Search
Close this search box.

Keluarga : Pengadilan, Penjara dan Sumber Pendidikan Kekerasan

Tanti Noor Said (Foto: koleksi pribadi)
Tanti Noor Said
(Foto: koleksi pribadi)

Oleh : Tanti Noor Said*

Suarakita.org- Setelah artikel terakhir saya menggugat absennya pendidikan seksual pada anak, maka artikel ini masih merupakan sebuah kelanjutan dari keprihatinan saya pada kecerobohan kita dalam menghadapi generasi penerus bangsa kita. Sosialisasi dan penanaman nilai-nilai yang berasal dari institusi agama, negara dan budaya, takkan pernah berhasil tanpa peran yang paling penting dari keluarga.

Dalam penelitian yang pernah saya lakukan di kalangan imigran gay dan transjender serta pertemuan saya dengan remaja baik heteroseksual maupun non-heteroseksual atau queer dari Indonesia, tidak jarang saya mendengar kisah-kisah sedih tentang penolakan dan kekerasan yang mereka dapatkan dari orang tua dan saudara-saudara mereka sendiri.

Elsa sang transgender yang ayu

Sebut saja namanya Elsa. Elsa adalah namanya sesudah melakukan transformasi tubuh, dari tubuh yang secara biologis laki-laki menjadi tubuh perempuan. Wajahnya semampai dengan rambut yang hitam pekat dan panjang hampir sepinggul. Jalannya anggun dan sangat ayu. Saya takkan bisa tau jika sebelumnya ia adalah laki-laki, jika tidak diberitau oleh gate keeper (istilah antropologi untuk penghubung peneliti dengan narasumber) saya di lapangan.

Elsa tidak dapat pulang ke rumahnya di Sumatera sampai saat ini. Ia hanya dapat pulang ke Jakarta untuk bertemu ayah dan ibunya. Kakak-kakaknya tidak ingin mengenalnya lagi semenjak ia operasi implantasi payudara dan berganti kelamin. Ia masih menjadi tulang punggung keluarga dan mengirimi ibunya secara rutin uang untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Untuknya hal tersebut adalah kewajibannya sebagai seorang anak, yaitu berbakti pada orangtuanya.

Sejak kecil Elsa kerap dipukuli oleh kakak laki-lakinya. Mereka sangat membencinya karena gerak tubuhnya yang gemulai dan tidak seperti anak laki-laki yang maskulin. Sehari-harinya, elsa bertugas membersihkan rumah dan menyiapkan makanan di atas meja. Jika ayah, ibu dan kakak-kakaknya kembali dari sawah, makanan harus tersedia di atas meja. Ia juga harus menyeterika baju mereka. Jika ia terlambat menuruti permintaan kakak-kakaknya, ia akan mendapat kemarahan dan kekerasan.

Andai saja engkau kakakku

Beberapa remaja muda yang berorientasi seksual gay terkadang menghubungi saya, bercerita atau chatting melalui media sosial. Mengungkapkan kesedihannya karena mendapatkan perlakuan sangat buruk dari keluarga. Ada juga yang tidak lagi dihiraukan oleh orangtuanya. Orangtuanya marah, karena ia tidak sesuai dengan harapan mereka, yaitu menjadi anak yang berperilaku sesuai dengan jenis kelamin pada saat ia dilahirkan. Beberapa anak harus minggat dari rumah. Beberapa anak memilih untuk tetap ada di rumah karena sangat membutuhkan ayah, ibu dan keluarganya. Anak yang keluar dari rumah sejak usia yang sangat muda sangat rentan dalam mendapatkan kekerasan di luar rumah. Sebagian menjadi peminta-minta, pengamen, yang agak besar bisa masuk ke dalam prostitusi, karena tidak ada lagi pilihan.

Mereka yang memilih untuk tinggal di rumah, juga mendapatkan tekanan yang luar biasa besar dan cenderung sangat tersiksa. Bukan hanya mereka tidak dapat berekspresi seperti yang mereka inginkan, mereka juga merasa harus menerima perlakuan-perlakuan penuh cemo’ohan, ketidakadilan dan kekerasan tersebut, karena mereka merasa diri merekalah yang bersalah. Diri merekalah yang menyimpang. Saya, sebagai pendengar merasa sangat tidak berdaya. Hanya bisa menghibur dan menyarankan mereka untuk berkonsentrasi dengan sekolah. Mandirilah, sehingga suatu hari nanti engkau siap untuk meninggalkan rumah dan hidup seperti yang engkau inginkan. Jangan lupa, bukan kamu yang salah. Masyarakat hanya tidak mampu untuk menerima hal-hal yang luar biasa. Lalu anak itu berkata, “Andai saja engkau kakakku.” Andai saja, saya mampu mendengar, tanpa harus berlinangan air mata.

Pengadilan gender yang bernama keluarga

Keluarga adalah sebuah tempat aman untuk bernaung dimana semua anak mendapatkan kasih sayang.”

Untuk saya, ungkapan tersebut mulai perlu diragukan. Saya bahkan mulai mencurigai jika benar adanya, semua orangtua memang memiliki kemampuan untuk mengasihi tanpa adanya syarat-syarat, maupun kewajiban, yang kemudian diikuti dengan sangsi dan imbalan.

“Jika kamu tidak berlaku seperti laki-laki, maka kamu bukan lagi anakku!”

Apa rasanya menjadi anak itu? Apa rasanya mengetahui bahwa ia tidak disayangi, karena tidak sesuai dengan harapan orangtuanya. Padahal hasrat seksual maupun perilaku adalah sesuatu yang timbul dari hati dan tubuh mereka. Padahal tidak satupun dari mereka minta untuk dilahirkan. Kekecewaan, penolakan dan rasa tidak berharga menyertai proses perjalanan mereka dalam bertumbuh menjadi dewasa.

Penanaman nilai-nilai dan kekerasan

Saya tidak lupa kata-kata seorang antropolog ahli Afrika dari Universitas Amsterdam, Profesor Peter Geschiere. Menurutnya, keluarga adalah sebuah institusi yang paling represif dalam menjalankan nilai-nilai budaya. Keluarga tidak selalu menjadi sebuah pelabuhan yang aman bagi para anak.

Pemukulan dan makian, merupakan kejadian sehari-hari yang diterima oleh anak-anak yang tidak menuruti orangtuanya. Salah seorang teman saya Okty menyaksikan seorang anak dipukuli oleh orangtuanya karena tidak dapat membaca iqra. Padahal anak itu masih sangat kecil. Apakah beban untuk memiliki penerus yang menjalankan perintah agama adalah merupakan beban yang sedemikian beratnya, sehingga sang ibu frustasi. Sehingga ia emosi dan tak ingat bahwa yang dipukulinya adalah buah hati yang dilahirkannya? Ataukah anak tak lagi dianggap sebagai mahluk hidup yang memiliki hati dan perasaan. Anak yang juga merupakan titipan dari Tuhan, dari Gusti Allah.

Akhiri tradisi pemaksaan dan kekerasan

Dalam kapasitas saya sebagai penulis lepas kolom opini Suara Kita dan Budenya keponakan-keponakan saya, serta tante dari anak-anaknya para sahabat saya, tidak ingin saya berdiam diri dan tidak berbuat sesuatu. Saya tidak ingin hanya menjadi saksi atas kekejaman dan penanaman nilai-nilai kekerasan dan pemaksaan. Jika kita pernah mengalami pemaksaan dan kekerasan, bukan berarti hal itu harus kembali diturunkan dan menjadi tradisi keluarga. Jika dulu kita dididik dengan kebebasan, mengapa sekarang kita tidak melanjutkan tradisi tersebut.

Mungkin kita semua belajar bagaimana menjadi pemeluk agama yang baik, agama apapun itu. Kita juga belajar pembagian gender yang dibatasi oleh binary opposition (laki-laki dan perempuan). Banyak hal lagi yang kita pelajari dan kita percaya sebagai yang terbaik dan ideal bagi anak-anak kita. Namun, mudah-mudahan kitapun tak lupa. Anak-anak ini masihlah panjang hidupnya. Jika mereka diberi kebebasan untuk berkembang dan memilih, percayalah bahwa mereka akan menjadi anak-anak yang bijak. Bukan anak-anak yang takut dan cenderung memilih mengorbankan diri pada kekuasaan. Bukan anak-anak yang nantinya akan menjadi seorang diktator, karena ia tidak percaya bahwa setiap individu berhak atas kebebasan dan pilihan. Jika ia diberi cukup kasih, maka mereka akan menciptakan dunia yang penuh damai, yang kita semua impikan.

Akhiri tradisi pemaksaan dan kekerasan!

 

*Penulis adalah antropolog gender dan seksualitas dan kontributor Suara Kita.