Suarakita.org- Kisah ini berada di sebuah lorong kota Dhaka, Bangladesh, yang secara khusus dijadikan tempat berjualan daging dan ayam hidup. Sebagian lorong sempit itu memiliki tangga terbuat dari semen yang menukik terjal menjadi gambaran tempat dimana seorang transgender asal Bangladesh dicari-cari untuk dinobatkan sebagai pahlawan.
Para wartawan stasiun televisi dan surat kabar, serta pejabat polisi setempat menulusuri kota Dhaka untuk mencari tahu sosok transgender yang dianggap layak untuk menerima penghargaan atas keberaniannya. Sejak peristiwa di hari Senin tanggal 30 Maret lalu, ketika transgender perempuan tersebut berhasil menangkap kedua tersangka atas pembunuhan seorang blogger. Perempuan transgender itu berusia 21 tahun bernama Labannya Hijra (hijra adalah terminologi yang berkembang di Asia Selatan merujuk kepada seseorang yang terlahir secara biologis laki-laki namun mengidentikasikan sebagai perempuan – red).
Setelah 3 hari masa pencarian, seorang wartawan setempat berhasil menemukan Labanya pada hari Kamis 2 April 2015, dan dirinya sepakat bercerita secara gamblang untuk pertama kalinya ke publik. Labannya sendiri bersedia memberi keterangan tersebut setelah mentornya yang juga seorang hijra bernama Sapna Hijra memberi restu padanya.
Sebelumnya seorang blogger, Oyasiqur Rhaman, 27 tahun diserang oleh tiga orang lelaki muda. Mereka melakukan pembunuhan berencana karena tulisan Rhaman yang berisi komentar kritis terhadap Islam di sosial media. Pada saat kejadian di hari Senin 30 Maret tersebut, Labanya menarik kaos tersangka yang masih pelajar itu ketika hendak melarikan diri. Saat mereka berusaha berontak dalam cengkraman Labannya, sebuah parang menyembul dari dalam tas salah satu tersangka itu dan terjatuh ke tanah. Satu dari mereka menghantam tangan Labannya sambil berteriak agar dibiarkan pergi, namun Labannya berteriak balik, “Kalian diam!”.
“Kami di komunitas hijra ini terus terang tidak mau ada kegiatan teroris dalam masyarakat kita”, kata Labannya. “Kita mau sebuah lingkungan dimana setiap orang termasuk hijra dapat bebas begerak hidup dikota secara aman”.
Peristiwa ini sangat memprihatinkan ketika orang-orang yang mungkin terlibat paska kejadian penyerangan brutal pada Senin 30 Maret itu bukanlah bagian dari kelompok yang termarjinalkan. Setelah beberapa bulan buruknya keamanan dan adanya aksi protes terhadap kekerasan politik, Dhaka menjadi sebuah tempat dimana para saksi cenderung diam. Pada tanggal 26 Februari misalkan, sekelompok pemuda membunuh Avijit Roy, seorang ateis dan penulis blogger berdarah campuran Amerika-Bangladesh ditengah-tengah keramaian jalan saat Avijit pergi meninggalkan sebuah pameran buku.
“Tidak sedikit dari 10 atau 12 orang melihat kejadian waktu itu”, ucap ayah korban, Ajoy Roy, tetapi polisi sepertinya tidak berhasil mengorek keterangan yang berguna dari para saksi. “Bisa jadi polisi-polisi itu tidak berminat dengan kasusnya atau mereka tidak menemukan saksi satupun”.
The Dhaka Tribune melaporkan pada hari Selasa 31 Maret 2015, bahwa hampir sebagian besar orang disekitar kejadian enggan mengejar pembunuh Rhaman. Labannya berujar bahwa dirinya menangkap dua dari tersangka tersebut ketika mereka lari melintasinya saat mereka dikejar oleh polisi dan para petugas sipil. Ketika polisi menangkap tersangka itu dari tangan Labannya, mereka lalu memenjarakannya, dan Labannya sendiri mengambil jarak untuk tidak banyak terlibat. Meskipun tersangka ketiga berhasil melarikan diri.
Labannya sendiri ragu untuk tampil terang-terangan dan masih ada ketakutan kalau pembunuh itu masih mengingat wajahnya. Sehingga dia memutuskan untuk melarikan diri ke desa dimana ia dibesarkan.
Akan tetapi beberapa hari ke depannya, dia mulai menyadari bahwa meskipun tanpa mengidentikasi dirinya siapa, Labannya telah mendapatkan sebuah bentuk penghormatan yang tidak biasa atas apa yang ia lakukan.
“Beberapa orang kalau melihat saya selalu bilang, ‘Kamu sudah melakukan hal yang fantastik sekali dengan menangkap teroris’”, katanya. “Jadi ada semacam bentuk apresiasi yang baru terhadap komunitas hijra ini”.
Kelompok transgender cenderung ditempatkan pada sebuah lapisan masyarakat yang tidak biasa di Asia Selatan, dimana kelompok sosial konservatif masih menganggap hubungan sesama jenis sebagai bagian dari tindak kriminal, tetapi di sisi lain juga membolehkan eksistensi dari gender ketiga – sebuah pengkategorian yang diakui pada era sebelumnya sebagai bagian dari era ‘Kama Sutra’. Nepal, Pakistan, Bangladesh, dan India kesemuanya telah mengakui secara legal eksistensi dari gender ketiga tersebut, termasuk dalam paspor dan dokumen resmi lainnya.
Labannya sendiri mengakui dirinya sebagai seorang hijra sejak masih kecil, dan pergi meninggalkan rumah diusia 9 tahun dan bergabung dengan para transgender perempuan yang lebih tua. Di Dhaka, Labannya bergabung dalam sebuah komunitas yang sifatnya masih bersikukuh pada hirarki yang dikepalai oleh Sapna Hijra, dimana Sapna sendiri memosisikan diri sebagai ‘guru-ma’, atau pemimpin yang dihormati.
Labannya tinggal disebuah gubuk yang beratapkan kaleng dan hanya berpenghasilan 4 Dollar Amerika Serikat (Rp. 48.000 – red) sehari dari meminta-minta.
“Kami tidak punya kehidupan normal; kami tidak normal seperti manusia umumnya”, katanya.
“Kadang saya benci diri saya sendiri ketika saya berpikir bahwa saya hanyalah seorang hijra”, ungkap Labanya.
Akan tetapi di sisi yang lain dia mengatakan, “Banyak orang yang mengasihi kami, karena kami ini tidak berdaya dan buangan”.
Dan di hari Kamis tanggal 2 April 2015 tersebut saat Labannya membeberkan penyerangan di depan gurunya, Sapna. Kemudian Sapna ditanya apakah Labanya boleh muncul seorang diri ketika menerima penghargaan dari polisi. Labannya menatap penuh harap pada Sapna Hijra yang lalu berkata, “Kenapa tidak?“
“Ya, saya berharap menerima sebuah penghargaan tersebut”, ujar Labannya dengan girang. “Saya menangkap 2 orang teroris”. (Jane Maryam)
Sumber : The New York Times