Search
Close this search box.

Heteronormativitas Dalam Relasi Sesama: Top Vs Bottom

Oleh: Nurdiyansah*

Suarakita.org-Defining yourself through thought is limiting yourself”  (Eckhart Tolle).

“Kamu top atau bottom?”

Mungkin banyak dari kita seringkali mendapat pertanyaan seperti itu ketika bahkan baru berkenalan atau hendak menjalin relasi lebih lanjut. Persoalan yang sekadar permainan peran tampaknya menjadi penting dan lekat dengan identitas diri, pasangan, dan pola hubungan.

Saya merasa menjadi bottom, maka saya perlu mencari top. Saya adalah bottom, maka kamu harus top. Pernyataan tersebut menjadi mantra. Namun bagaimana jika saya yang bottom kemudian mencintai ia yang tampak seperti bottom? Apakah saya yang top dapat menjalin relasi dengan ia yang juga mengaku top? Saya tak tahu apakah saya top atau bottom!

Tetapi apa sesungguhnya definisi top atau bottom? Apakah saya sendiri telah yakin dengan definisi dan identitas tersebut? Apakah saya terlahir sebagai top atau bottom? Atau saya terbentuk atau dibentuk menjadi top atau bottom? Mungkinkah saya yang awalnya merasa menjadi bottom bisa berubah suatu saat menjadi top? Persoalan bisa saja kian rumit karena persoalan seksualitas tak terbatas pada sesuatu yang biologis.

Apa Itu Top dan Bottom?

Tampaknya bahkan pasangan hetero yang terdiri dari laki-laki dan perempuan pun tak terlepas dari pengkotakkan peran. Banyak pandangan yang menyebut kalau jenis kelamin mengacu pada pemisahan sifat maskulin dan feminin. Padahal kita juga sering melihat adanya pasangan hetero dengan laki-laki yang feminin maupun perempuan yang maskulin. Kadang laki-laki lebih dominan pada hal tertentu, kadang perempuan pun juga bisa lebih dominan pada aspek tertentu. Tetapi dalam konteks patriarki, perempuan (femininitas) kerap diposisikan sebagai yang inferior, berada di ruang domestik, kelas kedua, maupun berada di bawah laki-laki. Seks dan gender adalah dua hal yang berbeda. Tak seperti jenis kelamin, gender bukanlah sesuatu yang taken for granted (“kodrat”), melainkan sesuatu yang dibentuk.

Lalu bagaimana dengan homoseksualitas?

Untuk kalangan gay, sebutan top dan bottom terlanjur populer dan seolah melekat seperti gender. Top merujuk pada pihak yang biasanya dominan, maskulin, dan berada di “atas”–atau ada pula yang meyakininya dengan pasangan yang melakukan penetrasi ke bagian belakang pasangan (analseks -red)  (kita mengenal istilah “menembak”). Sementara bottom adalah kebalikannya: ia dianggap inferior, melakukan kerja atau aktivitas domestik, di bawah, dan menerima penetrasi (“ditembak”). Stereotipe yang berkembang kemudian, adalah top berkarakter lelaki yang maskulin/macho, sementara bottom adalah lelaki yang feminin. Maka kita bisa katakan, bukan hanya perspektif hetero saja yang mempengaruhi relasi homoseksualitas, melainkan patriarki. Bahwa seolah, pengkotakkan berdasarkan gender yang tidak setara dan adil ini juga perlu diterapkan bagi kita yang melakukan relasi sesama.

Tetapi bagaimana dengan kelompok transgender, trans-seksual, interseks, dan queer? Soal identitas menjadi sulit diterapkan jika mengacu pada definisi arus utama. Bukankah kadang kita juga melihat ada dua lelaki macho menjadi pasangan gay atau dua lelaki feminin yang tampak mesra. Nyatanya, pilihan gender LGBTIQ juga mempunyai keragaman layaknya orang-orang hetero.

Soal pembagian peran top-bottom dalam kelompok homoseksualitas pun memiliki banyak kritik. Ada banyak kalangan yang menyebut bahwa pembagian tersebut adalah imitasi peran dalam relasi hetero yang sangat seksis. Dalam komunitas gay, ada sebutan versatile bagi mereka yang menikmati menjadi top atau bottom. Ada juga istilah androgini yang menyatakan feminin maupun maskulin terdapat dalam diri manusia secara tidak terpisahkan. Sangat sulit memang untuk mengelompokkan manusia, baik LGBTIQ maupun hetero karena seks dan gender memiliki dimensi sosial, budaya, politik, dan lainnya.

Sementara pendapat lain juga menyebut bahwa top-bottom, bukan sekedar pembagian peran atau gender dalam relasi, tetapi juga adalah bentuk ekspresi atau aestetik, bahwa betul ada gay yang menikmati sikap feminin layaknya ada gay yang menyukai gay yang feminin. Tentu tak ada yang salah selama pembagian peran dilakukan secara berpengetahuan, bertanggung jawab, dan atas konsensus bersama. Artinya, telah disepakati oleh pasangan tersebut, sehingga tidak ada dominasi ataupun potensi kekerasan (menyakiti).

Melepas Definisi Diri

Seorang kawan yang menjadi korban kekerasan seksual oleh lelaki dewasa pernah bercerita. Ia yang masih kanak-kanak diperkosa secara berulang dengan posisi bottom oleh pemerkosanya yang memainkan peran sebagai top. Kawan yang kini telah dewasa itu mengaku, ia menikmati peran sebagai bottom. Tetapi belakangan, ia menyadari bahwa identitas bottom bukan hanya soal posisi ranjang atas-bawah, melainkan dipengaruhi pengalaman masa lalu. Ketika menjalin relasi dengan lelaki yang lebih muda, ia pun bisa merasa nyaman menjadi pihak yang cenderung memimpin/mengayomi dan maskulin dalam relasi sosial dengan pasangannya. Persoalan posisi dalam aktivitas seksual tetap menjadi selera personal.

Lain lagi dengan kawan yang merasa dirinya top. Sekilas tampak begitu maskulin secara fisik, namun dari gaya bicara dan sikapnya yang cenderung feminin, ia kadang disindir. “Ngakunya top, padahal bottom!” oleh mereka yang merasa “salah pilih” dia sebagai teman kencan. Ada juga sepasang kawan gay yang dua-duanya mengaku top. Saat ditanya secara pribadi, kawan saya mengaku pasangannya yang bottom, sementara secara diam-diam, pasangannya mengelak dan mengaku kalau justru kawan saya itu yang bottom. Tak ada yang mau menyinggung peran bottom secara sosial karena mereka anggap itu inferior. Ia berpendapat bottom itu lelaki yang cenderung ngondek atau banci yang jadi olok-olokkan secara sosial. Gengsi jadi bottom!

Di mana dan bagaimana kita dibesarkan bisa jadi menentukan identitas gender kita. Begitu pula dengan pengalaman-pengalaman yang kita lalui bisa saja menentukan bagaimana orang lain melihat kita atau kita melihat diri. Tetapi fungsi atau apa pun yang kita lakukan secara personal dan sosial tidaklah selalu menentukan siapa atau bagaimana kita ingin menjadi. Dengan tegas kita bisa katakan bahwa kita memiliki otoritas untuk menentukan diri kita sendiri dan bagaimana kita ingin menjadikan diri kita sendiri dilihat oleh kita sendiri, pasangan, maupun orang lain. Sebab tak ada kondisi/situasi yang akan pasti sama selamanya, sehingga mengidentifikasi peran secara rigid menjadi tak relevan (irrelevance).

Menarik untuk mengutip ucapan Eckhart Tolle yang ia paparkan pada bukunya A New Earth. Ia mengucapkan selamat kepada orang yang mengatakan, “I don’t know who I am anymore.” Menjadi “tidak tahu” bisa jadi merupakan suatu kemerdekaan karena kita tak lagi bingung dan berhasil melepas definisi heteronormativitas dan patriarki yang menuntut peran di mana kadang seolah kita “harus tahu” (should know) maupun “butuh tahu” (need to know) mengenai peran kita.

Defining yourself through thought is limiting yourself,” begitu ucap Tolle di akhir kalimatnya. Saya percaya definisi manusia yang sebenarnya hanyalah sesederhana tentang cinta, kegembiraan, dan kedamaian. Bahwa orientasi seksual dan identitas seksual kita yang berbeda memberikan keunikan dan menegaskan ketak-terbatasan terhadap definisi manusia. Kita mungkin tak terlahir sebagai top atau bottom, tetapi setidaknya kita lahir dengan membawa tiga hal secara alamiah: love, peace, and joy.

 

*Nurdiyansah adalah penulis buku “Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia” (Penerbit Alfabeta, 2014) dan berkicau melalui Twitter di @nurdiyansah.