Suarakita.org- Perburuan terhadap perempuan muda di dunia maya dan lewat ponsel pintar sudah menjadi masalah signifikan di Eropa.
Menurut sebuah studi yang diadakan di Uni Eropa, satu dari 10 perempuan antara usia 18 hingga 29 telah menerima pesan mengancam lewat SMS, e-mail atau jejaring sosial di internet. Studi itu difokuskan pada kekerasan terhadap perempuan, dan dilaksanakan oleh badan urusan hak asasi Uni Eropa, FRA, yang berbasis di Wina.
Untuk studi itu, FRA mewawancarai 42.000 perempuan dalam usia antara 18 hingga 74 tahun di 28 negara. Menurut FRA studi itu adalah yang paling komprehensif untuk masalah kekerasan pada perempuan, baik di Uni Eropa, maupun di dunia.
FRA juga melaporkan, satu dari 10 perempuan mengalami kekerasan seksual sejak usia 15 tahun. Satu dari 20 orang pernah diperkosa, dan satu dari lima perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari partnernya yang sekarang atau partner sebelumnya.
Dampak Emosional dan Psikis
Banyak perempuan yang mengalami ‘cyber stalking’ dan dibuntuti dalam dunia nyata oleh seorang pria mengatakan, itu biasanya berlangsung beberapa tahun. Sementara FRA mengungkap, dampak perburuan itu secara emosional dan psikis bagi korban bisa berlangsung sangat lama dan sangat dalam.
Lebih dari seperlima korban kekerasan seksual menderita serangan panik, lebih dari sepertiga menderita depresi, dan 43% mengatakan menghadapi kesulitan dalam hubungan dengan partner berikutnya.
Namun demikian, Direktur FRA Morten Kjaerum mengatakan, hanya 14% perempuan melaporkan kekerasan yang dilakukan partner mereka ke polisi, dan hanya 13% melaporkan kekerasan yang dilakukan pria yang bukan partner mereka.
Jumlah ‘cyber stalking’ tertinggi di Uni Eropa ditemukan di Swedia, di mana seperempat dari jumlah perempuan muda menjadi korbannya.
Situasi tidak begitu parah di Spanyol, Portugal dan Slovenia, di mana jumlahnya di bawah 5%. Selain itu, menurut studi FRA, 52% perempuan di Denmark pernah mengalami kekerasan dan/atau pelecehan seksual. Itu adalah jumlah terbanyak di Eropa. Sedangkan jumlah paling sedikit ditemukan di Polandia, yaitu 19%.
Badan Eropa itu kini semakin menyerukan jejaring sosial untuk membantu korban perempuan secara lebih aktif. “Saya heran, karena mereka sangat lambat dalam hal ini, yang menyangkut perempuan. Di bidang-bidang lain, seperti rasisme dan anti semitisme, mereka jauh lebih aktif dalam memeranginya,” demikian dikatakan Morten Kjaerum. Ia menambahkan, kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi, dan Uni Eropa tidak boleh mengabaikannya.
Sumber : dw.de