Search
Close this search box.
Peserta diskusi Children of Srikandi (GATAnews/Venny Tania)
Peserta diskusi Children of Srikandi (GATAnews/Venny Tania)

Ourvoice.or.id- Dewi Srikandi dalam pewayangan Mahabarata versi Jawa dikisahkan sebagai sosok perempuan yang sejak kecil dilatih ilmu perang dan terjun ke medan pertempuran, lalu menikah dengan Arjuna. Ia menjadi figur yang berpengaruh menentukan kematian dari Bhisma, sebelum tewas ditangan Aswatama dalam perang Baratayuda.

Sebenarnya, citra perempuan perkasa ini sedikit bergeser dari kisah aslinya di versi Mahabarata, dimana Srikandi sebenarnya menukar jenis kelamin menjadi laki-laki, kemudian menikah dengan perempuan sebagai laki-laki. Not a woman, not a man, but both a man and a woman, demikian jati diri Srikandri yang diyakini menjadi gambaran dan contoh untuk kaum queer dan lesbian.

Film Children of Srikandi (2012) yang berdurasi 73 menit adalah film dokumenter yang mengisahkan 8 orang perempuan yang memiliki orientasi seksual sesama jenis, juga. transgender. Ada Imel dalam segmen Hello World!, yang sejak kecil ingin menjadi lelaki. Lalu Eggie dalam Jlamprong, seorang lesbian yang hidup di bangku jalanan Yogyakarta, akrab dengan kekerasaan yang dilakukan oknum kepolisian dan ormas relijius lokal. Oji yang memutuskan pindah ketika rumahnya terasa tak menerimanya lagi (segmen Acceptance), Edith yang melepas jilbab setelah ia menyadari orientasi seksualnya dan tidak menemukan jawaban dalam agama (Edith’s Jilbab), Winnie yang lari dari rumah sejak usia 12 tahun dan menjadi penari tradisional (segmen A Verse), Hera yang biseksual dan ditolak oleh kaum gay di dunia maya (segmen In Between), dan cerita tentang anggota komunitas LGBT lainnya. Uniknya, masing-masing cerita disutradarai oleh si pemeran utamanya sendiri setelah mereka mendapatkan pelatihan pembuatan film selama 2 tahun.

Children of Srikandi telah banyak diputar di 40 festival internasional, termasuk Berlin International Film Festival. Selain itu juga memenangkan International Jury Award pada Festival Film queer di Wina, Austria, dan Diversity&Human Rights Award pada Festival Film Zinegoak di Bilbao, Spanyol, pada bulan Februari 2013. Banyak fakta yang mengejutkan terkuat lewat film ini. Misalnya saja pengalaman kekerasan yang dilakukan oknum polisi dan ormas (yang mengaku) relijius dari Eggie. Lalu beragamnya pengalaman seksualitas yang selama ini hanya dicap seragam saja untuk para lesbians.

Menurut film ini, sebenarnya seksualitas adalah hal yang bersifat cair atau fluid, sehingga ada istilah dan ragam pengalaman seperti lipstick lesbian, boy girl whatever, 99% lesbian, femme butch, atau pun no label. Menurut edith, salah satu sutradara segmen Edith’s Jilbab, film ini bertujuan untuk menggali keberagaman konteks pengalaman kaum lesbian. “Selama ini ada stigma kalau lesbian itu hanya terkait dengan hal-hal seksual. Sebenarnya ada kaitan dengan keluarga, masyarakat, keimanan, dan kekerasan. Aku merasa banyak belajar, meski satu kelompok identifikasi seksual namun banyak konteks pengalaman yang aku nggak paham dari pengalaman orang lain,” kata Edith dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Rabu (26/6).

Tantangan yang dihadapi Srikandi pada jaman pewayangan dengan para Srikandi masa kini di masyarakat, diungkapkan sutradara dan produser eksekutif Stea Lim, adalah masih relevan dan memiliki benang merah. “Srikandi menjadi bagian yang menyatukan. Mahabharata sering diceritakan, namun kisah Srikandi tidak banyak disorot. Film ini ingin memberikan pemahaman yang berbeda,” ungkap Stea.

Film yang didanai oleh Ford Foundation ini menjadi media untuk para perempuan yang ‘tidak mainstream’ menceritakan pergulatan dan kisahnya kepada audiens yang lebih luas secara dinamis. Menurut Komisioner pada Komnas Perempuan dan konsultan Yayasan Balqis untuk hak-hak perempuan Kiai Husein Muhammad, film ini perlu mendapatkan apresiasi karena mengungkapkan realitas yang tidak bisa ditolak, dengan keberanian. “Ini sesuatu yang baik, progresif, dan perlu. Orang harus mengetahui agar tidak salah paham menilai, lalu melakukan kekerasan. Realitas ini bukan rekayasa, dan merupakan keindahan ciptaan Tuhan yang harus dihargai, meski saat ini masih banyak yang tidak dapat memahaminya,” demikian Kiai Husein Muhammad. (*/Ven)

Sumber : gatra.com