Oleh: Kalamita
Suarakita.org- Sore itu, Dunkin Donuts di kawasan Plaza Semanggi (Plangi) sangat ramai. Hawa panas bis kota serta halte yang mengecil karna penuh sesak membuat Kevin bad mood, dan semakin memuncak saat melihat tidak ada bangku kosong di kedai itu. Bahkan di meja sudut yang telah menjadi ruang kongkow bersama para sahabatnya itu diisi oleh keluarga. Para sahabat belum tampak, tak satu pun diantara mereka yang berkabar.
“Cur, loe dimana? Capcus!”, tegas Kevin dari telpon genggamnya. Lima belas menit kemudian, setelah kopi hitamnya menyusut, tiba-tiba; “Soriiii Jeng… Gue nganter nyokap dulu ke Bidakara. Biasa, nganter Mami kontrol jantungnya. Dokternya bikin gue betah Jeng”, ujar suara yang tak asing di belakang punggungnya. Ya, itu suara Bobi. Salah satu sahabat Kevin yang cukup berusia, namun jiwanya muda. “Ih, tetepp…”, jawab Kevin sambil berbalik melihat Bobi. Tak lama Jimi dan Jasin tampak berjalan ke arah Bobi dan Kevin di kejauhan. Mereka berempat adalah sekawan yang selalu menghabiskan waktu sore bersama, di Dunkin Donuts, plangi.
“Tuh, nongol dayang-dayang Thamrin. Eh, loe pada bisa bareng gitu? Abis nyebong bareng?”, tanya Kevin pada Jimi dan Jasin. Pertanyaan yang belum sempat terbalas itu disikapi oleh Bobi dengan berdiri dari bangkunya dengan mata yang tajam menatap ke arah diagonal. “Duh, si Miss World mau kemana? Kita aja baru nyampe, loe udah mau cabut…”, tukas Jasin. “Bentar… Biasa, ke toilet!” “Ih, pasti deh. Kebiasaan. Fitness aja belum udah mau karaoke”, seloroh Jimi.
Bobi pun mengejar seorang pria yang sempat dilihatnya tadi. Dia adalah dokter yudi yang mengontrol Ibunya tadi… “Mas Yudi, Mas, mau kemana?”, tanya Bobi. “Ah, kamu, kirain siapa. Mau nyari buku trus nyoba fitness di atas. Kamu sendiri?” “Aku ngopi di Dunkin, trus mau fitness. Bisa bareng dong… Enak kok tempatnya. Aku biasa fitness di sini.” “O gitu… Kita bareng aja. Kamu ama siapa? Ganggu gak?”, tanya dokter Yudi. “Aku bareng sama temen, bertiga, tapi gak papa, mereka pada punya agenda sendiri kok. Ya udah, nanti biar aku bantu bikin kartu anggotanya ya, aku kenal sama orang-orangnya yang di fitness kok. Langganan… Mas kan mau ke Gramed, aku ke toilet dulu ya. Nanti nyusul aja ke Dunkin. Aku tunggu di sana…”, pinta Bobi.
Selang satu jam empat puluh lima menit, tampak langit di luar mall mulai meruak senja, tanda malam akan hadir. Keempat sahabat itu bersama dengan kawan baru mereka, dokter Yudi, bersiap menuju tempat fitness di lantai atas. Mereka semakin akrab dan mencair dalam suasana atletik. Meski akhirnya ketiga sahabat Bobi memiliki agenda pertemuan dengan kawan mereka masing-masing di lokasi fitness. Tampak Bobi dan Mas Yudi semakin akrab. Tak terasa waktu menunjukan pukul sembilan tiga puluh malam.
“Kamu pulang bareng mereka?”, tanya dokter Yudi ke Bobi. “Enggak Mas. Arahnya beda. Aku kan tinggal di Cinere. Mereka di daerah Grogol. Ih, masak lupa, situ kan dokternya Mami. Hehe…” “Enggak, aku mau ajak pulang bareng. Keberatan gak? Mami ada yang nemenin kan?” “Ada… Ya udah. Tapi arahnya sama? Mas ke arah mana? Biar aku turun di Blok M saja,masih banyak angkutan kok.” “Gak usah, aku juga pingin tahu rumahmu.”
Sepanjang perjalanan dalam mobil… “Aku tahu…”, lirih suara Bobi memulai keheningan. “Hmm… Aku lupa mau tanya nomer telponmu. Gak nyangka kita ketemu di Plangi. Kamu mau makan? Aku pingin ngajak kamu ke suatu tempat dulu, kamu ok kan?” “Kemana? Aku diet kalau malam, habis fitness makan, apa gak makin berpager ini perut. Hehe…” “Ada tempat enak, di daerah Kemang. Ada restorannya juga, aku biasa ke sana. Tapi beberapa bulan terakhir aku enggan ke sana. Pacarku meninggal karna kecelakan, kami sering ke tempat itu.” “Lho, tempat sedih kok mau didatengin?” tanya Bobi. “Itu dulu… Sekarang kan ada kamu. Aku tahu kamu juga suka padaku. Apa kamu ada pacar? Kalau kamu keberatan, kita bisa langsung pulang.” “Enggak, Mas. Kami putus sudah hampir setahun menjanda deh. Hehe… Paling ya, ada yang mampir lalu pergi…” “Hmm… kita sudah sampai.”
Suasana resto yang remang dan romantis, sayup terdengar alunan musik jazz klasik membuat aura malam ini menjadi hangat sehangat cahaya purnama yang menerangi bumi kini. Saat memasuki lorongnya, wangi aroma bunga dan suara gemericik air menemani perjalanan kedua laki-laki itu mereka memilih tempat duduk di sudut yang dekat dengan kolam ikan dan bambu kuning. Sambil menikmati makanan yang telah dihidangkan, kedua mahluk yang sepi itu pun makin larut dalam perasaan-perasaan untuk saling berbagi. Tampak percakapan semakin dalam dalam aura hati yang merebak dari balik bola mata yang saling bertatap, ingin. Hingga pilihan terakhir keduanya adalah menyewa rumah cottage yang memang tersedia di area itu.
“Mas, aku enggak mau malam ini berakhir luka. Usiaku sudah menuntutku untuk tidak lagi bermain dengan perasaan…” “Aku juga, aku ingin hubungan kita bisa ke arah pernikahan. Sejak awal kamu datang ke klinikku, aku sudah suka. Tapi aku ingin memastikannya. Aku bukan tipe pria yang datang lalu pergi. Pekerjaanku sudah cukup membuatku lelah. Aku sangat butuh tempat untuk berbagi hidup.” Kehangatan merebak di remang kamar yang beraroma dupa melati… “Mas, apa kamu ada…?”, tanya Bobi pada Yudi. “Aku ada, aku kan dokter.” Senyuman dari Yudi semakin menghangatkan persetubuhan yang dimulai malam ini. Sebuah persetubuhan dua orang manusia yang rindu akan pulang, dimana segalanya menjadi nyaman dan penuh tenang. Sebuah perasaan sunyi masing-masing yang telah saling menanti sejak dari bilik klinik dan akhirnya di pertemukan di Plaza Semanggi.
Lenteng Agung, 30 Januari 2015
*Penulis adalah seorang Ibu rumah tangga dengan hobi menari dan menulis. Aktivitas kesehariannya dihabiskan di rumah, berkumpul bersama anak-anaknya.