Search
Close this search box.

(Buku) nikah dan kritik publik

Suarakita.org- Kritik publik terhadap Kementerian Agama (Kemenag) terkait pungutan tidak resmi atas biaya nikah yang diterima para penghulu atau petugas nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) di tiap daerah baru saja mereda.

Namun, ingatan masyarakat Muslim pun masih kuat bahwa biaya nikah di luar kantor KUA harus diatur dan memiliki payung hukum sehingga penghulu dalam menjalankan tugasnya menikahkan dua insan berbeda jenis hidup berpasangan dalam rumah tangga harus memaknainya sebagai kewajiban.

Petugas nikah sebaiknya menerima imbalan tidak lagi dalam wilayah “abu-abu”. Penghulu harusnya terhindar dari perbuatan menerima gratifikasi.

Ujung dari kritik masyarakat atas biaya nikah yang dilakukan di luar KUA membuahkan hasil, yaitu adanya respon pemerintah akan mengalokasikan dana insentif bagi para penghulu di seluruh Tanah Air.

Sayangnya, berapa besar dana yang harus dialokasikan bagi penghulu dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) itu hingga kini belum diperoleh kejelasannya.

Artinya, para penghulu hingga kini masih terbuka menerima imbalan dari keluarga mampelai lantaran tidak memiliki dana operasional.

Biaya nikah resmi di KUA selama ini ditetapkan sebesar Rp30.000 per pasangan (PP Nomor 47 tahun 2004).

Jika menikahkan di kediaman mempelai, maka dana operasionalnya menjadi tanggungan pihak pengundang. Besarnya biaya nikah yang dikeluarkan pihak keluarga itu, sangat tergantung dari tingkat keterjangkauannya.

Publik pun mengeritik bahwa penyelenggaraan nikah sudah masuk wilayah bisnis.

Nikah, yang dalam prespektif agama sebagai menjalankan sunnah Rasullulah Nabi Muhammad SAW, bisa jadi ada yang memaknai sebagai lahan komoditas.

Pernikahan bertujuan membentuk keluarga sakinah, mawadah dan waromah (bahagia, penuh cinta dan kasih sayang), sejatinya harus jadi dambaan bagi setiap pasangan suami-isteri.

Menikah jangan sampai menjadi beban lantaran tidak sanggup membayar penghulu.

Kini persoalan seputar nikah itu mengemuka lagi. Bukan sebagai akibat penghulu menerima gratifikasi, tetapi sekali ini berkaitan dengan kelangkaan buku nikah.

Di beberapa daerah, pasangan pengantin yang hendak naik pelaminan mengeluh lantaran buku nikah tidak cukup tersedia di KUA.

Kepala Kementerian Agama Kabupaten Bekasi, Jaja Jaelani, misalnya, mengaku bahwa buku yang menjadi bukti pasangan pengantin ini masih dalam proses tender.

“Saya sudah menyurati Kanwil Kemenag Jawa Barat, namun penjelasanan yang diperoleh adalah tender pendistribusian buku nikah belum dilaksanakan” ujar Jaja.

Selama buku nikah tidak ada di KUA kecamatan, maka petugas tidak boleh membuat sendiri.

“Saya janji, kalau buku sudah ada, akan langsung di distribusikan ke KUA kecamatan,” katanya.

Atas realitas tersebut, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Tubagus Hasan Syadzily pun angkat bicara.

Ia pun menyesalkan kelangkaan buku nikah di beberapa daerah. Kementerian Agama (Kemenag) seharusnya dapat memperkirakan jumlah buku nikah yang dicetak harus melebihi jumlah rata-rata jumlah nikah di daerah-daerah.

Buku nikah penting untuk masyarakat karena menjadi bagian dari pelayanan pemerintah kepada warganya, dan menjadi bukti sah bagi pasangan untuk membuktikan legalitas perkawinan.

Dalam lingkup sosial, ada stigma bahwa tanpa buku nikah, kerap kali pasangan suami-istri dituduh pasangan illegal. Hal ini menjadi persoalan sensitif.

Pengurusan Kartu Keluarga (KK), kartu tanda penduduk (KTP), akte kelahiran, paspor juga mensyaratkan adanya buku nikah. Oleh karena itu, pelayanan pemerintah kepada masyarakat tidak boleh terhambat akibat ketidakmampuan memperkirakan jumlah buku nikah.

Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenag, M. Jasin, menyayangkan atas terjadinya kelangkaan buku nikah. Untuk itu perlu dicarikan solusi secepatnya.

“Memalukan layanan publik kita,” ujarnya.

Agar ke masa depan layanan publik yang buruk itu tidak terulang lagi, menurut dia, maka perlu dilakukan pemantauan secara online terhadap buku nikah di daerah perkotaaan-kabupaten.

Jadi, menurut dia, harus jelas status ketersediaan buku nikah di wilayah masing-masing.

Ia mengemukakan, persediaan buku nikah harus cukup di tingkat kantor wilayah (kanwil) atau provinsi, terutama di wilayah yang memiliki kecenderungan kenaikan jumlah nikahnya tinggi per tahun.

Selanjutnya, ia menilai, buku nikah diatur secara baik pendistribusiannya secara berkala ke kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Kelangkaan buku nikah, ternyata bukan saja disebabkan oleh tingginya volume pernikahan. Sejumlah provinsi mengalami kekurangan buku nikah karena jumlah peristiwa nikah yang tinggi, kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono

Penyebab lain, menurut Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, akibat terlambatnya pencairan persetujuan anggaran. Dampaknya, proses tender tentang buku nikah tersebut ikut terlambat.

Kejadian seperti itu layaknya efek domino, mata rantainya jadi panjang jika diurai. Apalagi, anggaran 2013 kementerian baru turun pada Juli. Enam bulan ke belakang, Kemenag praktis kesulitan untuk mengatur agenda kegiatannya karena ketiadaan dana.

Keterlambatan anggaran ini juga sebagai akibat adanya sikap kehati-hatian yang dilakukan oleh pemerintah.

“Tender percetakan terlambat dan kini juga tender untuk distribusi juga terlambat, akibatnya ada daerah yang kekurangan buku nikah,” ujar Suryadharma Ali, di Jakarta, Kamis (31/10).

Buku nikah sudah ada. Kesulitan ada pada pendistribusian. Untuk itu, Kemenag mengambil langkah darurat agar daerah-daerah yang kekurangan segera teratasi dan mengambil ke pusat.

Untuk Jawa Timur dan Jawa Barat pada Kamis (31/10) kelangkaan sudah mulai dituntaskan. Barang yang langka itu akan segera di kirim dari pusat, kata Suryadharma.

Direktur Jenderal Pembina Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam di Kemenag, Abdul Djamil, menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya kekurangan buku nikah di beberapa provinsi, sehingga beberapa pasangan pengantin yang telah dicatatkan pernikahannya belum memperoleh buku nikah.

“Kepada pasangan pengantin tersebut, saat ini untuk sementara telah diberikan surat keterangan pengganti buku nikah yang berlaku selama tiga bulan,” katanya.

Kemenag menargetkan seluruh pasangan pengantin yang belum memperoleh buku nikah dapat mengambil buku nikahnya pada kantor urusan agama atau KUA tempat pencatatan perkawinan pada Desember 2013 tanpa dipungut biaya.

Ia membenarkan bahwa kekurangan persediaan buku nikah itu terjadi mulai Oktober 2013 terutama di provinsi-provinsi yang peristiwa nikahnya tinggi, yaitu diatas 80.000 sampai 490.000 pernikahan per tahun.

Provinsi-provinsi yang mengalami keIakurangan buku nikah dengan jumlah peristiwa nikah yang tinggi antara lain Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

“Selain delapan provinsi tersebut, contohnya Provinsi Kepulauan Riau, stok atau ketersediaan buku nikah dalam kondisi terkendali dan jumlahnya mencukupi,” ujarnya.

Pada saat ini, ia mengemukakan, sedang berlangsung proses lelang pengiriman buku nikah yang dilaksanakan oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) Ditjen Bimas Islam. Setelah dilakukan penandatanganan kontrak lelang pengiriman buku nikah, maka buku nikah segera dikirim ke seluruh provinsi.

“Ditargetkan buku nikah sudah kembali tersedia di KUA-KUA mulai Desember 2013,” terang Abdul Djamil.

Selanjutnya, ia mengemukakan, untuk membantu pasangan pengantin yang mendesak membutuhkan buku nikah, maka Ditjen Bimas Islam telah mendahulukan pengiriman buku nikahnya sampai dengan November 2013.

Provinsi tersebut, antara lain Jawa Barat sebanyakl 46.994 buku, DKI Jakarta (19.398), Banten (29.598), Lampung (18.000) dan Jawa Timur 125.000.

Berikutnya, Sulawesi Selatan (20.000), Riau (30.000), NTB (20.000), Kalimantan Selatan (10.000), Sumatera Utara (2.000), Jawa Tengah (2.000), Sulawesi Barat (3.000), Sulawesi Tenggara (3.000), Papua (2.000), Maluku (3.000), Bali (2.000), Sulawesi Utara (3.000) dan Maluku Utara (3.000).

Sumber : antaranews.com