Suarakita.org- Komnas Perempuan menyatakan ada 342 peraturan daerah diskriminatif atas nama agama dan moralitas di Indonesia, meningkat dari dua tahun sebelumnya.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani menyatakan kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas yang dikeluarkan pemerintah daerah terus bertambah.
Komnas Perempuan mencatat saat ini terdapat 342 kebijakan diskriminatif, meningkat dari 282 pada 2012 dan 207 pada 2011.
Sebanyak 265 dari 342 kebijakan diskriminatif yang ada, kata Andi, secara langsung menyasar kepada perempuan atas nama agama dan moralitas.
Dari 265 kebijakan tersebut, 76 kebijakan mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas, yang menurut Andi membatasi hak kemerdekaan berekspresi dan hak kemerdekaan beragama.
Selain itu, ada 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas — 19 diantaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum.
Ada pula 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan dalam bergerak, pilihan pekerjaan dan perlindungan serta kepastian hukum, ujar Andi di kantornya, Jumat (23/8).
Komnas Perempuan mengungkapkan daerah yang banyak mengeluarkan kebijakan diskriminatif adalah Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi selatan, Aceh, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Jawa Timur.
“Saat ini banyak pemerintah daerah yang belum memiliki perspektif HAM dan gender,” jar Andi.
Kebijakan diskriminatif terus bertambah meski pada 2012, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Hukum dan HAM telah mengeluarkan parameter hak asasi manusia dan gender yang menjadi pedoman pemerintah daerah dalam membuat suatu kebijakan
“Menurut penilaian kami, di tingkat nasional, lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab ragu-ragu untuk menyikapi (perda diskriminatif), tidak ada ketegasan,” ujarnya.
Komnas Perempuan juga menyesalkan usulan tentang tes keperawanan yang berulangkali diangkat oleh aparat pemerintahan dan anggota lembaga legislatif daerah. Baru-baru ini, Dinas Pendidikan Kota Prabumulih di Sumatera Selatan berencana memasukkan tes keperawanan dalam penerimaan siswa sekolah menengah atas dan sederajat di daerah itu pada 2014.
Sebelumnya, wacana ini juga pernah digulirkan oleh pemerintah daerah Jambi, Jawa Timur dan Indramayu.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa tes keperawanan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan bertentangan dengan konstitusi. Tindakan tersebut merendahkan derajat martabat manusia dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
Tes keperawanan juga berimplikasi memutus masa depan anak perempuan karena tidak dapat melanjutkan pendidikan dan hidup dalam stigma negatif di dalam masyarakat, ujar Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan Kunthi Tridewiyanti.
“Perempuan itu bukan obyek tetapi perempuan adalah subyek yang harus dihormati, dia manusia yang punya martabat. Oleh karena itu pemerintah perlu memastikan penyelenggara pendidikan, institusi profesi dan juga lembaga masyarakat tidak melakukan tindak kekerasan seksual, karena (tes keperawanan) itu merupakan kekerasan seksual,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim menyatakan pihaknya akan menjatuhkan sanksi kepada sekolah yang menerapkan tes keperawanan kepada siswa yang mau masuk sekolah.
“Itu akan membuat anak-anak semakin terpuruk. Justru karena itu, saya ingin menghimbau semua pemerintah daerah yang menangani bidang pendidikan untuk tidak melakukan tes keperawanan untuk menerima siswa baru,” ujarnya.
“Apalagi sekarang kalau untuk SMA kita berusaha untuk meningkatkan agar anak-anak lebih banyak sekolah, Data kita partisipasi anak masih rendah untuk sekolah menengah ini, masih 70-80 persen. Kita berusaha agar anak Indonesia minimum taman SMA , kalau ini sudah dibuat gap untuk anak wanita melakukan tes keperawanan masuk sekolah akan semakin lama upaya itu.”
Sumber : VOA