Oleh: Nico Ajah*
Suarakita.org- Malam ini sekitar pukul 19.00 di sebuah dorm di kawasan Jalan Gejayan, Sleman, Yogyakarya. Aku enggan untuk pulang ke dorm, yang jaraknya sekitar 10 meter dari tempat kejadian perkara. Diskusi hangat ala calon mahasiswa pascasarjana, sedikit ngawur, bercanda namun berisi. Beginilah aktivitas kami sehari-hari setelah pulang dari kelas Bahasa Inggris di Universitas Negeri Yogyakarta. Adalah Reno yang akan melanjutkan studi Master di bidang Aktuari, Kendy yang akan melanjutkan studi Master di bidang Fisika, Ardi yang akan melanjutkan studi Master di bidang Linguistik dan aku yang akan melanjutkan studi dibidang Sosiologi dengan rencana konsentrasi Sosiologi Gender.
Aku adalah insan yang cukup tebuka bagi teman-temanku, walau belum lama ku mengenal mereka. Sebelumnya mereka tidak mengetahui rencana konsentrasi bidang ilmuku di bidang Sosiologi Gender. “Bagaimana menurut kalian mengenai kesetaraan gender yang ada di Indonesia?” aku memancing mereka dengan sebuah pertanyaan ringan.
“Ngapain kamu tanya-tanya hal begituan?” Tanya Reno padaku dengan dialek Papua yang kental, karena dia memang berasal dari Papua.
“Eh, ini penting lho. Karena ini akan menjadi fokus kajian aku nantinya. Aku akan ambil konsentrasi di bidang Sosiologi Gender”, sahutku dengan nada biasa saja.
“Bagus itu, menurut aku sangat sedikit orang yang peduli akan hal itu. Padahal hal itu sangat dekat dengan keseharian kita”, ucap Ardi.
“Eh, tidak ada gunanya itu. Apa yang bisa kamu lakukan untuk membangun Indonesia dengan kajian gender-mu itu? Tidak ada!”, tutur Reno dengan nada tinggi.
“Tidak ada guna kamu otak-atik itu orang punya gender, kamu lihatlah banyak transgender itu, kamu mau kaji mereka, kamu mau jadi transgender juga?” tambahnya lagi.
“Hellow, bukan itu yang aku maksud. Kajian Sosiologi Gender itu tidak hanya mengkaji transgender lho, tetapi juga peran perempuan dan laki-laki. Kamu lihat banyak saudara-saudara kita yang bekerja jadi TKW (tenaga kerja wanita – red) di Malaysia yang disiksa bahkan dihukum mati. Itu juga bagian dari kajian gender. Jika kamu bertanya tentang peranku untuk Indonesia dengan kajian gender, aku tidak akan bisa menjawab apapun saat ini. Tapi, lihat saja suatu saat nanti. Dan kamu akan menyadari betapa pentingnya kajian gender untuk keberlangsungan bangsa ini”, tuturku.
“Aku tidak yakin itu. Lebih baik kamu beralih saja kajianmu. Janganlah kajian gender, kamu bisa kan seperti kajian Sosiologi Industri begitu. Kamu perlu membangun Indonesia, dimulai dari daerahmu sendiri. Kajian industri di desa-desa begitu aku rasa bagus itu”, Reno malah mengalihkan topik pembicaraan.
“Iya juga sih ya, apa coba gunanya kau ambil kajian Sosiologi Gender. Memangnya tidak ada yang lebih menarik selain gender yang menjadi kajianmu?”, tutur Kendy sembari tertawa yang dari tadi menyimak perdebatan kami.
Rasanya sudah tiada daya aku untuk meneruskan perdebatan panjang itu, sampai esok pagi pun tidak akan selesai, hingga akhirnya aku mengalah. Bukan berarti aku melahap mentah-mentah omongan mereka yang di utarakan kepadaku. Ah, lebih baik aku pulang ke dorm saja. Tiada gunanya perdebatan panjang dengan orang yang tidak mengerti apa itu ‘Gender’.
Keesokan harinya.
Suasana di kelas pagi ini sudah lumayan ramai. 15 menit sebelum mulai pembelajaran, seisi bangku kelas sudah terisi dengan masing-masing kepala. Kebanyakan anak-anak di kelasku background (latar – red) pendidikan S1-nya Matematika dan IPA, beberapa di antaranya jurusan Nursing (keperawatan – red) dan Akuntansi.
“Teman-teman, tahukah kalian semua kalau dia akan studi Sosiologi Gender untuk Masternya. Itu kan sangat tidak perlu sekali, mengotak-atik gender orang lain. Seperti tidak ada kerjaan saja, masih banyak yang bisa dilakukan untuk membangun Indonesia selain dengan kajian Gender.” Reno, memulai perang itu lagi.
Mukaku memerah seketika, bukan karena aku malu tetapi marah, gregetan. Mengapa persoalan di dorm kemarin dibawa-bawa ke kelas yang jumlah manusianya lebih dari 20 orang itu.
Semua mata tertuju padaku kala itu. Entah apa yang ada dalam benak mereka masing-masing. Aku mencoba menepiskan rasa marahku. Aku mencoba tarik nafas pelan, untuk bisa tenangkan diri.
“Ayo Nico, jelaskan pada kami apa itu gender”, terdengar suara seperti mengejek dari sudut kelas.
Oh, shit! Damn!, umpatku dalam hati. Namun, aku tetap berusaha santai dan calm down (tenang – red). Kepalaku masih tertunduk dan masih fokus pada bacaanku, meski seketika buyar karena deklarasi Reno barusan.
Aku langsung berdiri seketika dari tempatku duduk. “Kamu belum puas dengan semua hujatanmu padaku tadi malam? Mau kamu apa sih?” Aku langsung to the point tanpa peduli seisi kelas yang sedang memperhatikan ku.
“Aku mau kamu jelaskan kepada kita semua di sini, bagaimana kajian gender-mu itu”, dia semakin nyolot dan nantang. Aku tatap di sekitarku, semua mata tertuju padaku.
“Ssstt.. diam, pakar gender mau menjelaskan itu,” ujar salah satu di antara mereka berkata. Oh, Lord. Bantu aku untuk berdiri di sini, kaki ini rasanya tak sanggup lagi menahan ganjalan omongan bertubi-tubi dari mereka. Tanpa ragu, aku jelaskan segala yang ada di kepalaku saat itu. Bahwa pada dasarnya, yang dibutuhkan adalah kesetaraan di antara manusia, dimana setiap manusia saling menghargai tanpa melihat jenis Gender yang melekat pada diri seseorang. Entahlah, salah atau benar aku sudah tak peduli, yang aku tahu aku ingin menjadi penyuara hak-hak kaum termarjinal semisal kelompok trangender.
“Ngapain kamu harus bela mereka yang tidak normal itu?” Reno semakin nyolot.
“Kamu bisa sebut-sebut kata normal itu indikator nya normal itu apa sih?” Aku balik bertanya.
“Normal itu kalau di matematika, ada sebuah titik besar tempat berkumpulnya garis-garis kecil. Nah, garis-garis yang mengelilingi titik besar inilah yang disebut sebagai garis normal. Sementara garis-garis yang jauh dari titik besar ini dinamakan garis tak normal.” Jelas Reno dengan teori matematika-nya.
“Wah, itu parah banget. Teori matematika-mu sangat-sangat parah. Kamu tidak bisa serta merta men-judge teori normal dan tak normal-mu itu dengan konteks gender.” Aku serasa ingin meneteskan air mata kala itu.
Karena perspektif kita tidak akan pernah sama, antara ilmu bilangan dan ilmu sosial. Mungkin banyak scientics yang peka gender dan peduli akan hal itu. Namun tidak bisa dipungkiri, ada pula yang bertolak dengan hal itu.
Ibaratnya dalam ilmu bilangan 1+1=2, seolah-olah hanya 2 jawaban yang mutlak. Demikian pula dengan perspektif ‘normal-tak normal’ yang dijabarkan Reno, seolah-olah hal itu adalah yang paling benar dan sudah benar. Padahal kenyataannya hal itu benar-benar berbeda dari fakta yang sesungguhnya, bagiku itu adalah nihil.
*Penulis adalah Mahasiswa Pasca sarjana di salah satu universitas di Yogyakarta.