Oleh: Tanti Noor Said*
Suarakita.org- Pengantar untuk kawan-kawan waria: Teman-teman yang saya sayangi, berat rasanya kali ini bahwa saya kembali turut berkontribusi pada proses pendistribusian informasi berkaitan dengan isu gender ketiga yang marak diteriakkan beberapa waktu ini. Mungkin banyak teman mengetahui posisi saya secara pribadi yang percaya bahwa kategorisasi telah menghadirkan sebuah sistem pengotakan baru dalam masyarakat. Bagi saya, kategori sosial tidaklah menyelesaikan masalah ketidak-setaraan. Namun menambah pelik dilema tentang penitik-berataan akan sesuatu yang berbeda, eksotik, istimewa, yang menjadi wadah terlahirnya diskriminasi baru.
Terlepas dari pendapat saya sebagai individu maupun antropolog yang mencoba konsisten pada keberpihakan kepada kelompok yang dimarjinalkan, saya memiliki tanggungjawab, yaitu untuk tetap menyirkulasikan pengetahuan yang berkaitan dengan gender ketiga di dalam konteks ilmu pengetahuan sosial, maupun masyarakat. Namun, saya tidak lupa, bahwa saya dalam hal ini hanyalah distributor informasi. Tak dapat saya mewakili perasaan teman-teman waria, transgender dan teman-teman lainnya yang merasakan ketidak-adilan karena dibatasinya ekspresi teman-teman dengan pilihan identitas yang tidak mengakomodasi atau bahkan menolak perbedaan. Mungkin teman-teman enggan bersuara, karena pengetahuan sudah dihegemoni dan dikapling oleh kelompok yang lebih dominan dan memiliki akses, baik itu yang memiliki akses kekuasaan, pengetahuan dan juga media. Karena bahasa dengan kode-kode yang terlihat elegan dan berbungkus pakaian intelektual turut memarjinalkan teman-teman sekalian.
Prinsip gender dalam ilmu pengetahuan
Selama di bangku sekolah, kita memang hanya diperkenalkan dengan dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Kemudian para feminis mulai membuat konsep yang membagi antara yang bersifat biologis, yaitu jenis kelamin, dan yang bersifat sosial dan budaya, yaitu gender. Yang dimaksud dengan gender adalah bagaimana fungsi dan konsekuensi dari dua jenis kelamin ini. Fenomena terdapatnya berbagai variasi gender di luar dari kedua jenis kelamin ini, menimbulkan kebingungan bagi para ilmuwan, baik dari disiplin kedokteran, psikologi sampai dengan ilmuwan sosial dan budaya. Kebingungan ini mendorong para ahli untuk meng-klasifikasikan mereka sebagai sebuah penyimpangan, terkadang juga keunikan.
Antropologi, tidak terlepas juga dari panduan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang berasal dari barat lainnya. Namun, tidak seperti ilmu-ilmu yang hanya berpusat dengan fenomena yang ditemui di Barat, antropologi memiliki kesempatan untuk mempelajari masyarakat-masyarakat di luar Eropa Barat dan Amerika Serikat. Meskipun begitu, pada awalnya antropologi hanya mengumpulkan cerita dan juga keunikan-keunikan yang dianggap eksotik, dengan diperbandingkan dengan sebuah dasar pengetahuan yang ada di barat.
Sejarah digunakannya terminologi transgender dan gender ketiga di masyarakat Eropa Barat dan Amerika Serikat
Terminologi transgender kemudian hadir sebagai sebuah reaksi terhadap ketidak-puasan ataupun ketidak-setujuan kaum gay dan lesbian terhadap bentuk hubungan heteronormatif yang seakan-akan terjadi di antara mereka, sesama laki-laki, namun salah satu dari pasangannya berpakaian dan berperilaku feminin. Karena, menurut mereka orientasi seksual, tidak harus berkorelasi dengan gender (Valentine 2007). Inilah dapat dibilang keterbatasan dari definisi hubungan homoseksual yang ingin didefinisikan secara rigid (kaku – red).
Sementara itu gender ketiga adalah sebuah terminologi dan kategori gender yang digunakan oleh beberapa antropolog yang tidak puas dengan teori dikotomi laki-laki dan perempuan. Menurut antropolog yang tulisannya sangat berpengaruh mengenai gender ketiga, Gilbert. H. Herdts, gender ketiga tidak perlu diartikan secara harfiah, namun lebih sebagai sebuah jawaban dan alternatif pada pilihan yang telah mapan, namun tidak dapat menfasilitasi keberagaman yang ada.
Meskipun begitu, secara penggunaan terminologi transgender dan gender ketiga masih sangat diperdebatkan. Terminologi-terminologi tersebut pada awalnya digunakan oleh para antropolog, yang dibandingkan dengan para peneliti dan ilmuwan sosial lainnya, memiliki akses untuk mempelajari praktek-praktek budaya di berbagai masyarakat selain masyarakat Barat. Ketakutan yang muncul adalah penitik-beratan secara berlebihan terhadap keunikan ataupun perbedaan semata dalam hal gender dan seksualitas yang cenderung menekankan pada perbedaan masyarakat non-Barat dan Barat. Padahal praktek ini sebenarnya, meskipun dengan perbedaan makna, terminologi dan konteks sosial dan budaya, bukan hanya berada dalam masyarakat non-Barat.
David Valentine adalah seorang antropolog yang lebih berhati-hati dalam penggunaan terminologi ini, menjadi “transgender identified”, yaitu sub-kultur ataupun kelompok yang diidentifikasikan oleh orang lain sebagai transgender. Kemudian, antropolog Niko Besnier juga menyebutkan bahwa penitik-beratan konsep gender ketiga juga seakan-akan memberikan sebuah bentuk dikotomi dunia Barat dan non-Barat, di mana seakan praktek transgenderisme ini lebih mendapatkan tempat di masyarakat non-Barat, sembari melihat tidak tolerannya dunia Barat terhadap praktek tersebut. Padahal, kita semua mengetahui betapa problematisnya fenomena ini dalam berbagai masyarakat. Di Indonesia, kita pun mengetahui tindakan-tindakan marjinalisasi dan diskriminasi yang terjadi pada teman-teman kita yang secara gender, tidak menjalankan, menganut, ataupun sesuai dengan prinsip-prinsip heteronormatif.
*Penulis adalah Seorang Antropolog lulusan Program Master Universiteit van Amsterdam.
Referensi
Besnier, Niko. 1994. Polynesian gender liminality. Through time and space in Third sex, Third gender. Beyond Sexual Dimorphism in Culture and History. Zonebook. New York.
Towle, Evan.B and Morgan, Lynn.M. 2002. Romancing the transgender native. Rethinking the use of third gender concept.