Oleh: Sebastian Partogi*
Suarakita.org– Seksualitas. sebuah kata yang seringkali diasosiasikan dengan hal- hal negatif seperti noda, ketidaksucian dan dosa oleh para kaum puritanikal. Namun demikian, banyak juga penulis yang membela seksualitas dan berargumen bahwa seksualitas bukanlah sebatas hubungan badan saja namun juga menyangkut emosi dan keindahan.
Beberapa penulis terkenal yang memuji muji indahnya seks adalah, tentu saja, dokter Alex Comfort yang menulis The Joy of Sex dan kemudian, secara mengejutkan, seorang pendeta bernama Thomas Moore yang menulis buku The Soul of Sex. Yang terakhir ini saya temui secara tidak sengaja disebuah toko buku saat sedang ada obral buku impor. Dalam bukunya, pendeta Moore memberikan instruksi pada pembacanya tentang bagaimana mengintegrasikan antara seksualitas dengan spiritualitas mereka. Dia berargumen bahwa hal hal yang bersifat badaniah juga penting dan sakral. Hal ini bertentangan dengan salah satu asumsi dasar teologi Kristiani bahwa jiwa jauh lebih penting daripada tubuh, karena tubuh bersifat fana sementara jiwa bersifat kekal.
Merayakan ketubuhan bisa menjadi sebuah aktivitas yang dinilai menjijikkan dan imoral karena atribut atribut negatif yang telah ditempelkan pada seksualitas dan ketubuhan itu sendiri. Apalagi kalau yang dieksplorasi adalah seksualitas gay. Namun penulis Alan Hollinghurst berusaha mendobrak tabu tersebut pada tahun 1988 dengan menulis novel erotis berjudul Swimmingpool Library yang berlatarbelakang di Inggris. Erotis, tentu saja, tidak sama dengan vulgar. Dalam novel ini ketubuhan digambarkan secara sangat estetis dan jauh dari vulgar.
Kolam renang dan gym Corry adalah tempat dimana kaum gay melakukan aktivitas cruising. Semua orang yang berolahraga di sana adalah laki laki. Tidak mengejutkan pula apabila banyak gay yang berenang dan berolahraga di tempat tersebut pun saling ‘curi curi pandang’ dan menikmati keindahan tubuh setengah telanjang sesama laki laki yang berenang di sana.
William Beckwith, pemuda berusia 20an tahun, menjadi salah satu pelanggan setia kolam renang Corry. Seorang laki laki gay yang tampan dari keluarga kaya raya, William memiliki dua orang kekasih bernama Philip dan James. Tetapi meskipun ia telah memiliki dua orang kekasih yang tergila gila padanya, ia tidak pernah berhenti bertualang secara seksualitas. Entah melalui tatapan mata, sentuhan atau persetubuhan, kehidupan Beckwith adalah kehidupan yang sangat vital dan penuh gairah.
Beckwith memiliki sebuah kesukaan pribadi, ia sangat mengagumi keindahan laki laki keturunan Afrika. Suatu saat ada seorang bocah bernama Arthur yang terluka setelah digebuki segerombolan laki laki yang meminta pertolongan padanya. Ia segera memanfaatkan kesempatan ini dengan membawa laki laki tersebuy krndalam flatnya dan menikmatinya.
Suatu hari saat ia sedang membilas tubuhnya dan siap siap berpakaian di ruang ganti kolam renang Corry, seorang kakek kakek berusia 80tahun tiba tiba pingsan. Ia segera menolong kakek tersebut danmemberinya bantuan pernapasan.
Tak terduga, hubungan Beckwith dengan sang kakek yang ternyata bernama Charles Nantwich, seorang mantan tuan tanah di Afrika, menjadi akrab. Charles lantas meminta Beckwith untuk menuliskan biografi dirinya. Beckwith yang menganggur karena keluarganya cukup kaya untuk menanggung semua biaya hidupnya sempat ragu ragu apakah harus menhambil tawaran tersebut. Namun pada akhirnya ia setuju. Charles memberikan segepok buku harian yang ia tulis saat ia masih muda untuk dipelajari oleh Beckwith.
Ternyata Charles juga adalah seorang homoseksual dan pada masa mudanya berkelakuan tidak jauh beda dengan Beckwith: libidonya sangat tinggi dan ia selalu dikelilingi oleh laki laki. Ia sangat senang memandangi dan membayangkan tentang bentuk tubuh laki laki. Sama dengan Beckwith, Charles juga menyukai laki laki Afrika. Itulah mengapa tahun tahun yang ia habiskan sebagai tuan tanah di daerah Afrika jajahan Inggris menjadi surga baginya. Selama ia masih muda ia memiliki banyak sekali ‘simpanan’.
Namun afinitas dan kesamaan antara Charles dan Beckwith tidak serta merta membuat persahabatan mereka lancar. Hasrat seksual yang berapi api yang dinikmati oleh Charres juga ternyata bukannya tanpa kekangan. Konflik di novel ini muncul tak terduga menjelang akhir cerita, saat Beckwith menemukan bahwa Charles pernah dipenjara hanya karena ia seorang homoseksual dan sangst terkejut saat menemui bahwa orang yang memenjarakan Charles tidak lain adalah kakek Beckwith sendiri yang saat itu menjabat kepala tuan tanah.
Novel Swimmingpool Library ini berbeda dengan novel stensilan karena meskipun mengeksplorasi seksualitas dan sensualitas, ia juga mempertanyakan berbagai macam hal seperti pembenaran etis atas kolonialisme dan juga upaya upaya untuk memenjarakan hasrat itu sendiri, persepsi mengenai normalitas-abnormalitas orientasi seksual tertentu. Misalnya dalam novel ini Charles dipenjara karena ia melakukan hubungan sesama jenis -ini merupakan bentuk kontrol sosial yang dilakukan masyarakat untuk mengontrol hubungan seksual yang dianggap ‘menyimpang’ (baca: homoseksual) dengan harapan bahwa si pria homoseks akan ‘bertobat’ setelah diberi ‘perlakuan khusus’ (dalam hal ini ditangkap dan dipenjarakan).
Upaya kontrol terhadap seksualitas dan ketubuhan memang selalu dilakukan, mulai dari ajaran agama bahwa seks itu dosa dan HANYA boleh dilakukan dalam rangka reproduksi (menghasilkan anak) saja. Seks dalam rangka rekreasi dilarang. Hal ini kemudian merugikan kaum homoseksual karena tentu saja kaum homoseksual tidak sapat melakukan seks untuk reproduksi oleh karena inkompatibilitas alat reproduksi. Namun di sini pertanyaan pun muncul. Mengapa seks untuk rekreasi tidak diperbolehkan Dimanakah letak imoralitas atau kekotoran dari tindakan seks sebagai reproduksi?
Belakangan ini mulai banyak riset yang mengkaji mengenai manfaat orgasme (entah yang dilakukan dengan pasangan homo/hetero, dalam rangka reproduksi atau rekreasi, ataupun yang dilakukan seorang diri dalam rangka masturbasi) dan menemukan bahwa orgasme memiliki segudang manfaat mulai dari meningkatkan imunitas tubuh, meredakan stress, menurunkan tekanan darah sampai membuat awet muda ( akibat hormon DHEA yang dikeluarkan tubuh saat orgasme) dan mempertahankan daya ingat (karena aliran darah ke otak meningkar saat orgasme)! Melihat hasil temuan ini, mungkinkah memang seks berfungsi lebih daripada sekadar metode reproduksi?
Namun lagi lagi muncul pertanyaan: sejauh manakah seks perlu dikontrol? Sebanyak apakah terlalu banyak itu? Menurut lagu Queen, Too Much Love Will Kill You, mungkinkah hal yang sama juga berlaku bagi seks? Orang yang tidak kunjung puas dengan hubungan seks akan terus melakukan masturbasi hingga penis lecet, misalnya. Saat hubungan sees dilakukan dengan sembarang orang dan banyak pasangan, risiko tertular infekki menular seksual pun meningkat. Orang yang gemar petualangan seks akan mencoba metode metode sadomasokis yang menyebabkan kematian pasangan karena mencekik pasangannya terlalu lama, misalnya.
Namun tentu saja seperti apapun yang ada di dunia ini, seks pun memiliki keragaman tersendiri. Dan tentu saja tidak semua orang terlibat dalam hubungan seks berisiko tinggi. Saya percaya bahwa manusia juga masih memiliki nalar yang dikendalikan oleh bagian otak prefrontal cortex mereka. Dengan nalar ini mereka dapat menentukan kapan mereka sudah kelewat batas dan mempertimbangkan konsekuensi darim perilaku mereka sendiri. Oleh karena itu, hendaknya kontrol atas seksualitas dikembalikan pada masing masing individu. Biarkan orang memiliki kedaulatan atas tubuhnya sendiri dan menetukan apa yang ingin
ia lakukan dengan tubuhnya. Namun sayangnya selama kita hidup akan selalu ada pihak pihak yang berusaha memborgol penis atau vagina atau otak kita. Sama seperti kakeknya Beckwith dalam novel Swimmingpool Library.
*Penulis adalah jurnalis di The Jakarta Post.
**Terima kasih untuk Kania Sri Khaerani yang telah memperkenalkan saya pada karya karya Alan Hollinghurst, terutama karena telah menginformasikan kepada saya tentang novel Swimmingpool Library. -penulis-