Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Rasanya sudah berkali-kali kukatakan, aku menginginkan kau untuk di sini bersamaku. Menjalani hari – hari bersama, saling peduli, saling mengerti. Dan sudah berkali-kali pula aku katakan padamu bahwa kau adalah pangeran pengisi hatiku. Tak ada yang lain yang berani menduduki singgahsana tertinggi dalam diriku ini.
Kau mungkin terlalu ceroboh karena memilihku. Kau mungkin tak pernah berpikir dua kali untuk menjalani hubungan bersamaku. Dan kau juga selalu mengatakannya dengan mudah bahwa aku ini yang terbaik yang pernah kau pilih. Benarkah?
Lantas apa ini? Ketika cinta kita, kesetiaan kita, dan kejujuran kita sedang diuji. Kau nampak tak peduli. Aku habiskan sisa hidupku dengan mempercayaimu. Namun ini yang kudapat. Kau membengkalaikanku. Seolah-olah aku ini tidak pernah ada.
Lewat pesawat telepon, kau pernah bilang kau akan selalu ada untukku, namun kau malah sibuk mengobrol dengan orang lain di sebrang sana. Tak pernahkah terpikirkan apa yang sudah aku korbankan hanya untuk bisa mendengar suaramu setelah lima hari kehilanganmu?
Apakah pernah kau berpikir betapa kesepiannya diriku di antara jutaan orang di sekitarku? Pernahkah kau berpikir sesaat saja disela-sela kesibukanmu dengan jutaan orang di sekitarmu itu? Di antara jarak ribuan kilometer ini, di antara panjangnya malam-malam yang kita lewati bersama?
Babe, apakah ini rasanya hampir menyerah? Apakah ini yang namanya hampir putus asa? Apakah ini yang namanya sudah bosan?
Apakah kau menyerah kalau begitu? Apakah kau putus asa? Apakah ini artinya kau sudah bosan padaku?
Aku tak mengerti lagi. Pesan singkat yang kau tulis. Apakah kau pikir itu cukup untuk memenuhi hasrat dahaga akan kebutuhan kehadiranmu? Apakah kau pikir dengan mengatakan kau mencintaiku lewat pesan singkat akan menggantikan rasa cintaku yang paling besar kepadamu ini? Aku katakan tidak akan pernah.
Tetap saja, itulah hukum alamnya. Sesuatu yang berharga adalah sesuatu yang kita genggam. Bukan sesuatu yang tidak sedang kita genggam. Jadi, apakah aku ini berharga?
Jika ya, mengapa kau acuhkan rasa takut akan kehilangan dalam diriku ini? Mengapa kau membiarkan aku merasa takut? Mengapa kau terus membuatku takut seperti ini?
Seberapa pentingnya-kah aku menurutmu? Apakah menurutmu aku ini seperti seekor ikan dalam aquarium kecil yang kau beri makan? Seekor ikan yang kau taruh di tempat terbaik hanya karena kau ingin memiliki diriku sepenuhnya?
Namun aku bukanlah ikan dalam kotak kaca, aku ini burung merpati yang menunggu pasangannya untuk menjemput dan membawanya terbang pergi bersama.
Satu lagi.
Pernahkah kau memikirkan perasaanku ketika kau menyebut nama-nama yang selalu berada di sisimu saat aku tak dekat denganmu? Pernahkah kau kira bahwa aku muak mendengarnya?
Aku tak mau mendengarnya, tentu saja.
Bagaimana mungkin aku tidak merasakan apapun? Meskipun kau bilang mereka hanyalah penghias hidupmu, mereka hanya figuran dalam kisah kita ini. Namun kau tahu? Bukan itu yang kumaksud.
Aku selalu menghabiskan waktuku untuk berpikir, mengapa bukan aku yang ada disana? Mengapa bukan aku yang melengkapi hidupmu itu? Hidupmu yang sangat sibuk itu. Hidupmu yang sepertinya tak ada celahku untuk masuk.
Mengapa bukan aku yang menjadi seseorang itu? Mengapa aku selalu dikalahkan oleh waktu? Mengapa aku selalu mengalah pada keadaan? Mengapa selalu aku yang mencoba mengerti dirimu? Dirimu yang bahkan tak bisa kumasuki setiap jengkalnya. Dirimu yang tak pernah membiarkan aku untuk masuk dalam lingkaran kasih sayangmu itu.
Babe, bisakah kau sebentar saja dalam waktu sibukmu itu untuk setidaknya mengatakan bahwa kau baik-baik saja? Untuk mengatakan setidaknya kau menyayangiku? Bukan, bukan rasa lelah itu, bukan rasa sesal dan permohonan maaf itu, bukan tentang kau menang dan aku kalah. Bukan.
Babe, aku curahkan kekesalan ini dalam bentuk tulisan yang indah. Karena hanya lewat kata-kata tertulislah aku bisa menampar seseorang. Karena hanya lewat kata-kata tertulislah aku bisa membunuh.
Dan ya, aku berhasil. Aku sudah berhasil menampar amarahku sendiri kemudian membunuhnya. Menyadari betul bahwa aku sebenarnya hanya ingin seseorang menemaniku dalam kesibukannya. Aku hanya ingin seseorang yang peduli padaku dalam kesibukannya. Aku hanya menginginkan seseorang yang tak sempurna untuk menyempurnakan hidupku. Dan sejauh ini, keyakinanku sama besarnya dengan dirimu. Kau-lah orang yang kubutuhkan itu.
Babe, tahukah kau berapa serangga yang menggigitku ketika aku menulis ini?
Yah, aku juga tak peduli.
Karena aku sedang meledak, aku meledak-semeledaknya!
Aku bisa menghancurkan apapun dengan ledakan ini. Ledakan besar dengan pemicu kecil. Bom waktu yang kini menunjukan angka nol. Sebuah ledakan amarah yang tak lagi bisa dibendung oleh si pendiam bodoh ini.
Aku adalah bom waktu.
Dan kau adalah penakluknya.
Ardian R.H.
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung.