Search
Close this search box.

Turisme LGBT, Peluang Baru Di Bisnis Pariwisata

Oleh : Nurdiyansah*

Suarakita.org- Berwisata merupakan hak bagi setiap individu, tak terkecuali kelompok minoritas LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Sebagai sebuah industri keramah-tamahan yang sedang berkembang, bisnis pariwisata memang lebih banyak melihat individu maupun kelompok sebagai wisatawan secara umum tanpa membedakan identitas maupun orientasi seksual. Tapi tentu saja ketika kita membicarakan individu LGBT dalam konteks wisatawan, tak berarti menyederhanakan persoalan.

Ada ketimpangan yang nyata ketika melihat pariwisata dan LGBT. Di sini kita melihat bahwa motivasi dan ekspektasi orang dalam berwisata juga memiliki keragaman. Sementara di satu sisi, stereotipe dan stigma terhadap kelompok LGBT masih begitu kuat, baik di tempat asal wisatawan atau di destinasi tujuan wisatawan, namun pertumbuhan atraksi wisata terhadap segmen khusus wisatawan LGBT terus berkembang. Kelompok LGBT dalam bisnis pariwisata kerap dilihat sebelah mata sebagai suatu segmen pariwisata dengan pertumbuhan pesat (emerging market) sekaligus daya beli yang tinggi (buying power), terutama para LGBT usia dewasa. Sayangnya, hal tersebut jarang diikuti oleh perbaikan sistem pendukung yang ramah terhadap wisatawan LGBT. Atau mungkin saja dengan partisipasi yang besar dari kelompok LGBT untuk berwisata, maka memberikan suatu tekanan pada perubahan situasi yang lebih baik?

Kita tak dapat berdalih pada fenomena wisata seks misalnya, yaitu wisata minat khusus untuk mendapatkan kesenangan atau pengalaman berbeda terhadap kenikmatan seksual (sex pleasure/sex recreation/sex leuisure/sex experience/sex contact). Perbedaan dimensi wisata seks hetero dengan wisata seks LGBT – meski keduanya sama-sama belum memiliki legalitas yang jelas di Indonesia – terletak pada elemen daya tarik maupun identitas/orientasi seksual wisatawan dan pekerja seks sebagai pelaku jasa wisata. Terbatasnya ruang gerak kelompok LGBT untuk mengekspresikan seksualitas menyebabkan wisata seks LGBT tumbuh dengan kecenderungan yang terjun bebas: tertutup, tidak sehat, dan tidak adil (terkait relasi pertukaran jasa). Meski begitu, wisata seks LGBT tak berarti memiliki kontribusi ekonomi yang kecil. Destinasi-destinasi wisata seks LGBT memiliki kompleksitas dan ketimpangan yang tinggi dibandingkan wisata seks hetero karena berhadapan dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Ini sekedar contoh permukaan yang bersinggungan kuat antara pariwisata dan LGBT. Wisata seks yang didominasi kaum transgender di jalan-jalan pada kota-kota besar atau destinasi wisata malah kian menyudutkan pekerja seks, yaitu kelompok LGBT sendiri.

Apa itu Turisme LGBT?
Pariwisata memiliki beragam tipe yang menegaskan konteks motivasi/dorongan ketika melakukan perjalanan wisata. Salah satu tipe yang tergolong baru dalam topik kontemporer pariwisata dalam dekade ini, adalah LGBT tourism atau pariwisata LGBT. Sebagian kalangan menyebutnya dengan gay tourism secara lebih populer, tanpa membatasi bahasan pada kelompok homoseksual lelaki saja. Turisme LGBT merupakan wisata minat khusus yang menyasar pada segmen pasar kelompok wisatawan LGBT. Berbeda dengan wisata seks yang terbatas pada kesenangan seksual, Turisme LGBT memiliki motivasi yang lebih luas dengan fokus pada segmen wisatawan yang adalah kelompok minoritas dengan keragaman identitas seksual.

Dalam Turisme LGBT, elemen-elemen pariwisata, mencakup atraksi, akomodasi, infrastruktur, fasilitas layanan, serta elemen kelembagaan (pengelola) mengalami penyesuaian terhadap kebutuhan dan harapan dari wisatawan LGBT. Turisme LGBT menunjukkan tren meningkat karena adanya peningkatan terhadap permintaan. Ini bisa berarti dua hal: situasi sosial yang ramah terhadap LGBT (di suatu destinasi Turisme LGBT) maupun situasi yang tidak ramah terhadap LGBT (di tempat asal wisatawan, sehingga mendorongnya untuk berwisata ke destinasi LGTB tourism yang lebih ramah).

Apa yang dilakukan dalam Turisme LGBT?

Tentu saja tak terbatas. Turis LGBT bisa datang ke suatu tempat untuk menikah (same-sex wedding), menikmati gay night club, melihat pertunjukkan kabaret waria, mengikuti parade LGBT, menikmati resort dengan layanan khusus LGBT, melakukan pertemuan-pertemuan (MICE/meetings, incentives, conventions, exhibitions terkait isu LGBT), dan lain-lain.

Pink Economy
Seperti halnya wisatawan hetero, wisatawan LGBT – khususnya kelompok dewasa atau pekerja – juga memiliki kemampuan beli yang tinggi. Kelompok LGBT yang dianggap minor dalam hal jumlah ternyata memainkan peran besar terhadap perekonomian suatu wilayah. Turisme LGBT menunjukkan adanya potensi bisnis yang besar terhadap komunitas LGBT. Pink money merupakan uang yang dikeluarkan (kemampuan daya beli) oleh individu atau komunitas LGBT untuk membeli barang dan jasa. Dalam skala industri pariwisata, kontribusi wisatawan LGBT dalam perekonomian, dapat dikelompokkan sebagai corak pink economy.

Amerika Serikat dan Inggris merupakan contoh bagaimana bisnis terkait LGBT mencapai total hingga puluhan milyar dolar AS. Sementara Indonesia pun menyusul sebagai growing market untuk sasaran produk terkait LGBT yang sebagian besar masih diimpor dari negara-negara Barat. Sebagian kalangan menyambut positif adanya produk maupun ruang khusus bagi kaum LGBT, namun sebagian kalangan lain menganggap eksklusivitas tersebut menjadi indikasi bahwa kaum LGBT masih belum dianggap setara dan adil. Apa pun kontroversinya, suatu fakta menyimpulkan bahwa kaum LGBT ternyata memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar terhadap perekonomian suatu wilayah maupun bisnis.

Bangkok, Thailand kini telah diklaim sebagai destinasi LGBT terpopuler di Asia dan menjadi top ten LGBT tourist destination in the world. Pengaruh supply chain dari kedatangan turis tersebut berperan strategis terhadap pendapatan suatu negara. Bangkok tak hanya memberi peluang bagi turis domestik dan mancanegara untuk menikmati kesenangan secara bebas (terkait keramahan pada keberagaman identitas/ekspresi seksual), melainkan memberikan peluang atau kesempatan kerja yang pula beragam bagi kelompok LGBT lokal, mulai dari penghibur, penari, pekerja restoran, pemandu wisata, pengusaha homestay, pengola atraksi wisata, dan banyak lagi. Keberagaman pilihan pekerjaan terhadap kelompok LGBT di suatu destinasi wisata berdampak terhadap pemberdayaan ekonomi dan hancurnya stigma maupun stereotipe LGBT. Bahwa para waria tak sekedar dilihat sebagai pengamen, pekerja seks, atau jasa salon, melainkan bersaing secara setara dan adil dengan profesional lainnya dengan pertimpangan affrimative action (terkait LGBT tourist & LGBT destination).

Traveling & Enjoy Freedom
Dengan segala pergulatan dengan menjadi turis – secara pribadi – saya hendak mendorong kelompok LGBT untuk pula mau berwisata. Traveling memberikan suatu pengalaman kebebasan bagi siapa pun untuk mengenal konsep diri melalui perbedaan. Perbedaan di sini dapat dilihat pada destinasi yang berbeda dari tempat tinggal kita maupun orang-orang berbeda yang akan kita temui selama melakukan perjalanan dan di suatu tempat tujuan wisata.

Tak mudah memang. Mungkin kita melihat suatu perjalanan sebagai bentuk rekreasi atau pelarian dari tekanan di mana kita tinggal. Mungkin juga ketika dalam perjalanan, kita malah menerima suatu tekanan atau perilaku tak ramah. Namun, itulah pemahaman terhadap perbedaan. Wisatawan LGBT cenderung dapat mengekspresikan diri secara lebih bebas di luar tempat tinggalnya. Ini adalah suatu bentuk pemberdayaan diri (inner self). Sementara bagi suatu destinasi, kedatangan wisatawan LGBT akan membuat mereka semakin menghargai perbedaan. Dengan traveling, kelompok LGBT belajar memasuki diri pada dunia luar (outer world). Secara ekonomi, LGBT turis pun telah menunjukkan diri sebagai kelompok yang memiliki pengaruh terhadap buying power dan membuka peluang baru bagi LGBT lokal bekerja di bidang kepariwisataan.

Tentu saja dorongan untuk traveling bukan berarti mengindahkan advokasi terhadap perbaikan infrastruktur maupun jasa layanan wisata yang ramah bagi LGBT. Setiap turis LGBT dapat melakukan komplain. Ini bukan menyoal pada apakah mereka mau mengakui keragaman seksual atau tidak, melainkan mereka harus melakukannya dengan melihat konteks wisatawan secara general. Wisatawan memiliki hak-hak – jika tak ingin menyebutnya sebagai penegasan HAM. Sebagai turis, individu atau kelompok LGBT dapat melakukan advokasi dengan membentuk jaringan (network) terhadap LGBT tourism di mana mereka dapat berbagi destinasi-destinasi menarik, tips melakukan perjalanan sebagai LGBT, rekomendasi hotel yang ramah bagi LGBT, maupun rencana melakukan perjalanan bersama untuk bertemu sesama LGBT traveler/tourist. Mengapa tidak! Hak berwisata adalah milik siapa pun dan bahwa kepariwisataan diselenggarakan berdasar asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan seperti yang tercantum pada UU RI No. 10 tentang Kepariwisataan.

Travel Notes:
Tour operator yang secara terang-terangan menawarkan jasa layanan wisata bercorak LGBT friendly memang masih banyak didominasi oleh pengelola asing. Kawan-kawan bisa menghubungi Purple Roofs sebagai travel agen berskala internasional yang menjadikan Indonesia sebagai potensi LGBT tourism www.purpleroofs.com. Daftar gay club & bars di Jakarta dan Bali juga bisa dipilih melalui rekomendasi Travel Gay Asia www.travelgayasia.com

Sementara untuk network terhadap LGBT traveler, kawan-kawan bisa bergabung dan saling berbagi informasi dengan International Gay & Lesbian Travel Ass. melalui website www.iglta.org

LGBT tourism tak melulu terkait perjodohan maupun kesenangan seksual. Kawan-kawan bisa pula menikmati cabaret show yang terdapat di lantai 3 Mirota Batik, Malioboro, Yogyakarta. Selain menawarkan hiburan oleh penari/seniman transgender, usaha kafe dan hiburan tersebut juga turut mempekerjakan pegawai LGBT. Buat teman-teman yang ingin berwisata dengan minat belajar agama atau sekedar melihat keunikan suatu desa dengan komunitas waria, tak ada salahnya juga untuk mampir ke Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis di Notoyudan, Yogyakarta.

Mengkhususkan traveling pada lingkup LGBT friendly memang terasa lebih nyaman dan aman. Namun, jangan pula menutup diri pada corak wisata yang bersifat umum atau dengan segmentasi lebih luas. Resiko terhadap perilaku tidak menyenangkan mungkin terjadi lebih besar, tetapi kita bisa lebih mengenalkan/membuka diri kepada situasi yang berbeda. Bagi masyarakat di suatu destinasi, hal ini juga akan berkontribusi pada sikap yang lebih terbuka dan mendorong adanya suatu layanan yang LGBT friendly.

*Penulis adalah lulusan magister manajemen pariwisata di SPS Univ. Sahid. Pendiri www.jejakwisata.com dan tengah menyiapkan sebuah buku esay kajian pariwisata kontemporer.