tutupkan di kepala, pakaian panjang sudah ia kenakan, mata telah ia palingkan, hati telah ia tetapkan hanya pada Tuhan saja. Namun luka tetap luka. Ratusan khotbah ia dengar, semua mengharamkan perasaannya, semua mengharamkan pandangannya. Pada perempuan, pada wanita, pada kecantikan.

Hari ini Juli harus pulang lewat tengah malam, ia harus mengejar berita untuk koran mingguan tempat ia bekerja. Besok hari Selasa, semua hasil liputan harus ada di meja atasan yang tak mengenal alasan, alibi pun retorika. Mengejar-ngejar narasumber seorang, ustadz idola baru yang ternyata sama saja. Bersembunyi pada nama Tuhan, sama dengan dirinya. Mati-matian ingin mengatakan bahwa keluarganya harmonis, padahal menikah lagi, mungkin beristri dua atau tiga.

Perlakuan apa yang didapat seorang perempuan tengah malam berjalan sendirian? Keamanan di negeri ini sungguh mahal harganya bukan? Beberapa preman menggodanya, padahal ia berkerudung berbaju panjang. Haruskah ia menutup seluruh tubuhnya dengan karung goni? Lalu sebenarnya milik siapakah tubuh kita?

“Hei, sama gue aje kalo lo mau! Cepek deh” tiba-tiba terdengar suara perempuan.

“Ogah, mahal amit” jawab para preman itu.

“Dasar kere lu, gratisan aje maunye! Nafsu gede duit kagak ade”

Tak lama para preman itu pun pergi, saat ia palingkan wajahnya, perempuan seksi dengan sebatang rokok itu juga tak kelihatan. Matanya menyapu sekitar jalan yang mulai berkabut. Perempuan itu duduk di atas sebuah motor bersiap pergi.

“Tunggu!” Juli sedikit berlari menghampirinya. “Terimakasih Mbak”

“Sama-sama. Nasihat basi Non: perempuan baik-baik tidak baik di jalanan malam-malam begini”

“Iya, saya baru pulang kerja. Dan angkutan umum sepertinya sudah tidak ada yang menuju rumah saya”

“Mau aku antar?”

Tanpa pikir panjang, Juli menerima tawaran itu. Ia duduk nyaman di boncengan. Angin malam, lekuk tubuh teman barunya dari belakang, aroma parfum yang lembut seperti menggetarkan kembali syarafnya yang telah lama beku ditelan kemunafikan. Disentuhnya pinggang perempuan seksi itu, getarannya kian kuat merambat mengaburkan bayangan.

Sepanjang perjalanan mereka bercerita layaknya teman dekat. Dari sana Juli tahu bahwa perempuan itu bernama Juni, mungkin hanya sebuah kebetulan jika nama mereka sangat dekat, Juni-Juli. Dari sana juga ia tahu kalau Juni seorang pekerja seks komersial. Seperti yang kerap ia dengar: tak pernah muluk dalam memaknai hidup.

Malam selalu saja mampu mengendapkan waktu, dua purnama sudah malam-malam Juni dan Juli mengendapkan waktu mereka dalam satu pusaran yang sama. Berebut nafas yang memberi energi baru yang seperti sudah ratusan tahun beku di musim purba dan membatu.

Juli sudah bosan berkamuflase dan menyiksa batinnya, dan Juni memberi kekuatan untuk menjadi dirinya sendiri. Meraih apa yang dia patut dapatkan: kebahagiaan. Semua orang berhak bahagia, lalu mengapa banyak orang yang melepas kebahagiaannya demi diterima dalam sistem yang dibentuk oleh manusia-manusia yang mengaku suci. Juni mampu membuat Juli tak lagi pusing memikirkan itu semua.

Bulan Juli ini tak ada hujan di mata Juli. Tak ada yang mampu membaca cinta, meraba kasih atau menggenggam rasa. Ia meresap ke tiap celah, mencari ruang kosong, menyatu dan berpadu. Siapapun, kapanpun dan di manapun.

Dan tak ada juga yang mampu menggenggam waktu. Belum genab purnama pada bulan Juli, cahayanya hilang ditelan kelam. Juli kehilangan Juni, bunga hati kembang tak jadi. Juni sudah berjanji bahwa ini adalah tamunya yang terakhir, untuk bayaran yang tak sedikit sebagai pondasi mereka berjalan dalam tajamnya sistem yang akan mereka lalui.

Langit runtuh dan menjatuhkan kembali hujan di mata Juli, Juni harus melepas nyawanya karena over dosis narkoba. Saat bekerja melayani pesta para orang kaya, Juni di jejali puluhan pil maut yang merenggut bukan saja nyawanya, tapi juga meremuk redamkan Juli.

“Li, berjanjilah bahwa kau akan selalu bahagia. Saat kau merasa sendiri, aku berjanji kala hujan turun. Ia akan meresapkan semua airmatamu ke dalam bumi”

*Banyu Bening yang kini menetap di Kota Malang lebih senang menulis puisi dan cerpen dengan tema-tema sosial dengan harapan mampu menumbuhkan kepekaan dan empati pembaca akan masalah sosial yang nyata ada di sekeliling kita.

Bagikan