Search
Close this search box.

Segitiga Maut dan Pembantaian Homoseksual

(Sebuah catatan kecil dari Seminar ‘’La Déportation Homosexuel”, EUROPRIDE 2013, Marseille, Perancis)

Oleh : Wisnu Adihartono Reksodirdjo*

Paragraf 175 Code Pénal Negara Jerman tahun 1871 mengatakan :

« Les actes sexuels contre-nature qui sont perpétrés, que ce soit entre des personnes de sexe masculin ou entre des hommes et des animaux, sont passibles de prison ; il peut aussi être prononcé la perte des droits civiques ».

Terjemahan :

« Tindakan-tindakan seksual yang melawan alam, baik yang dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki dan manusia dengan hewan, dapat dijatuhi hukuman penjara ; dan dapat juga kehilangan hak-hak sipilnya ».

Ourvoice.or.id- Tulisan ini saya baca dengan seksama ketika saya berkesempatan menghadiri sebuah seminar tentang ‘’Deportasi Homoseksual” yang diselenggarakan di Gedung Arsip Nasional Marseille, Perancis, dalam rangka acara Europride 2013. Kali ini Europride secara besar-besaran diselenggarakan di tempat dimana saya sedang studi karena tahun 2013, kota Marseille dinobatkan sebagai Kota Budaya Eropa 2013 dan sekaligus menjadi Kota LGBT Eropa 2013.

Seminar ini diselenggarakan oleh sebuah organisasi ‘’Le Mémorial de la Déportation Homosexuelle” yang didirikan pada tahun 1989 dengan tujuan mengkhususkan dirinya pada pendokumentasian kelompok minoritas seksual yang terkena ‘’razia” di Eropa, khususnya pada saat pendudukan Nazi.

Seminar diawali dengan pembacaan paragraf 175 yang sangat mengerikan tersebut oleh Régis Schlagdenhauffen, pengarang buku ‘’La commémoration des victimes homosexuelles du Nazisme : Berlin, Paris, Amsterdam” (Mengenang korban-korban homoseksual pada masa Nazi : Berlin, Paris, Amsterdam).

images (1)Seperti telah diawali di atas bahwa Code Pénal ini dibuat pada tahun 1871, yang baru diaktifkan secara paksa pada tahun 1935, sampai tahun 1994 untuk menghukum para homoseksual di Jerman. Pada saat itu, mereka dianggap sebagai orang jahat yang melakukan kejahatan. Entah mengapa, menurut Régis, istilah ‘’melawan alam” hilang begitu saja dan para homoseksual sudah dianggap menjadi orang yang sangat jahat. Kasus-kasus ‘’kejahatan” mereka diperluas lagi ke ranah hukum dengan menggunakan ancaman dan kekerasan. Tidak adanya keteraturan sistem membuahkan kekacauan dalam pengertian hukum itu sendiri. Hukum yang ada saat itu tidak menghukum dan mengutuk praktek seksual tertentu tetapi lebih mengkhususkan dirinya kepada homoseksualitas.

Orang-orang yang dianggap sebagai homoseksual ditangkap dan kemudian dikirim ke beberapa kamp konsentrasi dengan ‘’praduga tak bersalah”. Régis menambahkan bahwa pada tahun 1935 itulah, Undang-Undang Jerman dirubah sedemikian rupa untuk melakukan pengebirian secara paksa terhadap kelompok homoseksual.

Sebuah Pengakuan Pierre Seel

‘’Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dari mei hingga november 1941, saya tinggal selama enam bulan di tempat yang penuh dengan kebiadaban dan kengerian hukum. …

Suatu hari, suara panggilan dari speaker berbunyi. Kami dipaksa untuk berkumpul di tempat seperti alun-alun, dan diawasi oleh seorang SS. Disana telah hadir komandan kamp dengan semua staff-nya. Saya membayangkan bahwa kami akan disiksa dengan penghinaan, ancaman, dan lain sebagainya, yang sangat khas dengan teriakan Adolf Hitler. Siksaan ini bagaikan sebuah ujian masuk untuk lulus pada hukuman mati yang sebenarnya.

Saya melihat Jo, “teman” saya, yang dibawa dengan diapit oleh dua orang SS. Jo tidak terlihat di kamp sebelumnya. Saya ketakutan. Saya terus berdoa akan ada beberapa orang yang telah melarikan diri. Namun ada beberapa yang dibawa, dan tentunya mereka akan mati. Apa yang terjadi kemudian? Dengan penuh rasa kesakitan, saya telah benar-benar lupa bagaimana rasanya dibunuh.

Panggilan dari speaker terdengar kembali dengan sangat keras. Perwira-perwira SS menelanjangi mereka. Perwira-perwira SS itu menggali tanah untuk mengubur mereka hidup-hidup. Anjing yang galak akan menyalak apabila mereka berontak. Tanah itu pertama-tama tertanam di bagian paha, perut, dan kemudian seluruh badan. Tangisan mereka sangat kuat dan keras. Mereka kaku dan gemetar. Saya meneteskan air mata, dan saya berdoa dengan khusyuk.

Sejak saat itu, saya terkadang masih sering bangun malam dan berteriak sendiri. Selama lebih dari 50 tahun, adegan-adegan tersebut masih ada di dalam pikiran saya. Saya tidak akan pernah melupakan pembunuhan kejam itu.

Mengapa sekarang yang lain diam seribu basa? Tidak ingin mengungkapkan cerita yang sebenarnya yang sangat memilukan dan mengerikan.

Saya, setelah puluhan tahun diam, saat ini saya putuskan untuk berbicara dan bersaksi”.

Siapakah Pierre Seel?

Pierre Seel dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1923 di Haguenau, Alsace, Perancis. Seel dibesarkan dalam keluarga Katolik kelas menegah Mulhouse. Pada saat remaja, ia menyembunyikan kehomoseksualitasannya. Tidak disangka-sangka, pada tahun 1941, daerah Alsace yang memang berbatasan dengan Jerman, diduduki kekuasaan Nazi. Gestapo menemukan nama Pierre Seel sebagai homoseksual dan menahannya pada tanggal 2 Mei, ketia Seel berumur 17 tahun. Selama dua minggu, Seel diintegorasi secara intensif, dibarengi dengan siksaan-siksaan.

Seel kemudian dideportasi ke Kamp konsentrasi Struhof sekitar tiga puluh kilometer dari kota Strasbourgh pada tanggal 13 Mei 1941. Selama di Kamp konsentrasi, Seel cukup beruntung hanya ditandai dengan simbol biru karena ia berasal dari keluarga Katolik, dan bukan tanda segitiga merah jambu sebagai simbol homoseksual. Disana, Seel banyak menemukan banyak kengerian dan penghinaan yang tidak ada habisnya. Dia tidak dapat membantu teman-temannya yang homoseksual karena mereka ditempatkan masih dibawah orang-orang penganut Katolik.

Suatu pagi, ketika semua tahanan berkumpul di halaman kamp, Seel melihat Jo yang telah ia anggap sebagai “teman dekat”nya. Seel melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Jo dibunuh secara brutal. Saat itu, perwira-perwira SS menyuruh anjing-anjing mereka untuk membunuh Jo. Trauma inilah yang menghantui Seel seumur hidupnya.

Akhirnya Seel selamat. Pada bulan November 1941, ia dibebaskan dari Kamp konsentrasi Struthof.

Tetapi penderitaan yang Seel alami benar-benar membuat ia takut untuk mengakui bahwa ia seorang homoseksual karena ketika rezim Vichy berkuasa di Perancis, sejak tahun 1942 homoseksualitas sangat dilarang di Perancis. Oleh karena itu, ia terpaksa menikah pada tahun 1950 dan memiliki empat orang anak selama pernikahannya sepanjang 28 tahun.

Akhirnya pada tahun 1994, Seel menerbitkan biografinya dengan bantuan Jean Le Bitoux tentang kehomoseksualitasannya dan pengalaman-pengalaman mengerikannya selama ini. Sampai saat ini, hanya Seel satu-satunya homoseksual Perancis yang berani bersaksi tentang deportasinya.

Saya tidak akan banyak memberikan reaksi akademis pada catatan seminar ini. Semuanya saya serahkan kepada pembaca untuk membaca baik-baik catatan ini dengan menggunakan hati nurani yang benar. Pertanyaan dasar berikutnya yang tidak bosan-bosannya saya berikan adalah, apakah semua manusia yang diciptakan oleh sang Khalik itu berbeda? Itu saja pertanyaan saya. Sederhana tetapi (mungkin saja) sulit untuk menjawabnya. Selamat berpikir.

*Mahasiswa doktoral Sosiologi pada Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Marseille, Perancis. Sedang menulis disertasi tentang gay Indonesia di Perancis.

Klik : Dokumenter Paragraf 175

Klik : Pengakuan Korban Kejaman Nazi