Search
Close this search box.

[CERPEN]: Mawar untuk Sophie

Mawar untuk Sophie

Oleh: Nurlaili Oktaviani Faozan*

Suarakita.org- Dear SophieApa kabarmu saat ini? Bagaimana kuliahmu? Apakah semua berjalan lancar? Apakah semua baik-baik saja? Apakah kamu sudah makan? Apakah kamu juga memikirkan saya. Tidak begitu. Tidak! Tidak begitu seharusnya saya menulis surat ini. Saya sudah lama sekali putus dengan Sophie. Bagaimana mungkin saya menulis surat demikian. Mungkin saya harus lebih santai menulisnya, bukan seperti kekasih. Baiklah, saya akan mencoba kembali.

Dear Sophie…

Bagaimana kabarmu? Apakah kuliahmu berjalan lancar? Saya pikir saya merindukanmu. Saya mencoba mengirim pesan singkat dan menelponmu tapi … Tidak begini juga. Memang siapa saya? Memaksanya untuk memberi kabar pada saya. Sudah saya katakan seperti sahabat saja. Oh! Sulit sekali menulis surat ini. Saya kira akan berjalan dengan mudah. Baiklah, saya akan mencobanya kembali.

Halo Sophie…

Bagaimana kabarmu sekarang? Apakah kuliahmu berjalan lancar? Saya kira demikian. Apa yang terjadi pada kamu? Sungguh! Saya menunggu beritamu, jadi tolong beri kabar pada saya. Oh tidak! Semestinya tidak begini juga. Ini surat, bukan pesan singkat. Sungguh sebegitu burukkah kemampuan menulis saya. Sepertinya semua ini karena saya tidak pernah di ajarkan menulis. Sepertinya karena saya terlalu banyak di ajarkan mengetik sms yang langsung to the point. Tidak seperti surat yang harus ada basa-basinya. Oh Tuhan! Sulit sekali menulis surat kepadanya. Dia kan juga mantan kekasih saya. Mengapa harus sesulit ini? Demi Tuhan! Sulit sekali rasanya.

Hai Soph… Oh tidak mungkin saya mengawali surat seperti ini. Soph adalah panggilan sayang saya ketika kami masih menjalin hubungan. Tentulah, saya harus lebih formal. Karena seperti yang saya katakan kami sudah berpisah. Jadi, saya pun harus dengan santai menulis surat padanya. Seperti teman, sahabat, kakak atau adik? Entahlah, saya pun bingung mengapa harus menulis surat kepadanya. Tapi tetap saja, saya harus menulis. Karena saya mengkhawatirkan dan merindukannya. Sungguh saya merindukannya. Baik, saya akan mencobanya kembali.

Selamat pagi Sophie…

Bagaimana kabarmu? Apakah kamu baik-baik saja disana? Bagaimana kuliahmu? Saya mencoba menghubungimu tapi, saya tidak berhasil. Saya bertanya kepada beberapa teman-temanmu dan mereka mengatakan “tidak tahu apa-apa” tentang mu. Mereka menyuruh saya menemui ibumu. Padahal kamu tahu bukan ibumu benci sekali pada saya. Tidak mungkin. Sungguh tidak mungkin jika saya harus menemui ibumu. Akan bilang apa dia nanti, jika tahu saya tidak dapat menemukanmu. Pasti dia akan senang karena kita telah berpisah, tapi yasudah-lah saya tidak ingin membahas ibumu di surat ini. Saya ingin membahas mengenai kamu. Hanya ingin membahas antara saya dan kamu. Tidak lebih!

Apakah kamu sudah mendapatkan pengganti saya? Hahaha…Tentunya sudah bukan? Kamu adalah perempuan yang cantik dan baik, tentunya kamu sudah mendapatkan pengganti saya. Bagaimana penampilannya? Apakah berantakan seperti saya? Apakah dia juga seperti kerbau yang jarang mandi? Apakah dia terlihat lebih baik atau lebih buruk dari saya? Tentunya saya jauh lebih baik bukan?

Saya tidak tahu bagaimana caranya menghubungimu, maka saya menuliskan surat ini. Saya tidak tahu kabarmu, maka saya menuliskan surat ini. Saya tidak ingin sesuatu terjadi padamu disana. Saya ingin kamu selalu baik-baik saja. Maka, saya menanyakan ini. Saya ingin kamu bahagia, maka saya menuliskan surat ini. saya sungguh ingin kita kembali bersama. Sungguh!

Sophieku tersayang…

Ingatkah kamu ketika aku pertama kali mendatangi rumahmu dan bertemu ibumu? Betapa kau lihat ekspresinya? Dia begitu membenciku sedari awal. Dia katakan aku tidak memiliki masa depan yang jelas, karena aku hanya penulis jalanan. Dia katakan aku berantakan. Tidak pernah mandi bahkan secara terang-terangan dia katakan aku tidak pantas untukmu.

Ingatkah kamu saat dia mengatakan kamu hanya boleh berhubungan dengan Pegawai Negeri Sipil? Ingatkah bagaimana kamu langsung melaporkan padaku mengenai perkara tersebut? Dan kamu kemudian kabur dari rumah. Kamu rela tinggal di kosanku yang sempit, penuh kecoa dan tanpa kipas angin. Kamu yang selalu memasakkan nasi untukku, terkadang saat kamu pulang kerja aku membuatkanmu teh. Minuman kesukaanmu.

Sophie tersayang …

Aku merindukanmu. Aku merindukanmu, sungguh merindukanmu. Aku rindu memberikan mawar merah kepadamu. Ingatkah kamu saat aku bertanya mengapa kamu menyukai mawar dan kamu mengatakan bahwa mawar itu indah. Dia berwarna merah untuk menunjukkan betapa besar perjuangan cinta kita dan dia berduri untuk menunjukkan betapa sulit rintangan yang kita hadapi, kita akan selalu bersama. Sungguh aku tidak pernah melupakan filosofi indah buatanmu tersebut.

Sophie ku cintaku…

Ingatkah kamu betapa banyaknya rintangan yang menghalangi kita, menjadi kerikil dalam hubungan kita. Ingatkah kamu bagaimana adikmu, Naya membenci kita? Ingatkah kamu saat kamu di seret keluar dari kamar kosanku dan ibumu memaki-maki, bersumpah serapah di depan kita. Dan berjanji untuk memisahkan kita bahkan sampai dia mati. Ingatkah kamu saat itu kita di lihat oleh semua orang? Ingatkah kamu bagaimana orang-orang telah mencemooh kita karena kelakuan ibumu itu? Oh Soph… aku tidak pernah lupa. Sungguh! Aku tidak akan pernah lupa.

Sophie aku merindukanmu, aku merindukan belaianmu. Aku merindukan masakanmu. Aku merindukan ciumanmu. Aku merindukan sifat manja mu. Aku juga merindukan sifat kritismu yang selalu mengkritisi tulisan-tulisanku. Aku juga merindukan saat kita bercumbu, tapi yang paling aku rindukan adalah dirimu. Sungguh! Aku merindukanmu.

Sedang apa kamu di sana Sophieku?

Sedang apa kamu di sana Sophieku?

Sedang apa kamu mawar merahku?

Sedang makankah kamu? Sedang minumkah kamu? Atau sedang tertawa? Bersedih? Tersenyum? Aku tahu, aku sungguh tahu, kamu pasti sedang melihatku. Kamu pasti sedang memandangiku. Tersenyum padaku dan mengatakan bahwa aku harus tetap maju dan berjuang demi kamu.

Sudah tiga tahun Soph kamu tenang di sana. Sudah tiga tahun pula aku menunggumu. Menunggu Tuhan mengembalikan kamu kepadaku. Sudah tiga tahun aku menulis surat kepadamu. Aku tidak tahu harus kemana mengirim surat ini. Akhirnya aku simpan semua surat ini bersama mawar terakhir yang seharusnya aku berikan kepadamu.

Sudah tiga tahun, aku mencoba mencari makammu. Ingin kuberikan mawar terakhir ini beserta surat-surat ini untukmu. Namun aku tidak dapat! Aku tidak dapat memberikannya padamu. Sophie aku merindukanmu!

Sophieku. Kekasihku. Sudah tiga tahun aku tidak pernah mencari penggantimu. Sudah tiga tahun aku biarkan diriku melajang, hanya untukmu. Sophie aku akan selalu setia menunggumu. Meskipun saat dulu kita bersama ibumu sering memarahiku, tetanggamu sering mencemooh kita, ibu-ibu rumpi di dekat rumahmu sering mencibir kita. Meski, semua orang membenci kita, mengatakan kita tidak “normal”, tetapi tetap saja aku akan menyayangimu. Aku menyayangimu bukan karena fisikmu, bukan karena jiwamu yang begitu murni. Tapi kamu, karena kamu aku mencintaimu. Bukan sebagian dari dirimu yang aku cintai, tapi dirimu secara utuhlah yang aku cintai dan selalu aku cintai. Semoga kamu tenang dan bahagia disana.

Dari mantan kekasihmu tercinta…

Keni Putri Ariani

Depok, 11 November 2014

 

*Penulis lahir di Bengkulu 20 tahun lalu dan saat  ini menjadi Mahasiswa FISIP UI.

 

Bagikan

Cerpen Lainnya