Suarakita.org- Mendengarkan dan didengarkan menjadi sebuah proses mengikis kecurigaan satu sama lain. Stigma-stigma telah mendominasi cara pandang melihat ‘yang lain’ lebih rendah dan kadangkala tidak manusiawi. Kecurigaan dan stigma semestinya memiliki ruang untuk dijumpai atau berjumpa dengan realita sesungguhnya. Shock, aneh, takut, orang jahat, tidak normal adalah ungkapan kejujuran dari setiap stigma yang meresap dalam bawah sadar manusia. Demikianlah stigma tersebut selama ini telah dilekatkan kepada teman-teman transgender.
Diskusi mingguan ke-10, Jum’at 20 November 2014, Kelompok Diskusi OASE kali ini bersama teman-teman jurusan Pastoral Konseling yang mengambil mata kuliah “Psikologi Keluarga” dan “Psikologi Pastoral” di Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Tarutung mendapat kesempatan membuka ruang pikiran dan hati bagi semua kecurigaan untuk didialogkan. Wanda Shahab, seorang transgender (waria) dan pekerja sosial di kota Medan, mencoba memberikan jawaban dengan rasionalitas dan pengalamannya terhadap setumpuk pertanyaan yang diungkapkan oleh para peserta diskusi. Semua pertanyaan yang diajukan dan coba ditanggapi, menurut Wanda seperti seseorang sedang mengupas kulit bawang, terlalu banyak lapisan yang meminta untuk diberikan kejelasan. “Mahasiswa yang sangat kritis” itulah yang diungkapkan kak Wanda terhadap teman-teman diskusi yang hadir di hari ini berjumlah 40 orang.
“Apa yang menyebabkan Kakak (Wanda- red) menjadi seperti ini?, Apakah Kakak merasa bersalah kepada Tuhan dengan situasi sekarang ini? Apakah ada trauma masa kecil? Apakah Kakak tidak takut kalau ini dosa? Apakah benar waria itu jahat? Apakah Kakak jatuh cinta melihat perempuan seksi? Apakah Kakak sudah punya pacar?”, itulah beberapa pertanyaan yang muncul di awal diskusi. Kemudian ada juga yang mengungkapkan: “Bagi saya waria itu menyalahi kodrat ilahi. Apa pun yang diberikan Tuhan kepada kita patut untuk disyukuri. Rambut di kepala ini sekalipun tidak boleh untuk diwarnai karena itu pemberian Tuhan.”. Situasi semakin bergejolak, rasa ingin tahu memaksa hasrat untuk dipuaskan. Tunjukan tangan untuk bertanya tak hentinya terputus, ada yang dua, tiga, bahkan empat kali bertanya yang diajukan oleh lebih dari satu orang; hingga waktu harus memutuskan pertanyaan-pertanyaan dihentikan.
Wanda seperti oase yang menyegarkan. Satu per satu pertanyaan diuraikan sejelas mungkin. Mengupas stigma ketakutan terhadap waria dengan penampilannya yang hangat. Mengupas stigma waria yang jahat dengan karya-karya untuk masyarakat melalui kepeduliannya terhadap realita HIV/AIDS di Sumatera Utara. Wanda mengubah pandangan bahwa semua transgender terjadi karena ada trauma masa kecil, ternyata tidak semua demikian terjadi. Wanda berasal dari keluarga yang justru menopang kehidupannya dan tidak memiliki trauma yang menyakitkan di masa kecil. Wanda mengurai konsep bahwa waria itu adalah dosa dengan memperlihatkan kedekatan dirinya dengan Tuhan dalam ibadah dan penyerahan hidupnya yang tulus kepada Tuhan. Semua kesempatan hidupnya yang sekarang ini adalah bagian dari ungkapan syukurnya yang tidak henti kepada Sang Khalik yang terus meridhoi segala pekerjaan tangannya. Wanda pun memperlihatkan keanggunan pemikirannya dan kepedulian sosialnya yang tinggi kepada masyarakat sebagai seorang aktivis sosial.
Di akhir sesi, para peserta diskusi membuat testimoni dari perjumpaan yang mungkin seperti cambuk bahkan petir menyadarkan mereka bahwa tidak selamanya benar transgender itu begini dan begitu. Inilah beberapa testimoni mereka;
“ Awalnya saya mengira transgender adalah sosok orang yang aneh dan kurang baik. Tapi dengan pertemuan kali ini akhirnya saya tahu bahwa setiap orang punya hak menentukan jati diri mereka sendiri. Kita tidak boleh menjauhinya karena menolak kodrat yang ada padanya, melainkan kita harus menerima mereka sama halnya seperti orang-orang yang ada di sekeliling kita. Banyak hal juga yang bersifat positif yang dilakukan oleh narasumber dan saya sangat berterima kasih kepada kak Wanda.”, Irene Friskila mahasiswa semester 1.
“Dulunya saya takut dengan waria, tetapi melihat kak Wanda itu, saya tidak merasa takut. Waria itu tidak perlu ditakuti, dia juga sama seperti kita. Untuk diskusi selanjutnya, kalau boleh kita juga membahas tentang HIV/AIDS.”, Vera Oktaviana Munthe, mahasiswa semester 1.
“Pelajaran dari kak Wanda bahwa orang tidak berhak untuk menghakimi atau mengatakan bahwa ia telah berdosa, tapi Tuhanlah yang berhak untuk menjawabnya. Transgender sama seperti kita yang juga memiliki kebutuhan sama dan berhak untuk dilindungi oleh negara maupun masyarakat.”, Soedami, mahasiswa semester 1.
Setiap perjumpaan pasti menghasilkan perubahan. Perjumpaan itu masih terus menerus digumuli sebab itu merupakan proses. (Melinda Siahaan)