Search
Close this search box.

Siaran Pers Our Voice: Peringatan IDAHO 17 Mei 2013

IDAHO 2013 (Foto: Our Voice)
IDAHO 2013 (Foto: Our Voice)

“Wujudkan Keadilan Bagi LGBTIQ Untuk Indonesia Yang Beradab”

Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya (UUD 45 Pasal 28 E ayat 2)

Ourvoice.or.id – Tidak ada manusia yang sepertinya bebas menentukan untuk dilahirkan sesuai apa yang kita mau. Bebas untuk menentukan jenis kelamin, ras,suku, agama, jenis kelamin bahkan sampai orientasi seksual.  Semua seperti telah ditentukan oleh lingkungan sosial terdekat maupun sesuatu yang dianggap “given” (kodrat).  Kita harus menurut dan tunduk!

Ketika seseorang “keluar” dari sistem itu walau sudah diatur dan dibolehkan dalam konstitusi (UUD 45), maka konsekuensinya akan dianggap tidak normal, sesat, menyimpang hingga dianggap mengidap penyakit. Karena itu layak untuk disembuhkan dan diarahkan agar bertaubat dari perbuatan yang dianggap berdosa dan meyalahi aturan. Tindakan stigma itu akhirnya melahirkan tindakan diskriminasi pada pemenuhan hak-hak sebagai warga negara.

Hari ini, 19 tahun yang lalu, 17 Mei 1990 lembaga kesehatan dunia (WHO) telah mencabut atau mengeluarkan homoseksual dan transgender sebagai gangguan kejiwaan. Kemudian Departemen Kesehatan RI “mengadopsi” dalam manual  Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993).   Pedoman ini menjadi acuan bagi bidang kesehatan dan lembaga pendidikan apa yang disebut penyakit dan mana yang bukan.

Pedoman itu juga menjadi acuan ilmu kesehatan dunia yang dituangkan dalam Diagnosa Syndrome Manual (DSM) IV.
Moment 17 Mei itulah yang kemudian pada pertemuan international di Montreal-Kanada,26-29 September 2006, kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transeksual, Interseksual dan Queer (LGBTIQ) sepakat menjadikan sebagai hari melawan kebencian kepada orientasi seksual dan identitas yang berbeda atau dikenal dengan International Day Againts Homophobia (IDAHO).

Walau faktanya diseluruh dunia kelompok LGBTIQ mengalami stigma, kekerasan dan diskriminasi dengan bentuk yang berbeda-beda. Tetapi di Indonesia sendiri stigma bagi homoseksual selalu dilekatkan dengan budaya “Barat” bukan Indonesia. Misalnya ketika hakim konstitusi, Prof. Arief Hidayat, “HAM itu harus diletakkan dalam konteks ke-Indonesian tidak universal tapi HAM di Indonesia bersifat partikular. Tidak bisa laki dan perempuan kawin sesama jenis,” kata Arief dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR”

Padahal jika kita mau belajar sejarah nusantara, justru identitas dan keberagaman seksual  jauh lebih beragam terjadi di Timur dibandingkan di Barat. Bahkan untuk beberapa budaya keberagaman itu sebagai sebuah bagian spritualitas. Misalnya pada Budaya Bissu di Sulawesi Selatan dan Warok-Gemblak di Jawa.  Seorang transgender/waria dari Aceh sampai Papua hidup di satu desa berdampingan dengan masyarakat umum tanpa saling menyerang. Pandangan ini sangat berbeda dengan kebudayaan yang dianggap dari Barat.

Pasca reformasi 98, saat Indonesia masuk dalam babak baru hidup sebagai masyarakat yang demokratis. Justru kelompok LGBTIQ maupun kelompok yang kecil lainnya menjadi kelompok terpinggirkan. Lahirlah kebijakan-kebijakan nasional maupun lokal yang menempatkan kelompok LGBTIQ sebagai sesuatu yang dipaksa untuk asing dengan nusantara.
Kebijakan yang sangat dipengaruhi oleh pemahaman “Barat” yang sangat Victorian-Freudian, bahwa selain laki-laki, perempuan dan heteroseksual dianggap sesuatu yang buruk. Akibatnya lahir lebih 200 peraturan daerah menempatkan kelompok marginal sebagai sesuatu yang hina dan harus “diluruskan”.

Anggota Dewan Perkawinan Rakyat (DPR) RI juga ikut-ikutan menjadi kelompok penganut Victorian-Freudian yang mengingkari kebudayaan sendiri.  Isu LGBTIQ selalu menjadi indikator moral bagi calon pejabat di Indonesia. Apakah anda menolak hubungan sejenis atau mendukung. Yang menolak menjaga Pancasila, sedang yang mendukung dilabelin sebagai Barat.

Begitu juga Presiden sebagai penyelanggara negara tidak benar-benar menjalankan amanat UUD 45 untuk melindungi setiap warga negaranya.  Padahal jika kita mau jujur, perekonomian disektor industri seni maupun pariwisata umumnya ditopang oleh tangan-tangan terampil kelompok LGBTIQ. Kami pikir tidak ada satu perusahaan manapun yang tidak menggunakan jasa dan keterampilan kelompok LGBTIQ. Jadi tidak perlu ditanya berapa besar sumbangsih kelompok LGBTIQ pada pajak dan pembangun bangsa ini.

Tapi, mengapa identitas kami dipersoalkan dan digugat? Mengapa kami sebagai LGBTIQ kehilangan hak untuk hidup bebas, aman dan nyaman seperti yang diterima oleh kelompok heteroseksual. Hidup bersama dengan orang-orang yang kami cintai. Bukankah kami warga negara?

Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak pada pasal 13 point f melarang pasangan homoseksual untuk mengadopsi anak. Kemudian pada  UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi di pasal 4 ayat 1 menyebutkan hubungan sejenis sebagai persenggamaan menyimpang. Persenggamaan menyimpang dijelaskan diantaranya adalah lesbian dan homoseksual.

Dua kebijakan itu jelas bukti bahwa pemerintah membangun kebencian dan “kejijikan” pada warga negaranya sendiri tetapi pada sisi lain menikmati hasil karya kelompok yang dianggap rendah atau “menjijikan” tersebut.  Padahal UUD 45 pasal 28I ayat 2 menjelaskan bahwa ” Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Untuk itu, dalam IDAHO 2013 Our Voice sebagai lembaga yang berjuang untuk penegakan hak-hak kelompok LGBTIQ di Indonesia, mengusulkan beberapa hal, yaitu:

1. Mengkaji kembali kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan semangat keberagaman nusantara salah satunya keberagaman seksualitas dan identitas gender.

2. Membatalkan semua kebijakan yang mempunyai semangat baik langsung maupun tidak langsung terhadap peminggiran/pemarginalan kelompok tertentu.

3. Membangun sistem pendidikan toleransi atas keberagaman bagi masyarakat khususnya tokoh agama maupun lembaga pendidikan formal.

4. Menindak tegas para pelaku kekerasan dan diskriminasi pada siapapun termasuk atas dasar orientasi seksual dan identitas gender seseorang.

5. Membuat kebijakan “khusus” seperti kebijakan penghapusan kekerasan atas dasar orientasi seksual dan identitas gender, hal ini sesuai dengan semangat UUD 45 pasal 28H ayat 2 bahwa “Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Salam Keberagaman

Hartoyo
Sekum Our Voice
Email  : ourvoice.lgbtiq@gmail.com
Mobile : 085813437597
www.ourvoice.or.id