Search
Close this search box.

Yang Ranjang, Yang Politis

(Anisisis Kasus Penangkapan Empat Gay di Jombang-Jatim)

Oleh: Hartoyo*

Suarakita.org – Empat pasang gay di Jombang-Jatim diintai dan kemudian digerebek oleh warga dan kemudian diserahkan ke Polisi.  Dapat dibaca beritanya disini   

Kejadian itu walau tidak persis sama dengan apa saya alami pada Januari 2007 di Banda Aceh, Saya juga diintai, digerebek, ditelajangi dan disiksa oleh Polisi. Semua hanya satu alasannya, karena Aaya dan juga empat laki-laki di Jombang itu adalah seorang gay,  penyuka sejenis yang sedang melakukan ekspresi seksual sejenisnya.  Itu haram dan layak untuk dipermalukan, menurut para pelaku.

Sebagai seorang gay dan juga aktivis isu ini, Saya tentu akan bertanya, “ Apa urusan pihak lain sampai melakukan kontrol atas kelamin dan nafsu kami sebagai seorang gay?”, “Sejak kapan para pelaku punya mandat urus kelamin kami?”.

Setiap orang, lembaga agama dan negara seperti punya wewenang melakukan kontrol sistematis atas tubuh kami sebagai gay. Tentu tidak usah dibahas lagi bagaimana stigma dan kekerasan yang dialami oleh keempat pasangan gay tersebut, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun kepolisian. Bahkan keempat korban sangat rawan penyiksaan dan pemerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.  Bahkan setelah kasus ini selesai, stigma akan terus berlangsung di lingkungan sosial. Mengerikan hidup di negara yang katanya beragama tetapi jauh dari nilai-nilai agama.

Apakah mereka (keempat gay) itu melakukan pelanggaran hukum? Secara formal Indonesia tidak mempunyai hukum (KUHP) maupun kebijakan lainnya yang mengkriminalkan homoseksual.  Dalam Undang-Undang Pornografi, seorang atau lebih homoseksual hanya akan dihukum ketika menyebarkan dan membuat konten yang masuk kategori pornografi.  Aturan itu bukan hanya berlaku untuk homoseksual saja tetapi juga berlaku untuk heteroseksual.  Tetapi poinnya jika dipublikasikan ke publik, jika dalam ruang private menjadi bukan kriminal.

Dalam kasus empat pasangan gay di Jombang itu, berdasarkan keterangan media, mereka justru diintai oleh warga, digerebek dan yang penting jika memang benar mereka melakukan praktek seksual, semua dilakukan dirumah kontrakan yang mereka miliki. Ruang private bukan ruang publik.

Justru dalam KUHP orang yang mengintai dan menggerebek kamar dan memaksa orang lain dapat dikenakan sanksi hukum.  Saya yakin polisi Jombang tidak akan berani bertindak pada warga, mungkin juga polisi justru “mengiyakan” apa yang dilakukan oleh warga sebagai sesuatu yang benar. Bahkan mungkin sekali Polisi akan menjadi pelaku selanjutnya pada keempat korban. Inilah fakta kualitas polisi Indonesia.

Jika dilihat dari perpektif publik mainstrem, minimal dari membaca komentar-komentar pembaca berita itu, sangat sedikit bahkan mungkin tidak ada pihak yang empaty dan berpihak pada keempat pasangan gay sebagai korban. Berbagai hujatan dan cap tak bermoral dilekatkan kepada keempat pasangan gay itu. Dan yang biasa dilontarkan adalah, homoseksual selalu kasus dengan urusan “selangkangan”.

Apalagi mereka (keempat gay tersebut) umumnya sudah berumur diatas 30 tahun dan dipastikan sebagian sudah menikah dengan perempuan dan punya anak.  Belum lagi status pekerjaan sebagai pegawai negeri dilekatkan dengan moral sex mereka. Itulah situasinya sekarang.

Mungkin kita ketika melihat praktek seks bersama-sama seperti yang dilakukan oleh keempat gay itu jika terjadi pada pasangan heteroseksual tetap akan menilai sesuatu yang “amoral”, tetapi akan menjadi sebagai “kenakalan” laki-laki.  Padahal faktanya praktek seksual seperti itu bisa terjadi oleh siapapun, bahkan kasus penangkapan mantan Presiden PKS bersama Fathana juga melibatkan perempuan yang banyak pihak yakin ada praktek transaksi seksual dalam kasus korupsi.

Padahal jika ingin jujur, praktek seksual yang dianggap sebagai “sex party” yang terjadi di kelompok homoseksual  maupun heteroseksual banyak terjadi dimanapun, mau dikelas ekonomi bawah maupun atas.  Bahkan ketika masyarakat tanpa kelas-pun ala Karl Marx praktek-praktek sex bersama-sama juga tetap akan ada.

Tetapi masyarakat dan negara ingkar akan keberadaan orientasi seksual lain selain heteroseksual. Manusia seperti “didesign” sedemikian rupa untuk menjadi seorang heteroseksual. Padahal dalam sejarah peradaban manusia, dimanapun selama ada kehidupan manusia maka disana ada homoseksual, biseksual maupun heteroseksual.  Bahkan dalam sejarah nusantara, homoseksual juga menjadi seksualitas yang tumbuh di sejarah perabadaban nusantara, tanpa penghakiman dan kekerasan seperti yang dialami sekarang ini.

Sayang pada konteks sekarang khususnya Indonesia, kelompok heteroseksual sangat mendapatkan ruang yang sangat “istimewa”. Homoseksual sebagai orientasi bukan hanya tidak diakui tetapi juga disingkirkan sebagai sesuatu yang “menyimpang” .

Jika mengambil analisis bapak Sosiolog asal Perancis, Emile Durkheim bahwa homoseksual sebagai sesuatu yang “anomi” yang dapat menganggu sistem struktur sosial masyarakakat. Sehingga karena dianggap anomi maka layak untuk disingkirkan untuk membangun integrasi sosial yang kuat, bermoral dan religius.  Sehingga menjadi tidak heran masyarakat dan negara seperti layak melakukan teror,mengintai dan menggerebek apa yang dialami oleh saya di Aceh maupun keempat pasangan gay di Jombang tersebut.

Tetapi bagaimana dengan kelompok heteroseksual? Walau sebenarnya kelompok ini juga mengalami kontrol sistematis oleh lembaga agama, adat dan negara tetapi ada sedikit ruang dan pilihan. Misalnya jika tidak ingin dianggap “zina” maka ada ruang sosial lain yang disebut lembaga pernikahan.

Seksualitas kelompok heteroseksual dirayakan dan disucikan praktek-praktek seksual mereka, walau tentunya dalam koridor hubungan sex yang dikontrol oleh agama dan negara seperti masuk dalam lembaga. Walau sebagian kelompok feminis menolak institusi perkawinan itu, tetapi masih ada ruang ekspresi seksual bagi  heteroseksual, tetapi sama sekali tidak bagi kami kelompok homoseksual.

Kelompok homoseksual sudah dimatikan sejak kecil ekspresi seksualnya, jika terlihat maka layak untuk diintimasi dan diserang sebagai individu maupun kelompok.  Itulah yang terjadi dalam hidup saya dan teman-teman homoseksual di Indonesia, hidup dalam terus dikontrol bahkan diperkosa secara sistematis.

Akibatnya kelompok homoseksual di Indonesia memilih untuk “sembunyi” sebagai pencinta sejenis. Dampaknya apa? Umumnya (mungkin lebih 90 persen) homoseksual di Indonesia melakukan praktek pernikahan secara heteroseksual dan mempunyai anak layaknya umumnya pasangan heteroseksual.  Tetapi disisi lain hubungan seksual sejenisnya tetap berlangsung, seperti  yang terjadi pada pasangan gay di Jombang tersebut.

Setiap dari kita seperti ingkar bahwa seorang homoseksual ada disekeliling kita, hidup bersama kita. Mungkin saja kakek-nenek, ayah-ibu,adik-kakak ataupun sahabat-sahabat kita.  Diri kita tidak pernah menanyakan pada diri kita sendiri atau empati pada situasi ini. Akibatnya bukan hanya homoseksualnya sendiri yang “tersiksa”  menjadi korban tetapi juga para pasangannya, anak-anaknya atau keluarga yang tentu juga menjadi korban atas situasi yang heterosentris (kebenaran hanya heteroseksual).

Untuk itu, terakhir saya mengusulkan mulailah membuka pikiran dan hati kita bahwa ada orientasi seksual selain heteroseksual. Orientasi seksual homoseksual,biseksual itu “inherent” atau melekat dalam diri seseorang seperti juga heteroseksual. Bahkan penyatuannya jauh lebih melekat dari sebuah keyakinan agama.  Karena mungkin saja orientasi seksual (baca homoseksual) sebuah hal yang genetis, sedangkan keyakinan agama jelas bukan sebuah genetis.  Misalnya, seorang gay yang lahir di Indonesia dan menjadi muslim tetapi ketika lahir di Israel kemungkinan besar akan penganut non muslim, tetapi ke-gay-annya akan tetap melekat pada individu tanpa terbatas ruang dan waktu. Inilah yang Saya maksud kelekatannya jauh lebih melekat daripada sebuah keyakinan apapun.

Sehingga hanya dengan memberikan pengakuan dan penempatkan yang

bagi homoseksual, biseksual dan heteroseksual untuk mengakhiri diskriminasi dan ketidakadilan yang selama ini terjadi.  Karena hanya dengan itulah esensi kemanusiaan, keberagamaan dan kebangsaan kita diuji.  Persoalan kasus empat gay Jombang dan kasus saya di Aceh jelas bukan sebatas persoalan “ranjang” semata, tetapi ini ada persoalan struktur yang sangat tidak adil pada mereka yang berbeda.  Struktur negara yang ditopang oleh institusi agama, itulah yang seharusnya dibongkar untuk menjadikan bangsa yang tidak sibuk berperan sebagai polisi kelamin.

*Direktur Perkumpulan Suara Kita