Search
Close this search box.

Poliamori, Seks dan Cinta Platonik

Ditulis oleh : Kharisma Prima

Secara etimologis, poliamori (Inggris: polyamory) berasal dari bahasa Yunani πολύ (poly) yang berarti banyak dan bahasa Latin amor yang berarti cinta. Secara harfiah, poliamori dapat diartikan sebagai posisi atau praktek yang memiliki lebih dari satu hubungan romantis terbuka pada suatu waktu. Kata ini digunakan dalam arti luas untuk merujuk pada hubungan romantis yang tidak hanya eksklusif secara seksual, meskipun ada ketidaksepakatan tentang seberapa luas itu berlaku.

Penekanan pada etika, kejujuran, dan transparansi sangat penting untuk mendefinisikan karakteristiknya secara luas[1]. Poliamori bervariasi, tergantung pada pilihan dan filosofi individu yang terlibat. Kebanyakan orang menyamakan poliamori dengan istilah “kumpul kebo”, perspektif tersebut mungkin berlaku jika dan hanya jika cinta didefinisikan sebagai hasrat seksual, tidak dilihat dari sisi spirit dan emosionalnya.

Menurut pemasalah, definisi cinta menurut sudut pandang filosofis berbeda dengan definisi cinta menurut sudut pandang sains, di mana menurut sains, cinta dan hasrat seksual merupakan hasil aktivitas sumber yang sama, yakni hormon Oxytocin[14] di dalam otak. Secara filosofis, seharusnya cinta dan seks adalah dua hal yang sama sekali berbeda, sesorang bisa mencintai tanpa seks, demikian pula sebaliknya, seseorang bisa melakukan seks tanpa cinta.

Terminologi yang mungkin lebih spesifik dari poliamori adalah poligami, praktek atau kondisi memiliki lebih dari satu pasangan nikah. Mayoritas budaya poligami secara tradisional adalah pelaku poligini di mana satu suami memiliki banyak istri, sedangkan sisanya adalah poliandri di mana satu istri memiliki beberapa suami. Namun pernikahan bukan persyaratan dalam hubungan poliamori[2]. Poligami lebih sering digunakan untuk merujuk kepada bentuk perkawinan ganda (terutama yang memiliki basis tradisional/agama), sementara poliamori modern atau Poliamori egaliter menyiratkan hubungan yang didefinisikan melalui negosiasi antara anggotanya, bukan oleh budaya norma-norma. Poliamori egaliter secara kultural berakar pada konsep-konsep seperti pilihan dan individualitas, bukan pada tradisi keagamaan[3].

Poliamori tidak sama dengan bentuk-bentuk tradisional monogami dan non-monogami, misalnya selingkuh atau pasangan simpanan, poliamori adalah sebuah ideologi keterbukaan, goodwill, komunikasi yang jujur, dan perilaku etis yang harus berlaku di antara semua pihak yang terlibat[4][5].

Orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai poliamoris biasanya menolak pandangan bahwa eksklusivitas seksual diperlukan untuk hubungan cinta yang mendalam, menolak keharusan berkomitmen tunggal (karena mungkin pada dasarnya cinta tidak mengikat, tapi membebaskan[6]), dan/atau menolak keharusan hubungan jangka panjang yang penuh kasih.

Seks tidak selalu menjadi fokus utama dalam poliamori, poliamori umumnya terdiri dari orang-orang yang “berusaha” membangun hubungan jangka panjang dengan lebih dari satu orang atas dasar persetujuan bersama, dengan seks hanya sebagai satu aspek di dalam hubungan mereka, ataupun tanpa aspek seks sama sekali.

Poliamori mungkin memerlukan pendekatan yang lebih cair dan fleksibel untuk mencintai dan berhubungan, namun beroperasi pada sistem yang kompleks mengenai batasan atau aturan. Selain itu, peserta dalam hubungan poliamori biasanya tidak memiliki dan/atau tidak mengharapkan pasangan mereka untuk memiliki, berbeda dengan pernikahan (monogami ataupun non-monogami) di mana saling memiliki sehidup-semati menjadi prioritas utama.

Nilai-nilai di dalam poliamori:
1. Kesetiaan dan loyalitas: Poliamoris banyak mendefinisikan kesetiaan bukan sebagai eksklusivitas seksual, tetapi kesetiaan kepada janji-janji dan kesepakatan yang dibuat tentang hubungan. Hubungan rahasia yang melanggar perjanjian mereka, pada posisi subyek yang melanggar akan dilihat sebagai pelanggaran kesetiaan dan pada posisi obyek yang dilanggar akan disikapi sebagai bentuk loyalitas dan pendewasaan. Poliamoris umumnya mendasarkan definisi dari komitmen pada pertimbangan selain eksklusivitas seksual, misalnya “kepercayaan dan kejujuran” atau “tumbuh tua bersama-sama”[7].

2. Komunikasi dan negosiasi: Karena tidak ada “model standar” untuk poliamori, dan ketergantungan pada harapan umum mungkin tidak realistis, poliamoris secara eksplisit sering menganjurkan bernegosiasi dengan semua yang terlibat untuk menetapkan hal hubungan mereka, dan sering menekankan bahwa harus ada proses komunikasi yang jujur dan hormat. Poliamoris biasanya akan mengambil pendekatan pragmatis untuk hubungan mereka, banyak menerima bahwa kadang-kadang mereka dan pasangan mereka akan membuat kesalahan dan gagal untuk hidup sesuai dengan cita-cita, maka komunikasi penting untuk memperbaiki setiap pelanggaran.

3. Kepercayaan, kejujuran, martabat, dan kehormatan: Poliamoris kebanyakan menekankan rasa hormat, kepercayaan, dan kejujuran untuk semua mitra. Idealnya, mitra-mitra yang diterima sebagai bagian dari kehidupan orang yang bersangkutan bukan hanya ditoleransi, dan biasanya hubungan yang membutuhkan penipuan atau pengekangan dipandang tidak sesuai dengan model yang ideal.

4. Batas-batas dan kesepakatan: Banyak relasi (poly-relationship) sering melibatkan negosiasi perjanjian, dan membangun batas-batas tertentu, atau “peraturan dasar”. Perjanjian tersebut sangat bervariasi dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dapat mencakup antara lain: konsultasi tentang relasi baru; pengagendaan jadwal yang solutif untuk semua mitra; penganggaran jumlah uang pasangan yang dipergunakan pada mitra tambahan; dan lain-lain.

5. Kesetaraan gender: Poliamoris banyak yang tidak percaya pada perbedaan “aturan” atau “pemegang kuasa” suatu hubungan berdasarkan jenis kelamin, inilah titik kontras dengan beberapa bentuk tradisi agama yang sering berbasis patriarkal.

6. Non-posesif: Poliamoris menolak pembatasan yang berlebihan pada suatu hubungan, karena pembatasan tersebut dapat digunakan untuk menggantikan kepercayaan dengan kerangka kepemilikan dan kontrol. Poliamoris biasanya termotivasi oleh “kebahagiaan adalah ketika membahagiakan orang lain”. Kecemburuan dan posesif dipandang bukan sebagai sesuatu keniscayaan di dalam suatu hubungan, tetapi sebagai respon yang harus dieksplorasi, dipahami, dan diselesaikan di dalam setiap individu dengan penuh kedewasaan, dengan compersion[8] sebagai tujuan.

Beberapa contoh kisah historis yang (mungkin) bisa terkategori ke dalam poliamori dan (mungkin) bisa terkategori romantis:
1. Kisah cinta Søren Kierkegaard (1813–1855) yang merelakan wanita yang dicintainya, Regine Olsen, menikah dengan Johan Frederik Schlegel. Awalnya pada 8 September 1840, Kierkegaard resmi meminang Regine. Namun, Kierkegaard tiba-tiba merasa kecewa dan kritis terhadap pernikahan. Kurang dari setahun setelah pinangannya, ia memutuskannya pada 11 Agustus 1841. Dalam jurnal-jurnalnya, Kierkegaard menyebutkan keyakinannya bahwa sifat kemelankolisannya membuatnya tidak cocok untuk menikah; tetapi motif sebenarnya memutuskan pertunangannya itu tetap tidak jelas. Pandangan umum meyakini bahwa keduanya memang sangat saling mencintai, bahkan setelah Regine dinikahi oleh Johan Frederik Schlegel (1817–1896), seorang pegawai negeri terkemuka. Pada umumnya hubungan mereka terbatas pada pertemuan-pertemuan kebetulan di jalan-jalan di Kopenhagen, Denmark. Namun, beberapa tahun kemudian, Kierkegaard bahkan sampai meminta izin suami Regine untuk berbicara dengan Regine, namun Schlegel menolak. Tak lama kemudian, pasangan itu berangkat meninggalkan Denmark, karena Schlegel telah diangkat menjadi Gubernur di Hindia Barat Denmark. Pada saat Regine kembali ke Denmark dan mencari Kierkegaard, Kierkegaard telah meninggal dunia. Regine Schlegel hidup hingga 1904, dan pada saat kematiannya, ia dikuburkan dekat Kierkegaard di Pemakaman Assistens di Kopenhagen, Denmark[9];

2. Kisah cinta dan persahabatan antara Friedrich Nietzsche (1844–1900), Lou Andreas-Salomé (1861–1937), dan Paul Rée (1849–1901)[10];

3. Dan yang paling terkenal dan paling dianggap mendekati poliamori ideal, kisah cinta dan persahabatan antara Jean-Paul Sartre (1905–1980) dengan Simone de Beauvoir (1908–1986)[11]. Meskipun masing-masing dari keduanya telah memiliki seorang isteri dan seorang suami, dan keduanya terbuka pada masing-masing pasangan suami/istrinya, namun diskusi-diskusi filsafat antara Sartre dan Beauvoir dinilai lebih romantis daripada pernikahan mereka masing-masing. Pada saat kematian mereka, Beauvoir dimakamkan di sebelah makam Sartre di Cimitiere du Montparnasse di Paris, Perancis.

Menurut pemasalah, poliamori bukanlah sesuatu yang mutlak dibutuhkan untuk mendapatkan cinta dan kebahagiaan, hal yang sama juga berlaku pada monoamori. Kerena cinta bukanlah barang jadi dan bukan komoditas perdagangan, tapi sesuatu yang didapat dari proses. Cinta bukanlah obyek, tapi subyek[12]. Dan kebahagiaan bukanlah tujuan, tapi perjalanan. Entah itu bermotif hasrat seksual, bermotif cinta Platonik[13], ataupun kombinasi dari keduanya, apakah setiap dari diri kita pernah mengalami poliamori?

Catatan kaki:
[1]Polyamory
[2] news.google.com
[3] http://www.acluutah.org/pluralmarriage.htm
[4] polyinthemedia.blogspot.com
[5] www.polyamoryleadershipnetwork.org
[6] www.brainyquote.com
[7] aphroweb.net
[8] http://en.wikipedia.org/wiki/Compersion : Compersion adalah keadaan kebahagiaan empati dan sukacita yang dialami ketika individu atau mantan pasangan romantis mengalami kebahagiaan dan sukacita melalui sumber luar, termasuk, namun tidak terbatas pada, ketertarikan romantis yang lain. Hal ini dapat dialami sebagai bentuk empati erotis atau emosional, tergantung pada seseorang yang mengalami emosi tersebut.
[9] Alastair, Hanay, 2001. Kierkegaard A Biography. New York: Cambridge University Press
[10] www.f-nietzsche.de
[11] seattletimes.nwsource.com
[12] meskipun pendapat lain mengatakan bahwa cinta merupakan kata kerja yang seharusnya berfungsi sebagai predikat.
[13] Cinta_platonik : Cinta platonik adalah sebuah istilah yang dipakai untuk menyebut sebuah relasi yang sangat afektif, tetapi tidak terdapat unsur-unsur rasa ketertarikan secara seksual. Istilah ini diambil dari salah satu filsuf Yunani kuno, Plato, terutama dari karyanya Symposium, di mana tertulis bahwa cinta akan ide daripada kebaikan adalah dasar dari semua kebajikan dan kebenaran. Istilah “amor platonicus”, sudah dipakai seawal abad ke-15 oleh Marsilio Ficino, sebagai sinonim daripada “amor socraticus”, yang merujuk kepada afeksi antara Sokrates dan murid-muridnya.
[14] Oxytocin

Sumber : docs.google.com

*Tulisan ini dibuat sebagai Pengantar Diskusi Klab Filsafat Tobucil, 21 Mei 2012

**Tulisan ini dipublikasikan di situs Makanan untuk Pikiran pada tanggal 31 Mei 2012.