Search
Close this search box.
henny Han, penata rias terkenal, di butiknya di kawasan Kebon Kacang, Jakarta, (22/11). Chenny merupakan salah satu waria di Indonesia yang berhasil dengan segudang prestasi. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Chenny Han, penata rias terkenal, di butiknya di kawasan Kebon Kacang, Jakarta, (22/11). Chenny merupakan salah satu waria di Indonesia yang berhasil dengan segudang prestasi. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Suarakita.org- Tak hanya perdebatan dan perlakuan yang diskriminatif yang harus dihadapi kaum waria semasa hidup. Dalam keadaan meninggal atau wafat pun, kaum waria ini mendapat perdebatan akan dimakamkan di mana?

“Sedih dengan kehidupan kami. Ketika hidup kami dibenci, dicaci, bahkan sampai harus diuber-uber saat razia petugas Satpol PP ketika beberapa waria yang nyebong alias menjadi pekerja seks (PSK) di pinggir jalan dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Yang menyedihkan, kami masih saja didebat saat jasad ini sudah terbujur kaku,” suara sedih itu keluar dari bibir Yulianus Rettoblaut yang biasa disapa Mami Yulie.

Waria yang menjadi Ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia, konsultan hukum, dan aktivis hak asasi manusia ini harus menghadapi kenyataan pahit saat harus mengurus kaumnya yang meninggal dunia.

“Secara umum, mereka (waria) tidak memiliki identitas, apalagi rata-rata sudah dibuang oleh keluarganya. Jadi, begitu mathe (mati, wafat), selalu muncul persoalan baru. Saat dibawa rumah sakit pun dipermasalahkan mau diperiksanya di bagian pria atau wanita. Pokoknya mengenaskan,” kata waria kelahiran 30 April 1961 ini.

Mami Yulie yang bertandang ke kantor Tempo pada  November 2013 lalu, ini menuturkan, “Kalau waria yang mathe itu masih anggota kami, pasti saya akan membantu mengurusnya. Yang menyedihkan kalau tidak dikenal dan tidak beridentitas, ya, dibuat simpel saja oleh Dinas Sosial dikumpulkan menjadi satu bersama mayat yang tidak dikenal, lalu dilakukan penguburan massal,” kata dia.

Lain lagi dengan penuturan Chenny Han. Dalam perbincangan dengan Tempo di butiknya di kawasan Kebon kacang, Jakarta Pusat, pada November 2013 lalu, perancang dan penata rias ternama ini mengatakan, “Perdebatan selalu terjadi pada waria yang mati alias wafat. Tapi, dari pengalaman beberapa waria yang saya kenal baik semasa hidupnya, saya selalu membantu ketika mereka wafat. Biasanya, saya selalu menyesuaikan dengan agama mereka dan permintaan atau keinginan mereka mau dimakamkan seperti apa.”

Mantan Ratu Waria Sejagad tahun 1992 di Amerika Serikat ini menjelaskan, ada beberapa teman waria yang meninggal dan ingin dimakamkan seperti laiknya dia hidup menjadi waria. “Jadi dimakamkan secara wanita. Namun ada juga yang dimakamkan karena permintaannya seperti saat dilahirkan menjadi pria, ya, pemakaman sebagaimana laiknya pria.”

Belum lama ini, Chenny mengurus pemakaman rekan warianya yang meninggal dunia karena kanker. Namanya Mami Windy, salah satu personel zaman Fantasi Doll yang berjaya pada awal tahun 70 dan 90-an. Diakui perancang busana artis Agnes Monica dan Vicky Shu ini, awalnya sempat terjadi perdebatan sengit saat mayat Mami Windy yang aktif di Yayayan Srikandi–yayasan yang peduli kesehatan dan kehidupan kaum waria, lansia, dan tak mampu–itu akan ditebus dari rumah sakit.

“Tapi saya bicara dan yakinkan pihak rumah sakit kalau saya dan beberapa teman waria lain adalah sahabat Windy, keluarga terdekat yang mendiang punya semasa hidup. Akhirnya, pihak rumah sakit memperbolehkan Windy kami urus di rumah duka dan kami dandani secantik mungkin sesuai pesannya sebelum wafat,” dia menjelaskan.

Chenny dengan mimik sedih menuturkan, kehidupan getir kaum waria tak hanya semasa hidup, bahkan menjelang ajal, apabila si waria tidak memiliki siapa-siapa semasa hidupnya. “Mereka dimakamkan secara massal. Ngenes dan memang menyedihkan,” ujarnya.

Sumber:  Tempo.co