Ourvoice.or.id – Padusi, sebutan untuk anak perempuan di kebudayaan Minang, Sumatera Barat. Nama Padusi itulah judul yang diberikan dalam drama tari karya Tom Ibnur yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, 11-12 Mei 2013.
Drama tari Padusi sendiri bercerita tentang 3 perempuan yang berjuang terhadap hak-haknya sebagai perempuan. Mulai dari pencarian identitas diri seorang putri “kayangan”, persoalan poligami sampai soal perkawinan paksa. Persoalan-persoalan kekerasan yang dialami oleh perempuan dari ketiga tokoh muncul dari cerita yang naskahnya ditulis oleh Nia Dinata.
Cerita dari drama tari ini sepertinya ingin menampilkan wajah kekerasan perempuan di Indonesia melalui kebudayaan Minang.
Budaya Minang yang Matrilineal, garis keturunan diambil dari perempuan tetapi tidak menjadikan perempuan mempunyai kuasa lebih ataupun setara dengan laki-laki. Putusan-putusan strategis tetap ada pada tangan laki-laki (baca Ninik Mamak).
Kita tahu bahwa banyak budaya di Indonesia maupun dunia, garis keturunan selalu diambil dari garis laki-laki (bapak) tetapi budaya Minang berbeda, diambil dari garis perempuan (ibu). Tetapi apakah karena budaya Matrelineal tersebut tidak melahirkan budaya Partriarki? Budaya yang menempatkan laki-laki lebih istimewa dari perempuan.
Ternyata dalam cerita Padusi, posisi perempuan dalam hal ini istri tetap saja masuk dalam lingkaran budaya kekerasan dan sub ordinat yang dilakukan oleh laki-laki, baik suami maupun masyarakat. Persis sama yang dialami dalam kebudayaan Patrilineal (garis keturunan dari ayah). Pelanggengan kebudayaan kekerasan terhadap perempuan justru terjadi juga dalam prakteknya dalam kebudayaan Matrilineal.
Drama tari Padusi sepertinya ingin menampikan wajah perempuan dalam situasi budaya Matrilineal yang nasibnya hampir sama saja dengan kebudayaan lainnya, sama-sama Partriarki.
Sehingga, bukan faktor jenis kelamin apa yang meneruskan garis keturunannya (ibu atau ayah), tetapi kalau bicara soal kesetaraan dan keadilan akan bicara siapa yang memiliki akses dan kontrol dalam pengambil keputusan. Laki-laki atau perempuan? Sepertinya hal itu yang perlu dicek dalam setiap kebudayaan, baik yang menganut Matrilineal maupun yang Patrilineal.
Ketiga tokoh perempuan dalam drama tari tersebut diperankan oleh artis Sha Ine Febriyanti. Tapi sayangnya Ine kurang berhasil memerankan ketiga tokoh tersebut, terutama ketidakmampuannya menggunakan dialek Minang dalam dialognya maupun tidak menyatunya song tokoh dengan penari. Menurut saya, Ine sendiri tidak mempunyai kemampuan dalam gerak tari dan vokal yang baik sesuai konteks dalam drama tari Padusi tersebut.
Dalam soal peran, menurut saya umumnya aktor dan aktris kurang baik memerankan cerita walau ada artis Niniek.L Karim, hanya Jajang.C.Noer dan pemain muda Rizki Akbar Wicaksono berhasil memukau penonton dengan adegan dan warna dialognya yang sangat baik pada pementasan itu.
Tapi kekuatan dari drama tari Padusi dalam konsep tari, musik-lagu, kostum dan grafis yang banyak memberikan suasana menghibur. Indah dan kuat khas kebudayaan Minang, minimal itu yang saya rasakan ketika menonton.
Babak demi babak dalam cerita sangat apik diatur oleh sang sutradara Rama Soeprapto. Setiap babak dari ketiga cerita tersebut diwarnai dengan tarian-tarian Minang yang sangat “apik” yang dibawahkan oleh 20 penari dari tanah Minang dan Jakarta.
Terlepas dari kekurangan soal peran tetapi kita layak memberikan apresiasi kepada team kerja drama tari Padusi ini, mereka telah berhasil meyampaikan salah satu kekayaan budaya Indonesia dengan tetap meyuguhkan kesadaran kritis untuk kesetaraan dan keadilan bagi perempuan khususnya.
Tentu masih banyak kebudayaan Indonesia yang indah untuk ditampilkan dengan tetap menampilkan sisi kritis terhadap keadilan. Penyadaran melalui kebudayaan seperti drama tari menjadi sangat efektif tanpa orang lain merasa digurui atau dipaksa untuk berubah. Dan yang paling penting drama tari Padusi sebagai salah satu cara melestarikan kebudayaan Indonesia dengan tetap memberikan pendidikan kritis pada masyarakat.
Kita tentu berharap kedepannya acara-acara seperti ini sudah semestinya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah maupun swasta untuk masa depan Indonesia yang lebih adil bagi setiap orang. (Hartoyo)