Search
Close this search box.

Untuk Soegeng Sarjadi: Manusia Memang Binatang

Ourvoice.or.id – Seorang pengusaha, intelektual dan peneliti pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate mengatakan “perkawinan sejenis justru  membuat manusia lebih rendah daripada binatang dan tidak sesuai dengan nilai luhur bangsa Indonesia,” ujar Soegeng dalam Seri Kuliah Umum Soegeng Sarjadi Syndicate di Jakarta yang dikutip Republika.

Sebelumnya belum genap satu bulan ketika Prof.Arief Hidayat – Hakim Konstitusi, Budiatman Satiawihardja-Staf Majelis Ulama Indonesia/Doktor lulusan Australia, Fahira Idris-selebritis twitter;  mengatakan bahwa homoseksual sebagai budaya barat, kerasukan syetan dan sebagai predator. Prasangka-prasangka yang sangat “mengerikan” bagi kelompok homoseksual.

Lagi-lagi nilai budaya Indonesia dijadikan alasan bahwa perkawinan sejenis tidak sesuai dengan budaya Indonesia, ini budaya barat. Padahal kalau kita merujuk pada sejarah kebudayaan Indonesia, saat barat mengkriminalkan homoseksual justru Nusantara “merayakan” dan menghormati keberagaman seksualitas. Hal ini dapat kita lacak dalam konsep kebudayaan seperti Warok-gemblak di Jawa Timur, Ludruk dan Ketoprak di Jawa, Induk-Jawi anak Jawi di Sumatera Barat, Bissu di Sulawesi Selatan dan ajaran Hindu yang mengakui jenis kelamin selain lak-laki dan perempuan.

Nusantara sebelum menjadi Indonesia bahkan sebelum agama-agama “import” masuk ke Indonesia, keberagaman seksualitas bukan hanya sebatas budaya tetapi juga sebuah bagian dari spiritual dari masyarakat. Sehingga jika bapak Soegeng Sarjadi menyatakan bahwa perkawinan sejenis tidak sesuai nilai-nilai luhur budaya barat itu sebuah pendapat yang kurang tepat, tidak sesuai dengan fakta sejarah kebudayaan Indonesia.

Justru konsep formalisasi perkawinan heteroseksual yang tertuang dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 justru ada beberapa masalah khususnya terhadap hak-hak perempuan dan anak. Minimal ada tiga masalah dalam kebijakan perkawinan di Indonesia, seperti persoalan pembolehan poligami, posisi istri yang harus menjadi ibu rumah tangga dan praktek pernikahan anak. Hal-hal itu dianggap sebagai kebudayaan Indonesia tetapi justru ada persoalan dalam penegakan HAM.  Menurut saya sesuatu yang dianggap “lokal” tidak selalu “arif” dalam penegakan hak asasi manusia, begitu juga budaya dimanapun (barat atau timur).

Jika bapak Soegeng Sarjadi menganggap bahwa perkawinan sejeni lebih rendah dari prilaku binatang, justru praktek poligami, kekerasan rumah tangga dan pernikahan anak-lah yang menurut saya lebih tepat digunakan analogi tersebut yang tertuang dalam UU Perkawinan. Karena di dunia binatang sendiri ada beberapa spesies yang mempraktekan hubungan monogami (satu pasangan). Bahkan hubungan pasangan sejenis juga ada sekitar 1500 spesies binatang, seperti bonobo (sejenis monyet), hiu dan beberapa spesies unggas.  Padahal dalam konsep biologis sendiri membandingkan manusia dengan binatang sebenarnya sedang membandingkan “binatang dengan binatang”.  Karena manusia itulah binatang.

Terakhir, menurut penulis kita boleh saja tidak setuju dengan konsep perkawinan sejenis atau homoseksual karena pertimbangan nilai pribadi  tetapi menggunakan alasan karena budaya barat, tidak sesuai nilai luhur budaya Indonesia, predator, kerasukan syetan, lebih rendah dari binatang menjadi hal yang kurang arif.  Memang tidak selalu dalam semua hal harus setuju tetapi berikanlah argumentasi yang  sesuai dengan fakta, sejarah dan “rasional” bukan dengan dasar prasangka dan kebencian belaka. Apalagi ini meyangkut kemanusiaan seseorang.  (Hartoyo)