*Wisnu Adihartono
Ajang pencarian bakat Indonesian Idol 2012 dihebohkan kembali dengan pernyataan host-nya, Daniel Mananta yang menganggap biasa-biasa saja pernyataan para juri Indonesian Idol 2012 yang dianggap sudah melecehkan para peserta. Sekedar kilas balik, beberapa LSM dan individu pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM) mengecam pernyataan para juri yang sangat heteroseksis (pandangan bahwa heterseksual yang paling benar). Perlu diingat bahwa para pemerhati ini tidak mengecam program ini dan juri-juri yanh telah dipilih, tetapi alangkah baik dan bijaksananya apabila mereka tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang sangat seksis tentang identitas gender seseorang, apalagi program ini ditonton ratusan ribu pasang mata.
Adalah host program ini yang semena-mena mengatakan bahwa pernyataan para juri dianggap wajar dan disandingkan dengan pernyataan juri-juri American Idol. Apakah ”Mister” Daniel Mananta juga sudah melihat tayangan Idol di negara lain? Dutch Idol misalnya. Saya pernah melihat penjurian Dutch Idol yang pesertanya beragam. Salah satu pesertanya adalah seorang transgender yang tidak memiliki suara bagus. Tetapi para juri mengapresiasi dengan bagus dan sama sekali tidak menyinggung dirinya sebagai transgender. Apa yang dikritik para juri adalah kualitas suara, dan bukan identitas gendernya. Identitas gender bukan dianggap sebagai sebuah halangan. Saya sangat percaya, tidak ada di dunia ini yang tidak memegang teguh norma heteroseksual. Negara Eropa yang cenderung kita lihat sebagai negara ”bebas”, bahkan di beberapa negara Eropa pernikahan sesama jenis diizinkan, fenomena heteronormativitas tidak bisa dilepaskan begitu saja. Masih banyak masyarakat Eropa yang juga heteroseksis. Tetapi bagaimana heteroseksis tersebut dapat diminimalisir sedemikian rupa?
Rupanya ”Mister” Daniel Mananta juga menyinggung ”Freedom of Speech”. Saya akui memang benar bahwa kebebasan berbicara adalah hak setiap orang. Individu berhak menyuarakan pendapatnya. Tetapi perlu diingat bahwa sejatinya ”Freedom of Speech” harus disikapi dan dimaknai dengan positif. Apa artinya? Kebebasan menyatakan pendapat memerlukan kematangan berpikir. Kematangan untuk menggodok ide-ide di kepala sehingga menghasilkan sesuatu yang positif. Sayang sekali apabila ”Freedom of Speech” digunakan dalam kerangka yang negatif. Karena ”Freedom of Speech” yang negatif tidak akan pernah bisa membuat publik menjadi pintar.
Mari kita menganalogikan hal ini. Sebut saja presiden pertama kita Soekarno yang sangat pintar ”speech” bahkan cenderung frontal. Apa yang beliau ungkapkan adalah hasil olahan beliau mengemas literatur-literatur yang beliau baca sepanjang hidup. Walaupun beliau membaca pemikiran Karl Marx, yang justru disinyalir oleh publik Indonesia sebagai ajaran komunis yang sesat, tetapi beliau mengambil intisari Marx. Beliau mereproduksi Marx dalam kematangan berpikir. Ketika beliau berpidato, publik tidak sadar bahwa apa yang beliau ungkapkan menyinggung pemikiran-pemikiran Marx. Hal seperti inilah yang seharusnya kita jadikan contoh bagaimana ”Freedom of Speech” ditangani.
Cara pandang publik Eropa tentu saja berbeda dengan cara pandang publik Asia Tenggara. Sebagian besar publik Eropa sudah mampu memilah mana hal yang positif dan mana hal yang negatif. Publik Eropa sudah mampu mereformulasi mana yang patut direformulasi dan mana yang tidak patut direformulasi. Saya tidak mendewakan Eropa, tetapi sebaiknya ”mister” Daniel Mananta belajar untuk bisa melihat mana yang patut dan mana yang tidak patut. Sebagai seorang anak muda Indonesia yang sudah pernah mengenyam pendidikan di luar negeri dan berpikiran maju, sejatinya bawa sesuatu yang positif ke Indonesia, dan evaluasi sesuatu yang negatif ke Indonesia agar menjadi positif.
Terakhir, saya sangat terganggu dengan pernyataan ”nyeleneh” ”mister” Daniel Mananta tentang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang justru menilai dan ”mengultimatum” KPI sebagai lembaga yang seharusnya menyensor laki-laki yang feminim. KPI adalah bukan lembaga yang gegabah menilai orientasi seksual seseorang dan KPI pun tidak berhak menilai dan menghakimi orientasi seksual seseorang. KPI sebagai sebuah lembaga memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri akan kualitas Indonesian Idol 2012 dengan tidak menghubungkan dengan orientasi seksual siapapun. Apa yang seharusnya KPI lakukan adalah menegur stasiun televisi yang menayangkan program tersebut agar kemudian disambungkan kepada juri-juri yang bersangkutan. Jadi tidak ada ”urusan” ”mister” Daniel Mananta mengajak KPI untuk menghapuskan laki-laki yang feminim di semua program.
Indonesian Idol 2012 harus tetap berjalan sebagaimana mestinya karena dengan ajang ini, Indonesia dapat menelurkan musisi-musisi yang handal dan dapat mengharumkan nama Indonesia.