Revolusi Cinta: Attachment Style dan Transformasi “Aku-Dia” menjadi “Kita” bagi LGBTQ+ di Era Digital

Oleh: Josua*

Pendahuluan
SuaraKita.org – Cinta merupakan kekuatan revolusioner yang mengikis batas sosial. Hal tersebut memungkinkan cinta menyatukan sekat etnis, agama, atau kelas. Di Era Digital, cinta pun berevolusi bagi komunitas LGBTQ+. Pride Month bukan sekadar perayaan, melainkan refleksi transformasi relasi intim. Attachment style—pola keterikatan emosional yang sering terjebak dalam dikotomi “Aku-Dia”—dirombak oleh ruang digital yang ambivalen.

Platform online memperparah kecemasan (anxiety) dan penghindaran (avoidant) melalui ghosting dan distorsi komunikasi, sekaligus menjadi inkubator “Kita” yang revolusioner. Ruang virtual menumbuhkan solidaritas, memvalidasi identitas kolektif, dan memfasilitasi koneksi lintas geografi—fondasi baru untuk secure attachment.

Di sini, relasi LGBTQ+ mentransendensi trauma individu menuju keintiman kolektif. “Kita” lahir dari redefinisi dukungan dan komitmen sebagai jaringan komunitas, bukan sekadar romansa pasangan.[1]

Tulisan ini akan melihat dan menimbang kembali relasi keutuhan hubungan, khususnya bagi individu LGBTQ+ melalui gaya kelekatan terhadap individu asing, individu asing yang menjadi bagian hidupnya, dan bahkan individu asing yang melekat pada hidupnya. Peristiwa yang sudah lama jauh dikenal umat manusia, sebuah keabsurdan yang hadir dalam momen paling tak tentu dari setiap individu. Semua orang menyebutnya, “CINTA.”

Gaya Kelekatan: Fondasi Relasi
Attachment style berkembang dari interaksi bayi-pengasuh, membentuk working models tentang diri dan dunia sosial[2]:

  1. Gaya Aman (Secure)
    Individu memandang diri berharga dan orang lain bersahabat. Mereka nyaman dengan keintiman dan kemandirian, dengan konsep diri positif dan pemrosesan informasi proporsional (self-relevance effect).[3]
  2. Gaya Menghindar (Avoidant)
    Ditandai model mental skeptis terhadap orang lain dan ketidaknyamanan dengan keintiman. Pemrosesan informasi fokus melindungi harga diri (self-serving bias).[4]
  3. Gaya Cemas (Anxious)
    Individu merasa tidak berharga dan bergantung pada validasi eksternal. Mereka hipersensitif terhadap ancaman penolakan, dengan konsep diri negatif.[5]

Ketiga gaya ini bukan kategori mutlak, tetapi spektrum yang memengaruhi cara individu memproses informasi sosial (self-schema dan person-schema).

Cinta di Ruang Digital: Paradoks dan Peluang
Ruang digital telah menjadi “rumah” eksistensi manusia modern (Homo digitalis)[6] [7]dan menghadirkan paradoks: intim tanpa keintiman, terhubung tetapi terfragmentasi. Aplikasi kencan yang menjanjikan akses tak terbatas justru memenjarakan pengguna dalam siklus pencarian tanpa ujung. Algoritma mengurung kita dalam “kamar gema” preferensi diri dan menciptakan ilusi kontrol melalui checkbox profil.[8] Padahal, esensi cinta lahir dari ketidakterdugaan[9]—bukan dari profil curated, tetapi dari percakapan spontan dan kejutan kecil yang tereduksi oleh mekanisme swipe.

Ruang digital mengubah tubuh dan indera menjadi bagian lingkungan interaktif algoritmik. [10] Padahal, kesempatan terbesar yang didapat dari digital adalah belajar mencintai sebelum jatuh cinta: memberi ruang bagi seseorang “mengacaukan” kriteria kita, lalu beralih dari layar ke kehangatan penglihatan manusiawi.

Dari “Aku-Dia” ke “Kita”: Attachment Style sebagai Fondasi Solidaritas Queer
Dalam komunitas queer, jatuh cinta adalah transformasi politis. Ketika “Aku” (queer) bertemu “Dia” (queer), keintiman yang lahir memberontak terhadap struktur heteronormatif. Sensasi “dikuliti”—kerentanan ekstrem saat jatuh cinta[11]—mencairkan batas individu menjadi “Kita”. Attachment style menjadi jembatan psikologis membangun solidaritas:

  1. Kelekatan Cemas (Anxious)
    Ketakutan ditinggalkan (fear of abandonment) akibat penolakan keluarga dialihkan menjadi energi kolektif (contohnya, pendirian crisis center, advokasi kebijakan).
  2. Kelekatan Menghindar (Avoidant)
    Kebutuhan akan jarak dan otonomi diresapi menjadi filosofi gerakan: merayakan perbedaan tanpa paksaan asimilasi. Safe spaces melindungi keunikan “Aku” dalam bingkai “Kita”.
  3. Kelekatan Aman (Secure)
    Kepercayaan dan kenyamanan menjadi fondasi kepemimpinan, mengkristalisasi visi kolektif tentang dunia inklusif.[12]

Pengalaman liminal (ambang) jatuh cinta beresonansi dengan status liminal komunitas queer di masyarakat. Penderitaan (passio) akibat diskriminasi diubah menjadi empati kolektif. [13] Sementara itu, klaim “Dia adalah Segalanya” (atopos= yang unik, hanya dimiliki oleh dia seorang) diperluas menjadi “Kita adalah Segalanya”—pengakuan radikal bahwa keberagaman adalah kekuatan. Komunitas menjadi secure base yang memberi keberanian mengeksplorasi identitas dan melawan ketidakadilan.[14]

Penutup: Cinta sebagai Senjata Transformasi
Pride Month merefleksikan Revolusi Cinta di era digital: pergeseran dari “Aku-Dia” yang terisolasi menuju “Kita” yang saling menopang. Ruang digital, meski ambivalen, adalah inkubator solidaritas yang melampaui batas geografi dan memvalidasi identitas terpinggirkan. Attachment style terbukti bukan takdir, melainkan peta navigasi menuju solidaritas politis yang berakar pada pengalaman cinta. Dari reruntuhan dikotomi “Aku-Dia”, komunitas LGBTQ+ membangun “istana Kita” dengan fondasi secure attachment kolektif. Revolusi ini adalah kelanjutan abadi cinta sebagai narasi perlawanan—bukan sekadar mencintai seseorang, tetapi mencintai dengan cara yang membebaskan diri, sesama, dan dunia.

“Biarlah kita menikmati cinta dalam kenaifannya, biar kita mengecap cinta dalam segala kemurniannya.”[15]  (Ester Lianawati)

Happy Pride Month!

 

Daftar Pustaka
Esa. “Queer Muda Sebagai Siswa Dan Pekerja Pendidikan Di Era Digital.” SuaraKita (blog), 28 Januari 2025. https://suarakita.org/2025/01/young-queer-as-students-and-educational-workers-in-digital-era/.

Hardiman, F. Budi. Aku klik maka aku ada: manusia dalam revolusi digital. Daerah Istimewa Yogyakarta: PT Kanisius, 2021.

Helmi, Avin Fadilla. “GAYA KELEKATAN DAN KONSEP DIRI.” Jurnal Psikologi, 1, 26 (1999). https://doi.org/10.22146/jpsi.6995.

Lianawati, Ester. Revolusi Hati. 1 ed. D. I. Yogyakarta: EA Books; Buku Mojok Grup, 2025.

Supelli, Karlina. “Ruang Publik Dunia Maya.” Dalam Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace, 6 ed., 399. Daerah Istimewa Yogyakarta: PT Kanisius, 2010.

Wattimena, Reza A. A. Memaknai digitalitas: sebuah filsafat dunia digital. Cetakan ke-1. Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia: Penerbit PT Kanisius, 2023.

[1] Ester Lianawati, Revolusi Hati, 1 ed. (D. I. Yogyakarta: EA Books; Buku Mojok Grup, 2025), 13.

[2] Avin Fadilla Helmi, “GAYA KELEKATAN DAN KONSEP DIRI,” Jurnal Psikologi, 1, 26 (1999): 11–12, https://doi.org/10.22146/jpsi.6995.

[3] Helmi, 11.

[4] Helmi, 11.

[5] Helmi, 11.

[6] F. Budi Hardiman, Aku klik maka aku ada: manusia dalam revolusi digital (Daerah Istimewa Yogyakarta: PT Kanisius, 2021), 39.

[7] Esa, “Queer Muda Sebagai Siswa Dan Pekerja Pendidikan Di Era Digital,” SuaraKita (blog), 28 Januari 2025, ctt. Istilah Homo Digitalis juga disebutkan di artikel ini., https://suarakita.org/2025/01/young-queer-as-students-and-educational-workers-in-digital-era/.

[8] Reza A. A. Wattimena, Memaknai digitalitas: sebuah filsafat dunia digital, Cetakan ke-1 (Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia: Penerbit PT Kanisius, 2023), 178.

[9] Lianawati, Revolusi Hati, 89.

[10] Karlina Supelli, “Ruang Publik Dunia Maya,” dalam Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace, 6 ed. (Daerah Istimewa Yogyakarta: PT Kanisius, 2010), 339.

[11] Lianawati, Revolusi Hati, 93.

[12] Lianawati, 97.

[13] Lianawati, 112.

[14] Lianawati, 110–11.

[15] Lianawati, 121.

 

*Penulis adalah lonely wanderer with a bohemian soul yang berdomisili di Yogyakarta, penulis bisa dihubungi melalui akun instagramnya di @josuaest