Search
Close this search box.

Fatwa tentang homoseksual di Indonesia, berpengaruhkah?

Oleh: Irwan M. Hidayana*

Suarakita.org- Bicara tentang agama dan homoseksualitas seperti mencampur air dengan minyak. Mereka tidak berbaur dengan baik.

Wacana homoseksualitas telah menjadi bagian dari sejarah panjang agama, terutama agama-agama turunan Ibrahim – seperti Yahudi, Nasrani dan Islam. Secara umum, agama-agama ini tidak menerima homoseksualitas dan menganggapnya sebagai perbuatan dosa. Namun ada beberapa pengecualian. Bahkan Paus Francis, yang menolak perkawinan sesama-jenis, mengatakan seseorang tidak boleh dipinggirkan hanya karena seksualitasnya.

Beberapa waktu yang lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengutuk homoseksualitas. Fatwa ini keluar bersamaan dengan eksekusi terhukum mati untuk enam pengedar narkoba oleh pemerintah Indonesia yang mengundang kecaman international atas kebijakan hukuman mati pemerintah Indonesia. Dalam fatwanya, MUI menyarankan hubungan sesama jenis diatur sebagai kejahatan yang perlu dihukum mati.

MUI juga menyarankan pemerintah mendirikan pusat rehabilitasi untuk menyembuhkan “perverts” (penyimpang – red). Mereka berdalih banyak maksiat semakin meningkat di masyarakat. Selain pelecehan seksual, MUI mengikutsertakan homoseksualitas sebagai perverted (sesat – red).

 

Reaksi kelompok LGBT

Komunitas Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgeder di Indonesia menanggapi fatwa tersebut dengan tenang. Suara Kita, sebuah organisasi yang memperjuangkan hak komunitas LGBT, menulis dalam situs mereka bahwa MUI memiliki hak berpendapat dan Suara Kita memiliki hak untuk tidak setuju dengan fatwa tersebut.

Seorang anggota komunitas LGBT yang terkenal, Bhimanto Suwastoyo, wakil pemimpin redaksi The Jakarta Globe mengatakan ia tidak berpikir banyak mengenai fatwa tersebut.

Di samping reaksi tenang dari komunitas LGBT, apa dampak fatwa MUI terhadap perjuangan hak LGBT di Indonesia?

 

Indonesia and hak LGBT

Sementara semakin banyak negara mengakui hak kelompok LGBT melalui pengakuan pernikahan sesama-jenis, Indonesia secara aktif menghalangi gerakan international untuk melindungi hak kelompok LGBT.

Tahun lalu Indonesia, bersama dengan Pakistan dan Saudi Arabia, merupakan salah satu negara yang menentang pengesahan resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB tentang LGBT.

Indonesia tidak secara eksplisit melarang hubungan sesama jenis di dalam KUHP. Namun, dalam Undang-Undang Anti-Pornografi, homoseksualitas didefinisikan sebagai penyimpangan seksual.

Provinsi Aceh di Sumatra yang menerapkan hukum syari’ah melarang hubungan sesama jenis dengan hukuman hingga 100 cambukan di depan umum. Palembang, sebuah provinsi lain di Sumatera juga melarang hubungan sesama jenis dengan hukuman hingga enam bulan penjara.

 

Bahan bakar untuk diskriminasi

Fatwa MUI kemungkinan besar tidak akan diimplementasikan dalam sistem hukum Indonesia. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan dia tidak setuju dengan MUI. Dia berpendapat bahwa homoseksualitas adalah pilihan pribadi.

Namun adanya fatwa ini bisa digunakan kelompok garis keras untuk menyerang komunitas LGBT Indonesia. Fatwa MUI tidak mengikat secara hukum. Tetapi, negara dan masyarakat Muslim Indonesia sering menggunakan fatwa MUI untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Anggota parlemen sering merujuk fatwa MUI dalam menyusun undang-undang nasional, seperti undang-undang mengenai produk halal dan pengaturan haji.

Meskipun fatwa tidak mengikat secara hukum, untuk sebagian Muslim konservatif, fatwa tersebut lebih dari cukup bagi mereka untuk melarang homoseksualitas di tempat umum. Ini bisa menjadi dasar bagi banyak kebijakan dan praktek yang memperkuat sistem heteronormatif dan sistem gender biner.

Kelompok agama garis keras sebelumnya pernah menyerang acara yang diadakan oleh kelompok LGBT. Di tahun 2010 mereka menyerang konferensi International Lesbian and Gay Association (ILGA) Conference di Surabaya dan Q!Film Festival in Jakarta. Pada Oktober 2010, MUI menekan badan sensor nasional untuk melarang film yang mempromosikan homoseksualitas.

Melalui fatwa mereka, MUI memberi label pada homoseksualitas sebagai perbuatan dosa, tidak alamiah dan tidak bermoral. Dengan mengeluarkan fatwa, MUI berusaha memainkan peran sebagai polisi moral Indonesia dan sebagai penjaga iman masyarakat Muslim.

Untuk MUI, keberatan terhadap homoseksualitas adalah sesuatu yang ajeg, tanpa ruang untuk diskusi kritis. Banyak Muslim mengikuti cara berpikir MUI dan menganggap bahwa homoseksualitas tidak punya tempat dalam Islam. Mengkritisi pandangan MUI mengenai Islam dapat dianggap melawan hukum Islam.

 

Bergantinya peran MUI

MUI adalah organisasi Islam non-pemerintah yang didirikan oleh almarhum presiden Suharto pada 1975. Suharto menggunakan organisasi ini untuk mendapatkan dukungan politik dari berbagai organisasi Islam.

Ketika Suharto mendirikan MUI, ada banyak kelompok Islam yang politis yang bertujuan untuk mengganti ideologi nasional Pancasila dengan Islam. Peran kunci MUI adalah untuk meyakinkan organisasi Islam lainnya untuk menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Menerima Pancasila berarti meninggalkan tujuan politis yang menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kelompok Islam harus mengakui pluralisme sebagai sesuatu yang inheren dalam masyarakat Indonesia.

Sesudah jatuhnya kekuasaan Suharto pada 1998, Islam politis kembali marak. Hal ini mempengaruhi bagaimana MUI menanggapi masalah sosial-agama di Indonesia.

Sejak saat itu MUI lebih memilih Islam dan menjauh dari konsep pluralisme. Ia seperti

tidak mengindahkan motto nasional Bhinneka Tunggal Ika. Ia berupaya memaksakan interpretasinya tentang Islam pada masyarakat Indonesia.

Sebagai contoh, di tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang melarang pluralisme, sekuralisme dan liberalisme. MUI melihat pluralisme seperti melihat sinkretisme (kombinasi beberapa bentuk kepercayaan atau ritual) dan relativisme agama: sebagai ancaman kepercayaan Islam, karena bisa menyebabkan musyrik.

 

Di luar pemisahan normal dan abnormaldalam masyarakat

Dengan mengeluarkan fatwa terbaru ini, MUI mengkategorikan anggota kelompok LGBT sebagai – meminjam istilah dari filsuf Judith Butler — terhina (abject). Pengkategorian sang abject bertujuan untuk menjaga perilaku “normal”. Batasan antara “normal” dan “abnormal” selalu dijaga oleh keluarga, sekolah, komunitas, aparat negara dan institusi keagamaan. Untuk membuat sang “abnormal” mengikuti norma sosial, mereka diberi stigma, dipinggirkan dan diserang.

Namun, komunitas dan organisasi LGBT di Indonesia menunjukkan bahwa mereka menolak diberi label terhina atau “abnormal”. Mereka tetap berjuang untuk hak-hak mereka. Yang membuat mereka terus bergerak adalah pelajaran dari pengalaman gerakan lain dan solidaritas dari kelompok hak asasi manusia lainnya.

MUI bukan satu-satunya suara untuk interprestasi Islam di Indonesia. Ada beberapa pemikir Islam yang kritis terhadap interprestasi Islam yang ketat. Contohnya, pemikir Islam ternama Musdah Mulia mengajukan interpretasi Islam yang manusiawi. Pada 2009, ia berpendapat bahwa ada ruang dalam Islam untuk gay, lesbian dan seksualitas lain yang non-normatif.

Pandangan Musdah Mulia tentang Islam berdasarkan prinsip keadilan, kebailan, kesetaraan, kebijaksanaan, kasih sayang, pluralisme dan hak asasi manusia. Prinsip-prinsip ini tidak memberikan tempat untuk diskriminasi dan rasa benci. Bagi Mulia, interpretasi ulang atas teks Islam harus dilakukan secara kontekstual, tidak literal, dengan merujuk pada tujuan asli dari hukum Islam.

Dengan mengadopsi cara pandang Islam yang demikian, berbicara mengenai agama dan homoseksualitas tidak akan lagi terasa seperti mencampur air dan minyak.

 

*Penulis adalah Dosen Anthropology, Universitas Indonesia  dan Anggota Dewan Pengawas Suara Kita.

Sumber : The Conversation

Diterjemahkan oleh : Prodita Sabarini