Suarakita.org– Pengorganisisan komunitas merupakan pekerjaan yang tidak mudah dilakukan, namun menjadi sebuah agenda komunitas yang wajib dilaksanakan agar suaranya didengar oleh Negara.
Goethe Institut mengadakan perjumpaan pemutaran film dan diskusi Selasa 10/22/2014, bertempat di Pusat Kebudayaan Jerman (Goethe Haus), di Jalan Sam Ratulangi No. 9-15,Menteng, Jakarta Pusat. Tiga film yang diberi tajuk “Trilogi Jawa” berisi tiga film dokumenter diantaranya: “Jakarta Disorder”, “Riding my Tiger” dan “Paradise Later”. Buah karya Ascan Breuer (sutradara) dan Victor Jaschke (juru kamera)
“Jakarta Disorder”, film dokumenter berdurasi 88 menit merupakan film yang bercerita tentang sosok dua pejuang perempuan Wardah Hafidz dan Oma Della yang tak kenal lelah memperjuangkan partisipasi rakyat miskin kota Jakarta dalam ruang demokrasi. Film dokumenter ini tidak hanya merekan jejak hiruk pikuk Jakarta dengan tumbuh kembangnya gedung-gedung pencakar langit tapi juga merekam kegiatan membangun pendidikan kritis berupa pengorganisasian yang dilakukan secara kultural oleh Wardah Hafidz melalui organisisi yang ia didirikan UPC –Urban Poor Consortium
Dalam beberapa potongan gambar terlihat Wardah Hafidz melakukan kerja-kerja pengorganisiran. Selama kurang lebih dua dasawarsa Wardah melakukan pengorganisiran komunitas warga miskin kota dengan memberikan pendidikan kristis melalui kunjungan kegubuk-gubuk kecil ditengah kota Jakarta, serta diskusi-diskusi nonformal. Tidak cukup sampai disitu Wardah Hafidz juga mendorong warga miskin kota untuk memperjuangkannya hak-haknya dengan melakukan advokasi kedalam gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta.
“Saya tidak akan masuk sendiri kedalam gedung ini, jika kawan-kawan saya dibiarkan diluar kepanasan, mereka juga harus masuk kedalam gedung ini”. Ungkap Wardah dengan tegas. Akhirnya rombongan warga miskin kota yang berjumlah kurang lebih tigapuluh orang menumpahkan semua aspirasi dan tuntutan didepan anggota dewan. Setelah menumpahkan keluh kesah Wardah Hafidz kembali berkumpul dan bertanya tentang perasaan rombongan setelah bertemu anggota dewan“Ibu-ibu dan bapak ini sebuah langkah yang bagus kita sudah bisa bersama-sama bertemu langsung anggota dewan, dan ini harus terus kita lakukan agar suara kita didengar oleh mereka”.
Berbeda dengan Wardah Hafidz, Oma Della, banyak melakukan pengorganisiran mendorong agar warga miskin kota mengorganisir diri, dan usaha yang dilakukan Oma Della tidaklah semulus harapanya, ia seringkali mendapatkan cibiran dan bahkan ia dicurigai orang titipan yang sengaja dikirim oleh calon-calon legislatif yang membutuhkan suara. Ada gurat kecewa tampak pada raut wajah Oma Della. namun ia tetap bersemangat mendorong warga miskin kota untuk berjuang bersama.
Disebuah area bekas lahan pemukiman warga miskin kota . Oma Della mewawancari seorang lelaki yang mengenakan seragam colelat muda, dan orang tersebut dengan entengnya mengatakan: “ Area ini akan dibangun rumah susun untuk warga dengan ketentuan harus membayar uang muka sebesar 20 juta dan mengangsur tiga juta rupian perbulan”. Tentunya ini adalah hal yang sangat sulit bagi warga miskin kota untuk bisa menempati rusun yang disebutkan, karena mayoritas warga miskin kota tidak memiliki pekerjaan yang tetap, dan bahkan penghasilan yang mereka dapatkan dibawah standar upah yang ditetapkan pemerintah.
Berkat ketekunan dan kesabaran Wardah Hafidz dan Oma Della, akhirnya lambat laut warga miskin kota mulai mengorganisir diri dengan bergabung di UPC, hingga kerja kerasnya berbuah hasil, bersama dengan warga miskin kota Wardah Hafidz dan Oma Della berhasil mengumpulkan 1,5 juta surat dukungan warga untuk membuat kontrak politik yang isinya tuntutan kesejahteraan warga miskin kota yang diantaranya: menuntut hak akan pemukiman, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Setelah dukungan terkumpul mereka meminta pada calon penguasa negeri, yang pada saat itu Susilo Bambang Yudhoyono mencalonkan diri menjadi presiden. Namun SBY pada saat itu tidak bersedia memenuhi kontrak politik dan barulah pada saat Jokowi kontrak politik yang diajukan oleh warga miskin kota disetujui dengan memasukan kesejahteraan warga miskin kota menjadi agenda politik dalam masa jabatanya.
Perlukah LGBT mengorganisir diri?
Jawabanya tentulah ada ditangan komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender sendiri, karena mengorganisir diri bukanlah sekedar berkumpul tanpa tujuan yang jelas. Dibutuhkan komitmen yang disertai tindakan untuk memperjuangkan hak-hak bersama sebagai warga Negara.
Pengorganisiran yang dilakukan UPC melalui Wardah Hafiz dan Oma Della adalah salah satu contoh gambaran betapa pentingnya sebuah komunitas melakukan pengorganisiran diri agar Negara menjamin hak-hak warganya sesuai janji yang tertuang dalam undang-undang yang berlaku dinegara ini. Dan bila kita mau melihat sebenarnya bukan hanya warga miskin kota tapi ada juga: Perempuan, petani, buruh, mahasiswa, dan lain-lain. Mereka tidak pernah berhenti berjuang bersama melakukan perjuangan untuk menuntut hak-haknya sebagai warga Negara.
Walaupun pintu demokrasi kian terbuka lebar dengan tercetusnya era Revolusi Mental, namun sampai saat ini belum ada jaminan dan janji satupun penguasa negeri ini yang berpihak secara langsung terhadap LGBT, dan apabila mau melihat kebelakang lahirnya perda-perda diskriminatif dan disahkanya qanun jinayat di Aceh, harusnya dijadikan pelajaran berharga bahwa ditanah Republik bernama Indonesia ini LGBT masih rentan terhadap perlakuan diskriminatif dan kekerasan baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun Negara. (Yatna Pelangi)