Oleh: Jane Maryam*
Suarakita.org- Tanggal 20 November telah ditetapkan sebagai Hari Transgender Sedunia atau biasa disebut TDOR (Transgender Day Of Remembrance) di mana bermula dari tewasnya seorang transgender Amerika bernama Rita Hester di tahun 1998. Kini peringatan itu tidak sekedar mengenang Rita Hester melainkan sebagai momen penting tentang masih begitu banyaknya penindasan yang terjadi terhadap transgender di seluruh dunia.
Sebagai contoh di bulan Oktober 2014 seorang transgender dari Philipina, Jennifer Laude dibunuh oleh teman kencannya yang seorang anggota Angkatan Laut asal Amerika Serikat. Beberapa bulan sebelumnya media massa dunia bahkan digegerkan oleh tewasnya transgender asal Indonesia, Mayang Prasetyo yang dimutilasi oleh suaminya sendiri di Australia kemudian pelaku bunuh diri. Dan yang terbaru peringatan Hari Transgender yang digelar oleh Aktifis Jaringan Perempuan Yogyakarta dan pendukungnya di kawasan Tugu Yogyakarta diserang oleh sejumlah orang. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana meminimalisir segala bentuk kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh transgender tersebut? Apakah dengan melegalisasikan gender ketiga menjadi solusi terbaik?
Tanggal 23 November 2014 lalu sejumlah waria dan rekan-rekan aktifis LGBT menggelar aksinya pada acara Car Free Day di Bundaran HI Jakarta sebagai bentuk usaha agar pemerintah segera mengakui secara sah status gender waria sebagai gender ketiga. Tuntutan itu dianggap sebagai jawaban dalam memenuhi perlindungan dari tindakan-tindakan diskriminasi dan kekerasan yang selama ini dialami oleh kaum transgender tersebut. Sebagaimana diketahui populasi transgender di tahun 2010 menurut data dari Kementerian Kesehatan ada 30.348 transgender di Indonesia, sedangkan menurut Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI) di tahun yang sama mengklaim ada sekitar 3,9 juta transgender di Indonesia. Perbedaan yang signifikan itu didasari oleh partisipasi waria yang terlibat dalam survai program HIV/AIDS yang diadakan oleh Kementerian, sedangkan FKWI mencakup keseluruhan tanpa keterlibatan survei program HIV/AIDS tersebut. Selain itu gaya hidup transgender yang nomaden (berpindah-pindah – red) dibandingkan sedenter (menetap – red) membuat data tersebut berbeda secara siginifikan. Akan tetapi, secara keseluruhan angka populasi kelompok transgender itu bukanlah jumlah yang kecil, 1,6% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa adalah transgender. Sebagai manusia, seorang transgender memiliki hak untuk hidup berdampingan dengan orang-orang yang secara seksual dan identitas gender berbeda dengannya.
Sebagaimana kita ketahui seks dan gender merupakan dua hal berbeda namun ada keterhubungan antara satu dan lainnya. Gender sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kontruksi sosial dimana pengkategoriannya tidak serta merta berdasarkan bentuk kelamin seorang individu. Semisal adanya 5 gender yang diakui pada suku adat di Sulawesi yaitu, Makkunrai (Perempuan), Calalai (Tomboy), Bissu (Meta-gender), Calabai (laki-laki kemayu), serta Oroane (laki-laki tulen). Ada pula istilah hijra untuk mendeskripsikan bukan laki-laki maupun perempuan di India, Bangladesh, dan Pakistan. Bahkan kini hijra telah dilegalkan secara resmi oleh pemerintah sebagai gender ketiga. Bindiya Rana, seorang politikus transgender pertama di Pakistan dalam wawancaranya dengan The Guardian mengatakan bahwa meskipun ada banyak LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang menawarkan kontrak kerja kepada transgender, tapi sangat sedikit sektor kepegawaian formal yang mau menerima transgender. Berkaca dengan apa yang disampaikan Bindiya tersebut jika kita hendak memberlakukan gender ketiga di Indonesia secara legal semestinya tidak terpaku pada simbolisasi saja, akan tetapi posisi tawar (bargaining position) yang diimplementasikan oleh pemerintah benar-benar memberi peluang besar bagi transgender untuk bekerja di sektor formal, kemudahan akses kesehatan dan asuransi, serta perlindungan hukum.
Sejak berdirinya Asosiasi Waria Indonesia pertama kali di tahun 1970 dan disahkan oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, pergerakan transgender selama ini cenderung masih berputar pada ranah industri hiburan (entertainment) atau terlibat dalam kampanye HIV/AIDS. Kesadaran untuk mendobrak stereotipe bahwa transgender itu juga mampu berkecimpung dalam dunia politik atau menjadi pegawai negeri (PNS) masih minim sekali. Kalau kita merunut pada populasi transgender di Indonesia, kesempatan yang terbuka lebar itu sayangnya tidak sebanding dengan tingkat putus sekolah atau diusir keluarga karena dianggap aib. Akar solusinya ialah penerimaan keluarga dan kesadaran untuk menimba ilmu di bangku sekolah sudah selayaknya diprioritaskan, selain tentunya pendekatan birokratis pengesahan gender ketiga itu benar-benar merevolusi para alat negara, termasuk polisi. Banyak sekali kasus di mana seorang transgender dikriminalisasikan, baik atas dasar peraturan daerah (PERDA) maupun rasa ketidaksukaan terhadap eksistensi transgender (Transphobia) sehingga dengan gampang mengintimidasi, melecehkan, bahkan memperkosa.
Pengkategorian gender ketiga dikalangan aktivis LGBT dan feminis sendiri memberi warna tersendiri, ada yang sependapat dan ada pula yang tidak sependapat. Beberapa dari mereka beralasan bahwa dengan melegalkan gender ketiga bukankah mempermudah orang-orang yang tidak suka dengan transgender sehingga jadi lebih gampang melakukan diskriminasi dan adanya ketakutan tentang konsep heteronomitas perkawinan dimana posisi gender ketiga diletakkan. Jika disamakan dengan perilaku homoseksual, maka sudah pasti dihadapkan pada para penganut nilai-nilai moral agama. Adapun bagi individu yang mengalami transseksualisme, meskipun pada kasus transseksual sebagai bagian kecil dari transgenderisme, tetapi dengan menimbang aspek psikologis, mental, dan perilaku kecenderungannya seorang transseksual ingin hidup 100% berdasarkan gender yang ia yakini, semisal dari perempuan ke laki-laki (FTM), maka sepenuhnya ingin dilegalisasikan sebagai laki-laki meskipun boleh jadi secara fisik masih memiliki vagina. Tentu saja individu transseksual tersebut tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai gender ketiga.
Oleh karena itu, mengangkat tema gender ketiga di Hari Transgender 2014 ini menjadi wadah bagi kita semua untuk menimbang ulang tentang seberapa pentingkah sebuah pengakuan gender ketiga itu dan seberapa besar nanti pergerakan transgender di Indonesia yang hendak dicapai dan apakah memberi pengaruh bagi teman-teman gay dan lesbian untuk bersama-sama memberi peluang bagi kemajuan bangsa? Karena terlepas dari pertanyaan itu, sejatinya pemerintah memberi ruang-ruang khusus yang beradab bagi warga negaranya sama halnya ketika sebagai warga negara hendak meyakini dirinya sebagai Kristen, Parmalim, Kejawen, atau Atheis.
*Penulis adalah aktivis sosial dan peneliti transgenderisme.
Referensi:
http://www.dailymail.co.uk/news/article-2784223/Inside-life-murdered-transgender-prostitute-Mother-Mayang-Prasetyo-says-eldest-child-kind-cheerful.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Death_of_Jennifer_Laude
http://www.theguardian.com/society/2014/apr/16/india-third-gender-claims-place-in-law
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/21/058623548/Peringati-Hari-Transgender-Aktivis-Yogyakarta-Diserang
https://id.berita.yahoo.com/demo-di-hi-puluhan-waria-tuntut-pengakuan-gender-031815281.html#
http://www.gender-studies.leeds.ac.uk/assets/files/epapers/epaper31-lena-eckert.pdf