Ourvoice.or.id- Mungkin tidak banyak yang tahu, dulu pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, Aceh pernah dipimpin oleh seorang perempuan selama 4 periode. Seakan kontras dengan kondisi perempuan Aceh saat ini yang dijadikan objek hukum. perempuan Aceh zaman dulu sudah mulai menunjukkan eksistensinya di bidang yang mereka kehendaki. Dialah Puteri Safiah, Sulthanah (Ratu) pertama di Kerajaan Aceh Darusalam, yang sukses memimpin Aceh selama lebih dari 30 tahun (1641-1679 M).
Dari buku A. Hasymi, 59 Tahun Aceh Merdeka Di Bawah Pemerintahan Ratu, tercatat bahwa Sulthan Iskandar Muda, Sultan Kerajaan Aceh Darussalam, tidak memiliki putra makhota lagi setelah sang putra mahkota dihukum mati karena perbuatan zina. Untuk itu Sultan Iskandar Muda melantik menantunya, Putra Bungsu, sebagai putra mahkota dengan persetujuan Kadli Malikul Adil dan anggota anggota Balai Gading. Namun sayang, Putra Bungsu, yang mana merupakan suami Putri Safiah, hanya memimpin negeri itu selama lima tahun. Putra Bungsu yang ketika menjabat Sulthan bergelar Sulthan Alaihin Mughaiyat Syah Iskandar Sani itu wafat pada tahun 1641 dalam usia 30 tahun.
Sepeninggal Sultan Iskandar Sani, dengan perdebatan yang cukup alot, Puteri Safiah pun didaulat menjadi Sulthanah, pemimpin tertinggi Kerajaan Aceh Darussalam. Ketika menjabat menjadi Sulthanah, Puteri Safia diberi gelar Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat. Di masa pemerintahan Sulthanah Safiatuddin ini, Kerajaan Aceh menghadapi tantangan besar, yakni tantangan politik VOC yang semakin eksis dan tantangan kelompok agama sekte Wujudiah yang megharamkan perempuan menjadi pemimpin. Dan Sulthanah sangat tegas dalam menghadapi dua tantangan itu.
Di masa kepemimpinan Sulthanah Safiatuddin, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan seni berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari maju pesatnya Universitas Baiturahman (Jami Baiturahman) dan juga pusat pusat pendidikan (Dayah) seantero Aceh. Sulthanah pun mendorong cendikiawan di masa itu untuk menulis kitab (buku). Kitab Hidayatul Iman karya Syekh Nuruddin ar-Raniry adalah salah satu kitab yang ditulis atas permintaah Sulthanah Safiatuddin.
Sulthanah Safiatuddin pun paham demokrasi. Ketika tiga ratusan ulama tidak menyetujui politik kebijakan Sulthanah dalam pemerintahan, Sulthanah tidak menangkap ataupun membungkam mereka. Malahan Sulthanah membiarkan mereka menyebar ke pelosok Aceh untuk membangun pusat pusat pendidikan di sana. Menurut Hasymi, ini adalah indikasi bahwa Sulthanah paham demokrasi dan pemimpin yang mencintai ilmu pengetahuan.
Tidak lupa, di dalam masa pemerintahannya. Sulthanah Safiatuddin pun melakukan langkah langkah pro aktif untuk kesetaraan jender. Hal ini dibuktikan dengan usaha Sulthanah untuk memastikan bahwa hak dan kewajiban lelaki dan perempuan adalah sama serta benar benar dijalankan baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Usaha itu diantaranya adalah; membuka akses pendidikan untuk semua kalangan baik itu perempuan atau laki-laki, dalam hal ini Sulthanah Safiatuddin sangat menganjurkan perempuan bahkan terkadang mewajibkan perempuan untuk belajar. Kemudian perempuan diberikan kesempatan untuk berkarir di luar rumah, tidak hanya di lembaga pemerintahan namun juga dalam lembaga militer. Dalam dunia militer, di masa kepemimpinan Sulthanah Safiatuddin, dibentuklah Divisi Keumala Cahaya, divisi yang bertugas sebagai pasukan pengamanan sulthanah ini terdiri dari perempuan. Setelah itu ada Armada Inong Bale, armada laut dengan laksamana pertamanya adalah seorang perempuan bernama Laksamana Malahayati. Dalam bahasa Aceh inong bale berarti janda. Namun dalam prakteknya, armada ini tidak hanya beranggotakan janda melainkan juga perempuan bersuami dan juga gadis.
Sulthanah Safiatuddin juga menginisiasi suatu peraturan perihal penyediaan rumah bagi anak perempuan. Dalam masyarakat Aceh masa itu, perempuan yang dipinang tinggal di rumah suami. Akibatnya posisi perempuan menjadi lemah. Jika ada konflilk yang berujung perceraian, perempuan dengan mudahnya diusir. Kondisi semacam ini membuat perempuan rawan jatuh ke dunia prostitusi ataupun pengemis jalanan. Untuk itulah Sulthanah menginisiasikan peraturan yang mewajibkan orang tua yang memiliki anak perempuan untuk menyediakan rumah bila anak perempuan sudah dipinang. Ketentuan ini masih berlaku terutama di daerah Aceh Besar dan Aceh Pidie.
Setelah berkuasa lebih dari 30 tahun, Sulthanah Safiatuddin pun wafat. Kebijaksanaan beliau akan manusia yang setara dan kecintaan beliau akan ilmu pengetahuan adalah modal bagi manusia masa kini untuk lebih beradab dalam menjalani kehidupannya. (Teguh I.A.)
Buku A. Hasymi, 59 Tahun Aceh Merdeka Di Bawah Pemerintahan Ratu, dapat diunduh di sini