Search
Close this search box.

Sekuritisasi: Atau Saat Suatu Hal (Apapun) Dapat Menjadi Ancaman

Oleh : Budi Larasati*

Suarakita.org- Sekuritisasi, seperti dengan pelbagai hal lain yang dimulai dengan akhiran ‘-sasi,’ memiliki makna yang serupa, yaitu ‘membuat suatu hal menjadi…’ Politisasi mungkin adalah merupakan suatu hal yang awam untuk didengar, tetapi apakah yang dimaksud dengan sekuritisasi?

Sekuritisasi adalah merupakan suatu konsep yang dicanangkan oleh Copenhagen School, yang menawarkan pendekatan baru bagi pemahaman atas keamanan pada masa pasca-Perang Dingin. Dalam konsep sekuritisasi, Copenhagen School berpendapat bahwa apa yang dimaksud dengan ancaman bukanlah merupakan suatu hal yang objektif, namun bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh pemahaman dari individu.[1]

Apabila politisasi adalah ‘membuat suatu hal menjadi politis,’ maka sekuritisasi adalah ‘membuat suatu hal menjadi berkaitan dengan keamanan.’ Dalam hal ini, keamanan yang dimaksud adalah keamanan negara, yang juga oleh Copenhagen School, diperluas hingga melingkupi kemanan militer, lingkungan, ekonomi, sosial, dan politis.

Akan tetapi, bagaimanakah suatu hal dapat diposisikan sebagai ancaman? Dalam sekuritisasi, hal itu dikonstruksikan dengan melalui apa yang disebut sebagai speech act. Pada dasarnya, definisi lengkap dari sekuritisasi adalah ‘…speech act di mana pemahaman intersubjektif dikonstruksikan dalam sebuah komunitas politik untuk memperlakukan suatu hal sebagai ancaman eksistensial terhadap objek referen yang memungkinkan pemberlakuan dari tindakan yang luar biasa mendesak guna mengatasi ancaman tersebut[2].’

Maka dari definisi itu, dapat dipahami bahwa ide utama dari sekuritisasi adalah pelabelan dari suatu hal sebagai sebuah isu keamanan melalui speech act sehingga akhirnya isu tersebut benar-benar menjadi sebuah isu keamanan. Menurut Barry Buzan, salah seorang pemikir dari Copenhagen School, speech act adalah suatu pernyataan verbalyang menekankan pada ancaman yang langsung berkaitan dengan eksistensi negara. Aktor yang melakukan sekuritisasi kemudian memunculkan intersubjektivitas di level publik dengan menyatakan bahwa isu tertentu memiliki potensi untuk memberikan ancaman dan bahwa negara – sebagai onjek referen tertinggi – benar-benar terancam dikarenakan oleh suatu hal tersebut. Setelah adanya penerimaan dari publik sebagai audiens, maka tindakan yang luar biasa mendesak – yang memungkinkan penanganan tanpa melalui birokrasi ataupun regulasi normal – baru kemudian dapat ditempuh. Gagasan akan speech act juga kemudian semakin diperkaya dengan penambahan dari ‘respons kebijakan’ oleh Collier dan Herrington, yang menyertai ‘pernyataan verbal.[3]’

Maka, secara sederhana, sekuritisasi memiliki elemen-elemen sebagai berikut, yaitu: 1) Aktor yang melakukan sekuritisasi; 2) Benda yang dilindungi/objek referen; serta 3) Aktor fungsional/audiens. Kurang lebih, seperti itulah konsep sekuritisasi yang akan melandasi pembahasan lebih lanjut dari tulisan ini mengenai kebijakan dan retorika yang diambil oleh pemerintah Rusia terkait dengan homoseksualitas, atau lebih luas lagi, kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender).

Seperti yang diketahui, semenjak kenaikannya kembali menuju kepada tampuk kekuasaan, Vladimir Putin telah menciptakan serangkaian kebijakan bernada represif, salah satunya adalah amandemen undang-undang mengenai ‘Perlindungan Anak dari Informasi Berbahaya bagi Kesehatan dan Perkembangan,’ yang menambahkan hukuman bagi individu ataupun organisasi yang mempropagandakan ‘hubungan seksual nontradisional,’ – atau homoseksual.[4]

Amandemen undang-undang propaganda hubungan seksual non-tradisional melarang penyebaran dari ‘propaganda hubungan seksual non-tradisional’ kepada anak-anak di bawah umur, yang secara lebih rinci, didefinisikan sebagai “…distibusi dari informasi yang ditujukan kepada pembentukan dari preferensi seksual non-tradisional kepada anak-anak di bawah umur…membentuk ketertarikan atas hal tersebut….dan…membentuk miskonsepsi akan kesetaraan sosial dari hubungan seksual tradiosional dan non-tradisional di tengah masyarakat[5]” Amandemen tersebut mengenakan denda bagi segala bentuk penyebaran atas informasi yang berhubungan dengan kelompok LGBT – atau yang juga disebut sebagai ‘hubungan seksual non-tradisional’ – yang berkisar antara 5.000 rubel ($ 156) bagi individu, hingga 1 juta rubel ($ 31,000) bagi organisasi dan media, di samping dengan pembekuan dari kegiatan.[6]

Secara sederhana, terminologi LGBT melingkupi segala bentuk orientasi ataupun kecenderungan individu yang tidak berada dalam pengkotakkan sempit dari ‘laki-laki,’ ‘perempuan,’ dan ‘heteroseksual,’ sehingga kelompok tersebut kerap kali disebut sebagai ‘non-tradisional’ dalam perihal jender dan seksualitas.

Selain itu, terdapat pula rencana akan pembentukan dari undang-undang bernada diskriminatif tambahan, yang ditujukan untuk melarang adopsi anak oleh keluarga LGBT dan kelompok LGBT sebagai pendonor darah dan organ. Akan tetapi, adalah amandemen dari undang-undang propaganda hubungan seksual non-tradisional itulah yang memiliki posisi paling bermasalah.

Amandemen yang melarang segala bentuk diskusi yang dinilai mempromosikan ‘hubungan seksual nontradisional’ tersebut, kemudian membawa efek beruntun. Seperti pada represi atas kebebasan berekspresi dan berserikat, pelecehan, penangkapan, intimidasi, penahanan, tindak kekerasan, serta iklim intoleransi yang meluas di tengah masyarakat.

Homoseksualitas dilarang selama era Uni Soviet sampai pada tahun 1993. Namun, hingga kini tidak terdapat kemajuan yang signifikan di Rusia.[7] Amandemen memang tidak melarang tindakan homoseksual secara eksplisit, namun melakukan banyak pembatasan yang membawa konsekuensi.

Dilatarbelakangi oleh meningkatnya sentimen nasionalistik di Rusia, yang menyebabkan penyerangan atas kelompok minoritas dan represi dari masyarakat sipil, homofobia menjadi fitur utama dalam kebijakan populis moralistik Rusia. Hal ini bersumber pada anggapan akan homoseksualitas sebagai sumber dari degradasi moral dalam masyarakat, yang kian diperkuat dengan ketakutan akan penurunan dari jumlah kelahiran dan hilangnya status negara adidaya pasca-Perang Dingin. Dalam konteks ini, homoseksualitas digambarkan sebagai antitesis dari nilai-nilai tradisional Rusia sebagai sebuah negara Kristen Ortodoks.[8]

Dengan demikian, homofobia kemudian diposisikan sebagai sebuah bagian dari identitas nasional dan nilai-nilai traditional dari Rusia. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Vitaly Milnov, salah satu inisiator dari hukum anti-propaganda hubungan seksual non-tradisional Kota St Petersburg, yang sehubung dengan krtik terhadap kebijakan tersebut berpendapat bahwa “…ini adalah permasalahan Eropa…tidak semua hal yang mereka [Eropa] miliki adalah sesuai denga Rusia….[9]” yang dengan cukup gamblang, menyiratkan bahwa menjadi Rusia adalah dengan menjadi Kristen Ortodoks – dan menolak homoseksualitas. Penolakan atas homoseksualitas itu lalu, semakin memperkuat posisi dari kelompok LGBT sebagai sesuatu yang ‘asing’ di tengah nilai-nilai tradisional yang dianut masyarakat, dan menyebabkan dukungan yang luas dari bagi pembentukan dari suatu regulasi moral yang lebih mengikat.

Keinginan tersebut juga didukung oleh penggambaran negatif dari media mengenai kelompok LGBT dan kecaman dari keras Gereja Ortodoks, yang menemukan resonansi di tengah masyarakat – yang kemudian dimanifestasikan oleh pemerintahan populis melalui berbagai kebijakan.

Homofobia seakan sebagai bertindak sebagai proxy bagi pemahaman atas nilai-nilai tradisional, yang secara implisit, melegitimasi kekerasan dan diskriminasi bernuansa homofobik, dan menetapkan awalan berbahaya bagi nilai-nilai tradisional sebagai suatu pembenaran atas pelanggaran dari hak asasi manusia.[10]

Merujuk juga pada undang-undang ‘agen asing’ yang ditujukan hanya pada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mendapat bantuan dana asing,[11] dapat sekali lagi ditegaskan bahwa, homoseksualitas dipahami sebagai salah satu permasalahan asing. Homoseksualitas adalah masalah luar, maka menjadi ‘Rusia’ adalah dengan menentang homoseksualitas dan menganut nilai-nilai tradisional, kurang lebih seperti itulah logika yang digunakan dalam permasalahan ini.

Nilai-nilai tradisional itu, seperti yang dapat terlihat dari penjabaran di atas, membawa konotasi akan moralitas dan agama, di mana homoseksualitas dipandang berdampak negatif. Salah satu contoh yang paling signifikan adalah pidato kenegaraan Putin pada bulan Desember 2013 yang mengedepankan nilai-nilai tradisional.

Di samping elit politik, agamawan, dan media, terdapat juga kelompok neomoralistik seperti Association of Orthodox Parents, Family and Demography Foundation dan Interregional Public Organization for Family Rights yang menentang homoseksualitas dikerenakan oleh keinginan untuk melindungi kesehatan anak-anak dan mempromosikan nilai-nilai kekeluargaan – dengan menjadikan moralitas sebagai argumen utama. Argumentasi nasionalistik juga kerap kali digunakan oleh kelompok konservatif sebagai dasar atas tindakan intoleran terhadap kelompok minoritas[12] – yang berkaitan dengan pemahaman akan homoseksualitas sebagai suatu permasalahan asing yang telah dijabarkan di atas.

Adapun hal yang menarik adalah bahwa amandemen undang-undang akan propaganda hubungan seksual non-taradisional telah mengalami penentangan pada tahun 2003, 2004 dan 2006. Namun, hal tersebut kemudian mengalami regresi setelah demonstrasi anti-pemerintah di tahun 2011 yang melatarbelakangi kenaikan kembalinya Putin. Putin, yang kembali menjabat sebagai Presiden pada tahun 2012, kemudian memperkenalkan serangkaian hukum represif guna memperlemah pihak civil society dan oposisi. Seperti dengan memberlakukan sensor internet, dan menuliskan undang-undang ekstremisme, penistaan agama, penodaan nama baik, serta protes sipil.[13] Amandemen akan undang-undang propaganda homoseksual hanyalah merupakan salah satu bagian dari represi tersebut.

Pemerintahan Putin berupaya untuk mengkonsolidasikan basis dukungan dari kelompok konservatif, agama, Kanan, dan nasionalis, yang memiliki pandangan negatif akan homoseksualitas. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang sesuai kemudian dibuat. [14] Tetapi tidak hanya demi mengumpulkan dukungan, pemerintahan Putin, yang memulai periodenya dengan demonstrasi anti-pemerintah, juga memilikikepentingan akan stabilitas nasional, yang kemudian diterjemahkan dengan represi terhadap kelompok oposisi. Secara terutama, kelompok oposisi yang dimaksud adalah kelompok civil society yang berpikiran progresif, maka, demi menghadapi hal tersebut, retorika akan nilai-nilai tradisional anti-Barat, dibentuk dan diperkuat – dengan kelompok LGBT mengalami imbas dengan dijadikan sebagai kambing hitam.

Di ranah internasional, Rusia telah memberikan tantangan atas gagasan dari penyertaan hak LGBT sebagai bagian dari hak asasi manusia. Seperti yang telah dinyatakan, baik di dalam negeri maupun di tengah forum-forum internasional, Rusia telah dibingkai oleh penolakannya terhadap hak-hak LGBT sebagai bagian dari upaya perlindungan atas nilai-nilai tradisional dan budaya lokal. Maka, tidak diherankan bahwa selama masa keanggotaannya di Dewan Hak Asasi Manusia PBB antara tahun 2009 hingga 2012, Rusia telah mensponsori tiga resolusi yang berupaya untuk melegitimasi ‘nilai-nilai tradisional’ sebagai dasar dari pemahaman atas hak asasi manusia.

Selain dengan konsepsi akan ‘nilai-nilai tradisional’ yang membawa menuju ingatan akan perdebatan besar antara universalisme dan partikularisme dalam hak asasi manusia, terdapat pula beberapa permasalahan praktis terkait dengan gagasan tersebut, seperti dengan kewajiban negara untuk melindungi warga negara, penggunaan tradisi sebagai justifikasi bagi tindakan diskriminasi, serta yang lebih mendasar – ambiguitas dari tradisi itu sendiri. Apakah yang dimaksud dengan tradisi? Bagaimana dengan sifat tradisi yang terus berubah? Siapa pula pemilik dari tradisi tersebut?

Dikaitkan dengan konsep sekuritisasi, maka apakah yang terancam? Negara, atau secara lebih khusus, keamanan sosial negara, yang dibungkus oleh argumentasi akan agama, moral, dan nasionalisme sebagai tata bahasa keamanan dan konteks sosial-politik yang digunakan.

Apakah yang mengancam? Homoseksualitas, atau pemikiran progresif dalam kerangka yang lebih luas.

Siapakah aktor yang melakukan sekuritisasi? Pemerintah, melalui serangkaian kebijakan dan pernyataan verbal.

Mengapa? Sekuritisasi selalu memiliki tujuan yang berlandaskan kepada kepentingan dari aktor yang melakukan sekuritisasi. Apakah kepentingan dari pemerintah? Selain dengan melakukan konsolidasi atas dukungan suara, mengurangi penurunan dari populasi, dan membentuk identitas baru negara, terdapat suatu hal yang lebih mendasar – represi, plain and simple, yang menjadikan hal ini begitu problematik.

 

*Penulis adalah mahasiswa FISIP UI dan peserta magang di Suara Kita.

Catatan Kaki

[1] Ralf Emmers, “Securitization,” dalam Alan Collins ed., Contemporary Security Studies, (New York: Oxford University Press, 2007), hal. 110

[2] Bezen Balamir Coskun, “Power of The Words: The Securitization of The Other in the Israeli-Palestinian Conflict,” diakses melalui https://www.qub.ac.uk/sites/QUEST/FileStore/Issue4PerspectiviesonPowerPapers/Filetoupload,71742,en. df pada tanggal 4 Juli 2014, hal. 2

 

[3] Yunnan Chen, “The Water Margin: Security and Securitization in

China’s Water Crisis,” diakses melalui https://circle.ubc.ca/bitstream/handle/2429/44415/ubc_2013_fall_chen_yunnan.pdf?sequence=23, pada tanggal 4 Juli 2014, hal. 9

[4] Jim Nichol et.al,The 2014 Sochi Winter Olympics: Security and Human Rights Issues,” dalam CRS Report for Congress, Januari 2014, hal. 13

[5] “The Facts on LGBT Rights in Russia,” diakses melalui http://www.globalequality.org/newsroom/latest-news/1-in-the-news/186-the-facts-on-lgbt-rights-in-russia pada tanggal 8 Juni 2014

[6] “Russian Anti-Gay Bill Passes, Protesters Detained,” diakses melalui http://www.cbsnews.com/news/russian-anti-gay-bill-passes-protesters-detained/ pada tanggal 8 Juni 2014

[7] Erik Jennische, “The Olympic Violations: The Winter Olympic Games in Sochi, the Swedish Sponsors, and Human Rights,” dalam Report No. 68, Januari 2014, hal. 10

[8] Cai Wilkinson, “Putting Traditional Values into Practice: Russia’s Anti-Gay Laws,” dalam Russian Analytical Digest No. 138, November 2013, hal.

[9] Ibid., hal. 6

[10] Ibid.

[11] Ben Smith, “Persecution of Sexual Minorities in Russia,” dalam House of Commons Report, Agustus 2013, hal. 3

[12] Smith, op.cit., hal. 7

[13] Human Rights First, “Convenient Targets: the Anti-“Propaganda” Law & the Threat to LGBT Rights in Russia,” dalam Report, Agustus 2013, hal. 1

[14] Ibid., hal. 3