Oleh : Wisesa Wirayudha
Suarakita.org- Kisah ini merupakan lanjutan dari kisah Hanya Ingin Istirahat.
Tujuh
Aku tidak bisa istirahat lebih lama lagi, aku harus bergerak. Tidak ada lagi yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri sekarang. Tersisa hanya diriku, pacarku, dan teman-temanku yang bahkan baru terasa akrab setelah kejadian ini menimpaku.
Mereka begitu empati terhadapku, ada yang langsung menawariku beberapa pekerjaan, ada juga yang menyuruhku untuk tinggal di tempat tinggalnya. Dan aku, dengan bodohnya, menolak semua pertolongan itu. Aku merasa angkuh dan merasa bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun. Aku begitu sombong dengan diriku. Aku beranggapan aku bisa hidup sendirian di dunia ini. aku sudah muak dengan yang lain.
Delapan
Aku putuskan untuk istirahat terlebih dahulu sebelum aku melakukan tindakan selanjutnya. Tindakan yang aku sendiri tidak mengerti. Aku hanya merebahkan tubuhku sembari sediki-sedikit bercerita pada temanku yang terus saja menanyakan kejadian itu secara terperinci.
Sampai pada suatu titik, semua terdiam. Ini giliranku untuk berfikir. Aku mengkerahkan semua sisa tenagaku untuk berfikir apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Apakah aku harus menyusul pacarku ke tempatnya?, kurasa tidak. Apakah aku harus menjual diriku untuk uang yang instan?, aku tidak tahu. Apakah aku harus mengemis dijalanan?, yang benar saja!
Temanku mengajakku untuk pergi ke kampung halamannya, katanya disana aku bisa mendapatkan beberapa pekerjaan sebelum kuliah dimulai. Sebelum rasa lapar menghampiriku. Sebelum aku mati kelaparan.
Namun aku ragu, apa yang bisa aku lakukan?, aku hanyalah seorang anak manja yang tidak bisa melakukan apapun sendirian. Aku hanya sombong tentang diriku sendiri.
Namun aku tidak bisa melakukan apapun. Aku hanya bertingkah seperti aku baik-baik saja. Padahal tidak sama sekali.
Jadi aku juga menolak tawarannya. Dan melanjutkan untuk istirahat.
Sembilan
Kakak seniorku, orang yang pertama kali mengetahui bahwa diriku gay, mengirimiku pesan singkat dan menyuruhku untuk ke tempatnya. Aku pun ditemani temanku yang lain, pergi kesana. Dengan harapan ada sedikit bantuan yang akan aku dapatkan. Setidaknya sebuah pekerjaan yang memang dibidangku. Bukan tawaran menjadi kuli bangunan atau semacamnya. Aku masih beranggapan bahwa aku bisa berdiri sendiri.
Sesampainya aku di tempat seniorku itu, aku kembali hanya duduk-duduk santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Aku menceritakan ulang semua kejadian yang aku alami itu kepadanya. Dan dia terkejut, tentu saja. Dia tidak pernah menyangka akan ada hal seperti ini yang menimpaku. Bahkan dia tidak menyangka ketika aku melakukan coming out.
Katanya, aku satu-satunya teman dia dengan orientasi seksual yang berbeda dan secara terang-terangan mempublikasinya. Pada awalnya aku sempat dibuat bingung oleh dia, memang benar, untuk apa aku melakukan ini semua?, untuk apa juga aku capek-capek melakukan coming out jika hasilya seperti ini?.
Aku hanya mencoba menjelaskan. “Aku tidak mau lagi berbohong pada diriku sendiri. Jika aku terlahir begini, maka biarkanlah itu. Aku tidak mau mengubah sesuatu apapun pada diriku hanya untuk memaksa seseorang untuk menyukaiku. Aku bukan manusia seperti itu.”
“Tapi coba kau bayangkan, jika kau tidak melakukan hal yang kau sebut dengan coming out itu. Mungkin hubunganmu dengan ibumu akan baik-baik saja. Mungkin kau tidak akan mendapatkan kekerasan ini. Mungkin kau akan hidup tenang.”
“Bagaimana mungkin kau bisa hidup tenang dalam sebuah kebohongan yang mungkin akan kau alami seumur hidup?”
“Kau bodoh, kau tidak mengerti. Banyak temanku yang tetap merahasiakannya, dan mereka santai-santai saja dalam menjalankan hidupnya.”
“Kalau begitu, mari kita berdoa, agar orang tua mereka tidak mengetahui siapa anak mereka sebenarnya.” Kataku akhirnya.
Sepuluh
“Pacarmu menelepon.” Kata temanku ditengah-tengah perdebatanku dengan kakak seniorku itu.
Aku tak aneh ketika pacarku menelepon temanku, aku sengaja memberitahukan kontak-kontak teman-temanku seandainya aku sulit untuk dihubungi. Dan kurasa apa yang aku lakukan, sekarang berbuahkan hasil.
Melalui telepon putih mungil milik temanku itu, pacarku memberitahuku bahwa dia menemukan sebuah organisasi yang bergerak dibidang hak asasi manusia, khususnya hak-hak LGBT. Dan pacarku bilang dia sudah menelepon pendirinya. Entah bagaimana caranya pacarku bisa mendapatkan kontak organisasi ini. Yang jelas, organisasi ini berniat untuk menolongku. Dan aku juga sudah bersiap untuk menolaknya lagi, seperti aku menolak semua bantuan-bantuan yang diberikan teman-temanku.
Dalam waktu beberapa belas menit saja, pihak organisasi meneleponku dan mencari tahu bagaimana keadaanku sekarang.
Awalnya aku bertindak seolah-olah aku baik-baik saja, mempertahankan dinding yang melindungiku. Menjawab semua pertanyaan dengan begitu mudah. Sampai akhirnya, ternyata organisasi ini berniat untuk mempertemukan aku dengan ibuku lagi kelak.
Dinding kokoh yang sudah kubangun semenjak aku pergi dari rumah, kini hancur berserakan. Aku begitu luluh. Diriku yang tidak beguna ini, yang tidak bisa melakukan apapun untuk diriku sendiri, akhirnya menerima bantuan dari organisasi ini.
Seorang lelaki disebrang telepon itu mengatakan bahwa akan ada beberapa orang yang akan menjemputku dan membawaku ke tempat mereka. Dan aku diminta untuk tidak khawatir. Dia menjamin, orang-orang yang menjemputku adalah orang baik-baik.
Selesai bertelepon, aku menyandarkan kepalaku ke tembok dan mulai menangis.
Sebelas
Singkat cerita, kini aku berada di Ibu kota, disini aku akan melewati Hari Raya Idul Fitri tanpa kehadiran keluargaku, tanpa kehadirann saudara-saudaraku, dan juga tanpa kehadiran ibu.
Ini pertama kalinya aku tidak merasakan bagaimana menyantap makanan khas Hari Raya, pertama kalinya aku tidak merasakan kehangatan ketika berkumpul bersama keluarga. ini pertama kalinya aku melewati Hari Raya dengan tangisan, bukan sambutan ceria yang biasanya aku lakukan.
Aku hanya memainkan komputer milik kantor organisasi ini. Aku melihat status sosial media milik adikku, dia begitu senang ketika mendapatkan gadget. Aku bisa melihat begitu banyak tawa yang mereka lewati tanpaku. Aku bisa menyimpulkan bahwa keadaan keluargaku sekarang baik-baik saja. Meskipun aku tidak ada diantara mereka. Aku tidak apa-apa, aku baik-bak saja.
Duabelas
Beberapa bulan setelah Hari Raya, akhirnya kesempatanku untuk bertemu dengan ibu akhirnya tiba. Aku yang sebelumnya menutup diriku untuk tidak berkomunikasi denga keluargaku akhirnya mencapai titik jenuh. Aku tidak mungkin lagi terus-terusan bersembunyi dan berpura-pura aku sedang menghilang dan berpura-pura aku sedang bai-baik saja. Tidak ada anak di dunia ini yang ‘baik-baik saja’ ketika berpisah denga ibunya. Karena bagaimanapun, aku merindukan ibu.
Pada pukul delapan malam, aku ditemani pihak dari organisasi, menyusuri jalan yang aku lewati ketika pertama kali aku pergi dari rumah. Aku beberapa kali menarik nafas dalam-dalam, mengingat betapa berani dan sembrononya diriku waktu itu. Dan aku juga beberapa kali menahan diriku untuk tidak menangis.
Kuberanikan langkah menuju pintu masuk, aku ketuk pintu yang memisahkanku antara aku dan ibu.
Begitu kubuka pintu itu, aku melihat ibu sedang menonton tv, menunggu kehadiranku, dan dia terkejut begitu melihatku datang. Ibu langsung saja berdiri dan memelukku. Ia menangis tersedu-sedu. “Kau tidak sayang pada mamah, kau meninggalkan mamah” katanya, dan membuatku ingin sekali menangis. Namun aku kembali menguatkan diriku, aku tahan tangis itu. Dan terus memeluk ibuku dengan begitu erat. Seolah aku tidak mau kehilangannya.
Tigabelas
Allahuakbar…
Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku ketika aku sedang di masjid di hari jumat. Kuangkat kedua telapak tanganku setara dengan kupingku. Kupingku yang kini sudah mendengar tawa ibu kembali. Kemudian aku lipat kedua tanganku di antara dada dan perutku.
Allahuakbar…
Aku condongkan tubuhku ke depan, dengan kedua tanganku sebagai tumpuan yang kokoh seperti penyangga bangunan. Kuletakan kedua tanganku di lutut. Tak bergetar sama sekali. Begitu kokoh.
Samiallahulimanhamidah…
Kutarik lagi tubuhku untuk berdiri tegak. Pandanganku fokus kepada ubin lantai yang berwarna putih.
Allahuakbar…
Turunlah seluruh tubuhku, turun menyembah, Aku bersujud. Terngiang perkataan guru agamaku sewaktu SMA. Berdoalah kamu ketika bersujud. Maka pada saat itu juga aku berdoa. Ya Allah, sayangilah keluargaku melebihi rasa sayangku kepada mereka. Ya Allah, lancarkanlah urusan mereka dan janganlah kau persulit suatu apapun.
Allahuakbar…
Aku duduk bersimpuh, tak lebih.
Allahuakbar…
Kembali aku bersujud, dan lagi aku berdoa. Doa yang sangat singkat. Ya Allah, Jagalah keluargaku selagi aku diluar rumah.
Allahuakbar…
Aku kembali duduk bersimpuh, kepalaku sedikit miring ke kanan.
Assalamualaikum… Assalamualaikum…