Penulis : Wisnu Adihartono Reksodirdjo*
Analoginya seperti ini. Bayangkan saja apabila semua gay, lesbian, dan transjender yang tinggal di seluruh Indonesia bermigrasi ke luar negeri, katakanlah ke Eropa atau Amerika. Tentu saja itu tidak akan terjadi tetapi siapa tahu. Dan bayangkan selanjutnya mereka dibisukan suaranya. Bukannya semestinya, negara dan masyarakat seharusnya sudah saling bekerjasama untuk membentuk sebuah system yang merangkul semua warga negaranya tanpa memandang lapisan masyarakatnya?
Ironisnya malahan masyarakat Indonesia masa kini justru mengalami kemunduran. Kemunduran dalam melihat masyarakat dan kemunduran dalam menilai warga negaranya, terlebih-lebih bagaimana cara masyarakat menilai wacana homoseksualitas, dalam hal ini peristiwa-peristiwa yang dikenakan langsung terhadap kelompok minoritas seksual (gay, lesbian, transgender).
Saya sempat menorehkan status akademis di jejaring Facebook, pada hari Senin, 11 maret 2013 karena jengah dengan gagalnya wacana homoseksualitas di Indonesia, setidaknya bagi saya, begini isinya : « Power dalam seksualitas [dan jender] bukan lagi hanya berhubungan dengan yang mendominasi dan yang didominasi, tetapi lebih dari itu, bahwa power dalam seksualitas [dan jender] memproduksi dan mereproduksi semua diskursus sehingga pada akhirnya hubungan yang mendominasi dan yang didominasi tidak berhenti pada titik tersebut tetapi yang didominasi bisa menjadi yang mendominasi […] Seperti pernyataan Pierre Bourdieu bahwa ada struktur yang terstruktur […]
Bagaimana wacana homoseksualitas dapat gagal di Indonesia padahal di masa lalu, homoseksualitas hampir tidak pernah dipermasalahkan, atau paling tidak dalam kondisi yang adem ayem dan belum separah di masa kini.
Representasi Sosial dan Kontribusinya
Indonesia masa kini tidak mengizinkan lapisan miskin, gay, lesbian dan transjender untuk bicara. Hidup pun seperti dikejar-kejar setan. Apa yang akan disuarakan, seperti dicekik lehernya oleh negara. Bagi saya pribadi, walaupun tafsir agama masih melarang eksistensi gay, lesbian dan transjender, seharusnya tidak ikut-ikutan menafsirkan keberadaan mereka dalam kapasitas yang ditafsirkan dalam kitab-kitab suci. Ketika kita berbicara tentang ketertimbalbalikan antara negara dan masyarakat, maka sangat menarik apabila wacana representasi sosial karena ia berhubungan dengan proses mengkonstruksi sebuah kenyataan social. Moscovici sang pencetus konsep ini melihat bahwa sebuah representasi selalu berhubungan dengan kognitif sehingga ia langsung berhubungan dengan “perasaan-perasaan umum”. Sehingga representasi sosial adalah sebuah konsep yang mengarahkan sebuah kenyataan dan dirangkum dalam sebuah legitimasi perasaan secara umum.
Melalui representasi sosial terdapat kode-kode pertukaran sosial didalamnya, yang kemudian meletakkan individu pada kerangka “saya”, “kami”, “kita”, dan “kalian” atau yang liyan. Munculnya pembedaan tersebut membuat setiap individu pada akhirnya jatuh pada yang “normal” atau “sah” dan yang “tidak normal” atau “tidak sah”. Yang “sah” adalah mereka yang memegang prinsip heteroseksualitas dan yang “tidak sah” adalah mereka yang memegang prinsip homoseksualitas.
Dengan demikian, Negara dan identitas bangsa dibangun secara sosial dalam dan dengan kerangka norma-norma sosial dimana kelompok minoritas seksual di Indonesia sepertinya tidak patut untuk tinggal di Indonesia karena cemoohon yang terus menerus mereka alami, secara verbal maupun fisik.
Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis pernah mengatakan bahwa mereka yang mendominasi memiliki caranya tersendiri untuk melakukan pemaksaan kepada yang didominasi. Dominasi ini, menurut Bourdieu, tidak hanya melegalkan dominasi laki-laki kepada perempuan secara biologis tetapi juga melegalkan dominasi “prinsip maskulin” terhadap “prinsip feminin”, termasuk juga dominasi “prinsip maskulin” terhadap homoseksualitas yang dianggap memegang teguh “prinsip feminin”.
Wacana homoseksualitas di Indonesia telah gagal dimunculkan dari sudut pandang manapun, oleh karena itu sudah sepantasnya kegagalan tersebut dihentikan dan dirubah dengan memberikan image-image positif. Ini adalah keharusan dan vital untuk tidak melulu dicap negatif sebagai kelompok yang hanya memikirkan aktifitas seks. Kelompok minoritas seksual harus memproduksi dirinya sendiri.
Saya pribadi setuju karena hal tersebut sangat berguna untuk terus mencegah tindakan kekerasan yang dialami oleh kelompok minoritas seksual dengan membangun jaringan yang bersistem dengan semua pihak karena menurut seorang sosiolog Prancis, Didier Eribon yang Akan didominasi tidak ubahnya juga memiliki cara untuk memaksa dan merubah persepsi yang mendominasi dengan membuat kode-kode baru yang positif.
Maka haruskah kita teruskan menggagalkan penilaian wacana homoseksualitas yang sudah cukup berabad ada di dalam tulang sumsum masyarakat Indonesia yang dihasilkan oleh sebuah proses representasi secara sosial?
*Penulis adalah kandidat doktor bidang sosiologi pada Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales(EHESS), Marseille, Perancis. Saat ini sedang menulis disertasi tentang migrasi gay Indonesia ke luar negeri. Wisnu dapat dihubungi di wisnuadi.reksodirdjo@outlook.fr