Search
Close this search box.

Homoseksualitas Bukan Hanya Masalah Selangkangan

oleh

Gusti Bayu*

Ourvoice.or.id- Kuliah umum Islam dan Liberalisme di Jaringan Islam Liberal (JIL), Utan Kayu, Jakarta Timur, Jum’at 26 April 2013, menghadirkan Prof. Siti Musdah Mulia sebagai pembicara. Awalnya Musdah Mulia didaulat oleh panitia untuk membicarakan hak-hak perempuan dalam Islam dan sedikit pemaparan tentang minoritas seksual (lesbian, gay, biseksual dan transjender). Namun tidak disangka, Musdah Mulia membicarakan minoritas seksual secara khusus. Musdah Mulia memulai kuliahnya dengan mem-presentasikan buku Seksualitas Rasa Rainbow Cake, sebuah buku yang ditulis olehnya dan akan segera terbit.

 

Dengan bahasa yang populer, Musdah Muliah menjelaskan perbedaan seks dan jender. Bahwasannya seks bersifat kodrati, pemberian Tuhan sedangkan jender adalah konstruksi sosial. Seks berkaitan dengan alat kelamin, sedangkan jender berkaitan dengan cara berpakaian, cara berpenampilan, pembagian kerja antara lelaki dan perempuan.  Kemudian Musdah Mulia memaparkan konsep seksualitas. Menurutnya seksualitas adalah konsep yang sangat kompleks terkait seks dan seksual yang bisa dilihat dari berbagai dimensi. Dari konsep seksualitas, Musdah Mulia kemudian memaparkan perihal identitas seksual, perilaku seksual dan orientasi seksual.

Setelah Musdah Mulia selesai dengan pemaparannya, dibukalah sesi diskusi. entah mungkin karena isu homoseksualitas ini adalah isu baru, atau mungkin karena rasa ingin tahu yang besar, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan perserta relatif tidak esensial jika dikaitkan dengan permasalahan kelompok homoseksual di Indonesia.  “Apakah jika dua orang homoseksual bertemu pasti akan melakukan hubungan badan layaknya laki laki dan perempuan?” tanya seorang peserta. Jujur saja, sungguh risih mendengar pertanyaan ini, karena ini masalah privasi. Dan selalu pertanyaan ini yang pertama kali diajukan oleh peserta dalam acara diskusi bertemakan homoseksualitas. Seakan-akan bila dua orang homoseksual bertemu pasti melakukan hubungan intim.

Seakan-akan yang bisa dilakukan oleh kelompok homoseksual hanyalah seks. Seakan akan masalah homoseksual hanyalah masalah aktivitas selangkangan belaka.

Masalah homoseksual bukan  masalah selangkangan, tetapi masalah identitas. Identitas yang dinihilkan, yang dianggap tidak ada. Dampak dari penihilan identitas ini adalah diskriminasi sistemik. Membahas masalah waria yang kesulitan mendapatkan KTP, anak lelaki  yang di-bully karena kefeminimannya, pelabelan negatif atas kelompok gay, itu lebih esensial dibanding membahas apa yang dilakukan dua orang homoseksual di kamar tidur.

“Bagi Saya, hubungan seks yang sehat adalah heteroseksual” cetus salah satu peserta.  Perlu diketahui, hubungan seks yang sehat adalah hubungan seks yang tidak menimbulkan penyakit. Untuk mencegah infeksi menular seks maka dalam melakukan hubungan seks harus memakai kondom. Ini berlaku umum, baik untuk kelompok heteroseksual maupun homoseksual. Jika dibenturkan dengan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang dikeluarkan tahun 2012 lalu, pernyataan di atas sangat kontradiktif. Data KPA menyembutkan bahwa kelompok yang paling rentan terhadap HIV/AIDS adalah Ibu Rumah Tangga. Bukan homoseksual dan bukan pula pekerja seks. Ibu rumah tangga yang diam di rumah merawat anak anak, setia melayani suami dan senantiasa takut meminta suami menggunakan kondom dalam berhubungan seks, ternyata paling  rawan terinfeksi HIV dan penyakit menular seksual lainnya.

Ungtungnya, Musdah Mulia memiliki pandangan yang humanis terkait homoseksualitas,”Sebagai manusia dan warga negara mereka (kelompok homoseksual) enggak ada bedanya dengan Kita” ujarnya, menangkis pernyataan pernyataan bias dari peserta. Dia pun menekankan bahwa ujung dari Islam adalah memanusiakan manusia dan azab Tuhan selalu jatuh pada orang yang melampaui batas, terlepas dia homo atau tidak.

 

*Freelancer Our Voice