Search
Close this search box.

[KISAH] Minion dan Agama Sang Aktor

Oleh: Wisesa Wirayuda

Suarakita.org – Siang itu, panasnya kota Bogor membuat kami harus mencari sebuah tempat yang dingin sebelum nafsu akan dahaga membunuh kami dan menghancurkan ibadah puasa kami. Panas terik ini sepertinya benci yang ingin membakar kami berdua; sepasang laki-laki yang sedang belajar memahami apa jadinya jika pasangan same-sex juga ingin berpuasa.

Ngabuburit, itulah bahasa Sundanya. Sebuah kegiatan yang dilakukan ketika waktu menjelang berbuka puasa, berpergian atau sekedar jalan-jalan untuk menghabiskan waktu sampai akhirnya waktu buka puasa tiba. Jadi, begitulah kira-kira yang sedang kami lakukan sekarang ini.

“Kita masuk ke mall saja,” katanya. Pendingin ruangan di dalam gedung bertingkat ini benar-benar membantu kami. Begitu sampai di dalam dia langsung merangkulku. Sesuatu yang mungkin akan dipikirkan dua kali untuk dilakukan oleh pasangan beda jenis kelamin di bulan puasa.

“Kamu gak risih ‘kan aku rangkul begini?”

“Engga kok. Toh gak akan membatalkan puasa juga”, kataku. Kami berdua tertawa saat itu.

Kami terus menaiki eskalator dan sampai di lantai dua, dimana bioskop berada. Niat kami awalnya hanyalah ingin melihat film apa saja yang sedang diputar di bioskop belakangan ini. Ada film Minion The Movie, dan tanpa berpikir panjang aku katakan padanya bahwa aku ingin sekali menontonnya, sembari aku bermanis-manis untuk merajuknya.

Dia terlihat diam dan aku tahu sekali apa maksudnya. Aku tahu, kami memang sedang dalam krisis keuangan. Di libur panjang ini kami tidak memiliki pemasukan sehingga kami harus mengirit pengeluaran. “Kita cari DVD-nya saja ya?”, tanyanya sembari tersenyum. Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya itu. “Aku hanya bercanda kok”, jawabku.

Kami akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi-kursi yang tersedia di ruang tunggu bioskop. Aku segera memainkan telepon pintar milikku. Seketika saja aku menemukan berita mengenai aktor yang berpindah agama. Aku bagi video itu bersama dirinya.

Video berdurasi lima belas menit itu membuatku terbelalak awalnya, khususnya ketika ternyata sang aktor adalah aktor yang pernah memerankan tokoh agama tertentu.

“Waw!”, kataku. “Video berdurasi lima belas menit yang sangat powerfull. Gimana menurutmu?”

“Jujur saja, aku biasa saja. Itu hak dia dan sah-sah saja. Hanya saja karena dia seorang public figure jadi orang-orang merasa ini menarik untuk dibahas. Karena masyarakat sudah menciptakan image ‘alim, islami dan muslim yang berprestasi’ lewat profesinya sebagai aktor. Jadi ketika dia berpindah agama, masyarakat yang merasa kecewa karena sang aktor ternyata tidak sesuai dengan yang mereka pikir.”

Aku hanya mengangguk-angguk mencerna perkataannya itu.

“Buatku, sang aktor memiliki otoritas akan hidupnya sendiri.”

Mendadak, keadaan bioskop yang ramai menjadi sepi, aku hanya bisa mendengar dirinya berbicara. Memang benar, pelajaran agaman dapat kita terima dari siapa saja dan dari mana saja. Terlepas itu dari seseorang yang dianggap buruk oleh masyarakat sekalipun. Tidak saja di sebuah tempat peribadahan, namun juga di tempat tunggu bioskop sekalipun.

Aku segera melihat jam di telepon pintarku. Tak terasa kami berdiskusi tentang agama selama satu jam lamanya. Mungkin sebuah obrolan yang tidak akan aku temukan dimanapun selain disini.

Aku kini melihatnya sedang berpikir lagi. Entah apa yang dia pikirkan. Namun aku merasa sudah cukup mendinginkan badan disini. Jadilah aku berdiri dan mengajaknya untuk pergi. Dia menatapku heran, “Mau kemana? Aku lagi hitung-hitung nih, kayanya cukup untuk nonton.”, tanyanya.

“Sebentar lagi buka puasa, yuk kita hunting makanan enak dan murah.”

“Masih satu jam lagi, gak jadi mau nonton?”

Sejujurnya aku ingin sekali menonton. Masih ingin. Namun, aku sudah mendapatkan yang lebih dari hanya sekedar menonton mahkluk kuning yang menggemaskan itu. Aku mendapatkan pelajaran tentang betapa indahnya agama jika di dalamnya memang kita lah yang memegang penuh kendali. Ingin berpindah agama, ingin menetap di agama itu tanpa mempertanyakannya, itu semua adalah hak pribadi pemeluknya. Sangat lebih baik jika kita tidak mengganggunya dan ikut campur dalam urusannya seolah-olah kita lebih suci darinya.

Jadilah aku menggeleng padanya sebagai tanda aku tidak jadi ingin menonton. Kemudian dia berdiri dari duduknya dan kembali merangkulku. Setelah beberapa langkah dari pintu keluar, aku katakan padanya, “Miniooooon….” sembariku memelas padanya.

“Tuh kan, katanya gak mau?”

Aku tertawa, “Hanya bercanda…”