Search
Close this search box.

Kegagalan Melindungi Hak Kelompok Minoritas Seksual Melanggar Pancasila*

oleh

Tanti Noor Said**

Ourvoice.or.id-

Bulan lalu, anggota komunitas waria di Jakarta Barat dituduh telah membawa sial bagi lingkungan tempat dimana mereka tinggal. Komunitas waria di Kampung Duri mengadakan ceramah Islam mingguan setiap hari Jumat malam. Akan tetapi pada suatu malam di bulan April, warga di wilayah tersebut memrotes kehadiran dan acara pengajian mereka. Dengan  menggunakan slogan-slogan Islam dan mengatakan bahwa perilaku transjender yang “berdosa” telah menyebabkan bencana kebakaran di lingkungan tempat tinggal mereka. Komunitas waria diminta untuk pergi dari kampung tersebut.

Di dalam masyarakat di Asia Tenggara, ada kelompok minoritas pria yang identitas gender dan seksualnya dianggap menyimpang dari harapan normatif. Penampilan dan praktek seksual mereka tidak sesuai dengan heteronormatif – himpunan norma yang membakukan heteroseksualitas dan membatasi bentuk ekspresi gender dan seksualitas lainnya dan  menyebutnya sebagai penyimpangan. Menurut ahli gender dan seksualitas seperti Robert Corber, Stephen Valocchi dan Gayle Rubin, perangkat norma ini bekerja untuk mempertahankan dominasi heteroseksualitas dengan mencegah bentuk praktek seksualitas lainnya.

Di Indonesia, lelaki-lelaki ini memliki berbagai sebutan, yakni waria dan banci. Istilah gay juga kerap dipergunakan, yang sebenarnya menyederhanakan kerancuan antara identitas jender dan orientasi seksual individu.

Sebelumnya, mereka banyak dipanggil dengan sebutan wadam—akronim dari Hawa-Adam atau Wanita Adam. Namun, Kementerian Agama tidak setuju dengan penggunaan nama nabi yang dianggap suci ini untuk menyebut lelaki yang tidak mengikuti norma heteroseksual. Kementerian pun memberikan nama resmi baru, yaitu Waria. Waria berasal dari kata Wanita dan Pria. Istilah ini sering digunakan saat ini di Indonesia.

Sementara waria merupakan bagian yang nyata dari masyarakat Indonesia, namun mereka juga terpinggirkan dan sering dipandang  konyol atau berdosa menurut beberapa persepsi agama, dan dalam konteks negara kebangsaan Indonesia.

Keberadaan  transjender dapat dilihat dalam berbagai budaya dan kelompok etnis di kepulauan Indonesia. Keberadaan mereka memiliki sejarah, makna dan fungsi mereka sendiri, baik dalam konteks sosial, maupun spiritual. Dalam budaya Bugis, bissu dikenal sebagai dukun yang melakukan ritual doá maupun penyembuhan, yang mengenakan pakaian wanita sebagai syarat ritualnya. Di kota Ponorogo Jawa Timur, kita dapat menemukan reog, pertunjukan tari yang dilakukan oleh warok dan gemblak. Warok biasanya seorang yang tinggi perawakannya. Sedangkan gemblak adalah seorang lelaki muda yang menjadi asistennya.

Oleh sebab itu, keberadaan identitas transjender bukanlah fenomena baru di Indonesia. Di dalam tradisi, praktek transjerisme tidak selalu dianggap sebagai dosa. Namun ketika Islam dan Kristen berkembang luas di Indonesia, tradisi transjenderisme mulai dianggap menyimpang dan terbelakang. Agama-agama besar yang merupakan produk dari kolonisasi ini, tidak memberikan ruang bagi kaum transjender dan praktek transjenderisme. Perilaku transjender lalu dibenturkan dengan aturan-aturan agama yang mendosakan mereka.

Sejalan dengan agama, heteronormativitas telah didorong untuk menjadi bagian dari budaya nasional. Heteronormativitas, misalnya, diberlakukan sejak masa rezim Orde Baru Soeharto. Tradisi transgenjerisme ditekan secara dramatis karena tidak sesuai dengan versi modernitas yang dianggap mewakili identitas Indonesia sejati. Namun, ideologi modern dan kekuasaan pemerintahan, tentu saja tidak menjangkau setiap masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, praktek ini masih ada di beberapa masyarakat pedesaan dan pedalaman. Sementara itu, di Jakarta, dan kota-kota besar lain, pekerjaan waria paling umum adalah sebagai pemilik dan pekerja salon kecantikan, sebagai penyanyi jalanan (pengamen), penghibur atau pekerja seks. Peluang karir  dalam pekerjaan formal tetap terbatas, bahkan di kota besar sekalipun.

Ancaman  yang dihadapi transjender berasal dari keberadaan mereka yang terkucil dan dipinggirkan (marginal) dalam masyarakat. Laki-laki acap kali menggoda pengamen waria dari mobil mereka. Di saat rejim Suharto jatuh, sistem pemerintahan melemah dan protes dari kelompok masyarakat tertentu yang tidak menyukai waria pun semakin keras. Organisasi keagamaan garis keras telah mengecam keberadaan komunitas waria, dengan dalih untuk melindungi generasi muda dari penyimpangan moral.

Ancaman terjadi dua kali pada tahun 2010: selama sesi pelatihan HAM bagi waria, yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Depok. Kemudian, juga terjadi pada saat Konferensi Asosiasi Internasional Lesbian, Gay, Biseksual, Trans dan Interseks (ILGA) yang diselenggarakan di Surabaya.

Polisi tidak menjamin untuk melindungi keselamatan peserta selama konferensi ini berlangsung. Penggolongan transgender dan praktek sosial, serta seksualnya sebagai dosa telah memberikan ruang bagi publik untuk merendahkan dan mengejek kaum waria. Dengan mengategorikan waria sebagai abnormal, kelompok pengecam waria ini membenarkan aksi kekerasan mereka terhadap kaum waria.

Menurut sosiolog asal Perancis Emile Durkheim, persamaan mengikat masyarakat, sementara perbedaan dapat menyebabkan ketakutan dan mengarahkan masyarakat pada perpecahan. Dalam pengertian ini, dengan mempraktekkan femininitas dan melanggar norma seksual, waria telah menantang kekakuan dan struktur sosial di Indonesia.

Keberadaan mereka, faktanya, menantang norma-norma dan nilai-nilai agama, kesusilaan bangsa dan hegemoni heteroseksual. Selain itu, asumsi bahwa waria selalu berpakaian seksi, berbicara kotor dan selalu terlibat dalam perilaku homoseksual lebih merupakan stigma daripada bagian dari karakter pribadi waria. Stigma yang tertanam dalam identitas mereka dianggap oleh orang lain sebagai ancaman bagi kesopanan dan agama.

Apa yang dilakukan oleh  warga Kampung Duri terhadap komunitas waria di daerah mereka adalah cara untuk menerapkan norma-norma agama mereka. Pada saat yang sama, tindakan kekerasan ini menunjukkan ketakutan masyarakat akan terancamnya kelanggengan hegemoni heteroseksual.

Tetapi terlepas dari ketakutan ini, sebagai warga negara Indonesia, waria memiliki hak yang sama seperti juga warga negara lainnya. Pilar kedua Pancasila, landasan filosofis resmi negara, berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Sebagai warga negara Indonesia, waria memiliki hak untuk diperlakukan secara adil dan beradab oleh sesama orang Indonesia dan aparatur negara.

Sebuah serangan untuk kelompok waria menunjukkan bahwa beberapa orang tidak memahami konsep kemanusiaan. Kemungkinan lain adalah penolakan sosial atas eksistensi waria yang tidak dapat dimasukkan dalam kategori jender yang bersifat biner, telah menempatkan waria di luar kategori manusia yang harus dimanusiakan bagi kelompok yang menentangnya. Dengan kata lain, pengetahuan sebagian warga tentang kemanusiaan dan hak asasi manusia masih sangat rendah.

Sebagai pilar masyarakat Indonesia, Pancasila ditantang untuk menjawab dan memecahkan kompleksitas ini.

Dalam kasus waria, negara memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan kepada warga negara Indonesia, bagaimana mereka dapat mematuhi agama mereka, tetapi pada saat yang sama menegakkan kemanusiaan dan hak asasi manusia, sehingga waria bisa hidup sesuai dengan identitas mereka, sementara di lain pihak  merasa dihormati dan aman.

*Tulisan dipublikasi di Jakarta Globe

** Kontributor Our Voice, Menyelesaikan studi masternya di Universitas Amsterdam.