Search
Close this search box.

[CERPEN] Kembang Api

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org- Hari ini adalah tahun baru masehi. Dan kau tidak bisa merayakannya bersama dia. Memang, itu bukan sesuatu yang berarti. Juga bukan sesuatu yang penting. Hanya saja dia sudah berjanji untuk di sini bersamaku saat tahun baru. Duduk bersama, menikmati udara malam, memanggang daging dan memakannya langsung dari panggangannya. Juga kembang api yang indah dari seluruh penjuru kota.

Padahal baru seminggu yang lalu dia hadir dan menemaniku di hari Natal. Dia memberiku hadiah baju hangat berwarna biru muda dan sekotak kecil coklat putih. Sedangkan aku memberinya jam tangan kulit berwarna coklat yang sudah diimpikannya selama satu tahun ini. Aku melihat senyumnya yang lebar ketika ia sedang mencoba memakai jam tangan itu.

Kemudian turunlah hujan. Dia mematikan semua lampu dan menyalakan beberapa lilin di sekitar pohon Natal. Aku hanya duduk memeluk lututku sambil melihatnya hilir mudik, dan kugunakan hadiah darinya karena udara sangat dingin.

Begitu selesai, ia duduk disebelahku. Menghembuskan nafas panjang lalu tersenyum padaku. Kemudian ia merangkulku. Dan memberikan pundaknya untuk kepalaku bersandar. “Selamat Natal.” Katanya.

“Selamat Natal, sayang.”

“Terima kasih ya”, katanya lembut.

Aku hanya menatap dalam-dalam matanya dan mencium pipinya. Dia membalas ciumanku melalui siuman di ubun-ubun kepalaku. Cukup lama bibirnya menempel di kepalaku sampai akhirnya ia menyenderkan pipinya di kepalaku.

Dia menggenggam tanganku sambil sesekali menciumnya. Kudengar nafasnya lembut menyentuk rambutku.

“Besok jadi?” tanyaku.

“Aku minta maaf ya.” Katanya sembari menghembuskan nafas panjang lagi.

“Tak apa aku ngerti.”

“Tapi aku janji aku akan pulang ketika tahun baru.” Katanya berjanji.

Aku senang mendengarnya. Tapi aku terdiam tak tahu harus membalas apa.

“Doni?” panggilnya perlahan.

Aku mengangguk dan mulai menangis.

***

Aku berjalan menuju dapur di pagi hari keesokan harinya. Pada tanggal dua puluh enam. Mengambil sebuah cangkir dan mengambil sekantung kecil teh celup. Kutuangkan air mendidih dan setelah itu aku masukan gula putih dua sendok.

Selesai dari sana aku berjalan menuju ruang tengah. Menaruh cangkir secara hati-hati, kemudian membanting diriku ke sofa. Dan barulah aku memikirkan Radit.

Aku lirik sebuah kertas undangan pernikahan di atas meja. Aku sengaja tak membukanya karena aku tak mau. Undangan itu tak penting untukku. Jadi aku teruskan untuk menatap layar kaca lebih lama.

Pesan singkat datang. Dari Riska teman kantorku.

“Hei, Kau tak datang?”

“Tidak, dan Kau tahu mengapa.”

“Ayolah, dia ingin Kau datang. Aku ingin Kau datang.”

“Untuk melihatku kesakitan maksudnya?”

Tak ada balasan apapun dari Riska. Dia sudah tidak mempunyai kesempatan menang untuk berdebat denganku. Aku lempar saja handphone itu ke sudut sofa.

Tak ada lagi yang mengganggu. Hanya kesunyian, kesendirian, dan tatapan kosong ke layar televisi. Tanpa kusadari, air mataku kembali turun. Dan kulirik surat undangan itu. Aku menatapnya cukup lama sampai aku tak tahan lagi lalu berdiri membuat tindakan.

Kuraih surat itu. Surat undangan bertuliskan Radit dan Riska, bersatu dihadapan Tuhan. Pemberkatan: 26 Desember 2014. Dan kulemparkan ke tempat sampah.

***

-Dua bulan sebelumnya-

“Doni! Kau harus membantuku!” Riska berhamburan berlari kearahku. Dan menangis entah karena apa.

“Kau kenapa?” aku beranjak dari kursiku dan memberikannya pada Riska.

“Orang tuaku tahu aku lesbian. Aku harus apa?”

“Kau tenang dulu, ya? Kita cari solusinya.”

“Mereka mengancamku akan dijodohkan dengan tetanggaku.”

“Iya, iya, kamu tenang dulu ya. Kita tunggu Radit kemari. Mungkin dia memiliki solusi untuk masalahmu ini.”

“Andai aku bisa sebebas kalian. Tanpa beban. Bebas bercinta.”

“Jangan bicara begitu.”

Sepuluh menit kemudian Radit datang dan langsung mengecup kepalaku.

“Ada apa?” tanyanya padaku. Dan kujelaskan semuanya pada pria yang kucinta ini.

Kami semua kembali berfikir, memutar otak untuk mencari solusi. Riska sudah menghentikan tangisannya. Baguslah keadaan bisa lebih tenang.

“Bagaimana jika aku lari saja? Malam ini. Lari keluar kota bersama pacarku”, kata Riska.

“Jangan! Itu terlalu beresiko. Bagaimana jika pacarmu belum siap?” tanyaku.

“Jadi apa?” tanya Riska yang terlihat akan kembali menangis.

“Aku tahu”, kata Radit. “Aku akan menikahimu.”

Aku terkaget. “Apa?!”

***

Esok harinya setelah perkataan Radit yang tak terduga. Aku dan Radit bertengkar hebat. Aku menyalahkannya karena mengambil keputusan berat sebelah dan tidak mau mendengar pendapatku. Sedangkan Radit menyalahkanku karena menurutnya aku tak mengerti tentang keputusannya.

“Sayang, ini untuk kebaikan kita bersama.” Katanya di telepon.

“Tidak, ini untuk kebaikanmu dan Riska belaka. Kau berencana seperti itu untuk menutupi dirimu sendiri dan meninggalkan aku.”

“Niatku hanya ingin menolong Riska. Itu saja, terserah kau mau percaya atau tidak.”

“Aku tidak bisa percaya padamu lagi.”

“Terserah!”

Menit di telepon bergulir secara percuma dalam keheningan.

“Halo?” kataku.

“Ya?”

“Aku tak peduli. Sana pergi! Menikahlah bersama siapapun!”

“Kau tidak mengerti. Niatku hanya ingin men…”

“Tidak! Menurutku niatmu lebih dari itu. Kau mempermainkan makna pernikahan.”

“Siapa kau? Yang tahu niatku ternyata memang hanya aku dan Tuhan. Kau tak tahu apapun mengenai niatku.”

“Ah ya! Riska-lah yang mengerti tentang niatmu. Begitu?”

Telepon kembali hening.

“Sayang?” katanya.

Aku terdiam saja.

“Aku mencintaimu melebihi siapapun. Apa itu belum cukup?”

Aku masih terdiam.

“Kau tak kasihan pada Riska? Dia itu sahabatmu. Dari waktu kecil kalian selalu bersama. Aku hanya ingin menolongnya, sayang.”

***

“Jika kau ingin menyalahkan seseorang, salahkan aku. Kau tidak seharusnya menyalahkan Radit. Dia menyayangimu melebihi yang kau tahu.” Riska berusaha untuk membuatku dan Radit kembali akur keesokan harinya di kantor.

“Jangan bahas itu sekarang. Nanti ada yang dengar.”

“Doni! Tolong! Aku tak tahu lagi harus apa, Radit harapan terakhirku. Aku mengerti kau tidak menyukai ini semua.”

Aku hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa.

“Katakan aku harus apa agar kalian bisa akur. Dan kita bisa berteman lagi.”

“Aku tak tahu. Aku benar-benar… tak tahu.”

“Aku bisa mengerti jika Kau membenciku selamanya. Namun aku akan selalu menganggapmu sahabatku. Aku hanya ingin meminta maaf karena kebodohanku, Kau harus ikut menderita. Padahal seharusnya aku selesaikan ini sendirian.”

Dan begitulah caraku kehilangan sahabat terbaikku.

***

Seseorang mengetuk pintu rumahku. Langsung saja aku buka pintu dan kulihat pria tampan yang kucintai datang dengan beberapa kantung belanjaan di malam hari begini.

“Tapi kau bilang kau tak akan datang karena ada acara keluarga di rumah Riska?”

“Yeah, memang. Tapi janji tetaplah janji, kan?”

“Bagaimana bisa? Tak ada yang curiga kau pergi mendadak?”

“Apa itu penting?”

Aku hanya menggeleng, karena yang terpenting Radit disini. Merayakan tahun baru.

“Boleh aku masuk? Di luar dingin sekali.”

Aku mengangguk segera dan memberinya jalan masuk.

“Aku letakan ini di sini ya?” kata Radit. Namun aku hanya menatapnya. Masih tidak percaya dia disini bersamaku di tahun baru.

“Riska tahu Kau disini?”

“Tentu. Sebenarnya dia yang menyuruhku untuk kesini.”

“Tidak mungkin.” Kataku ketus.

“Jangan bicara begitu. Dia itu peduli padamu. Dia itu sahabatmu.”

“Tidak lagi.”

Kulihat Radit menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil melepaskan jam tangan pemberianku lalu meletakannya di meja.

“Bagaimana malam pertama kalian?” tanyaku sembari tertawa.

Radit menghela nafas. “Kami berdiskusi.”

“Berdiskusi? Yang benar saja.”

“Kami membicarakanmu.”

Aku terdiam. “Maksudnya?”

“Kami memutuskan untuk tidak mempunyai anak biologis. Karena aku tahu aku tak bisa melakukannya, begitupun Riska. Dan kami sepakat untuk bersama-sama di saat acara keluarga saja. Sisanya? Aku akan disini menghabiskan hari-hariku bersamamu. Di rumahmu.”

Aku hanya terdiam. Tak percaya sama sekali Riska melakukan itu. Namun aku percaya pada setiap kata yang keluar dari mulut Radit.

“Halo? Radit memanggil Doni. Kau di sana?” tanyanya, kemudian ia tertawa.

“Tolong… katakan padanya aku meminta maaf.”

“Aku memaafkanmu,” kata Riska tiba-tiba di belakangku. Aku berlari ke arahnya dan memeluknya erat. “Maafkan aku juga ya”, katanya. Aku hanya mengangguk.

“Jadi, semua sudah baik-baik saja ‘kan sayang?” tanya Radit. Aku melepaskan pelukanku dan berpindah memeluk pria tampan itu. “Aku menyayangimu, Doni”, lanjutnya.

“Aku juga menyayangimu”, kataku.

Dan kemudian bibirnya bertemu dengan bibirku bersamaan dengan kemeriahan kembang api di seluruh penjuru kota. Kulihat ada seorang perempuan lagi di antara kami. Itu kekasih Riska, Aku mengenalnya. Ia datang dan mengecup kepala Riska.

“Selamat tahun baru untuk kalian semua!” teriak Riska. Kami semua tertawa.

 

*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.

Bagikan