Perda Anti-LGBTQ: Antara Kepanikan Moral dan Government “Overreach”

Oleh: Iman “Kimmy” Amirullah*

SuaraKita.org – Juni 2025 menandai peringatan “Pride Month” 2025. Sebuah peringatan bersejarah bagi komunitas LGBTQ serta kebebasan manusia. “Pride Month” lahir sebagai reaksi dan perlawanan atas kebrutalan polisi Amerika Serikat terhadap orang-orang “queer”, pekerja seks, dan orang-orang kulit berwarna pada dekade 1950 sampai tahun 1970-an.

Sebuah razia penuh kekerasan terhadap para pengunjung dan penampil ‘drag queen’ di Stonewall Inn, sebuah bar homoseksual ternama di New York pada 28 Juni 1969 menjadi puncak kemarahan komunitas LGBTQ atas kebrutalan dan diskriminasi yang mereka hadapi selama ini. Selama nyaris seminggu, kelompok-kelompok marginal yang selama ini kerap menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan melawan balik. Kesadaran sebagai kelompok tertindas serta kejengahan atas berbagai kekerasan menyatukan nyaris 1.500 orang dari berbagai macam latar belakang untuk membentuk barikade dan melawan polisi (Jenkins, 2019).

Tragedi Stonewall dengan segera menjadi ikon bagi gerakan LGBTQ+ di Amerika Serikat dan dunia. Puluhan tahun kemudian, LGBTQ+ mendapatkan berbagai macam kesetaraan hak.

Sejak dimulai oleh Belanda pada tahun 2001, kini kesetaraan pernikahan bagi pasangan LGBTQ telah dapat dirayakan di 38 negara. Taiwan dan Thailand menjadi dua negara Asia pertama yang mengawali langkah progresif ini. Meski begitu, banyak negara-negara Asia lainnya justru bergerak mundur dan mempertegas diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+, termasuk Indonesia (HRC, n.d.).

Sepanjang tahun 2006–2018, Arus Pelangi mencatat ada setidaknya 45 regulasi Anti LGBT di Indonesia. Terkait itu, ada sebanyak 1.840 LGBT yang menjadi korban persekusi (Konde.co, 2023).

Berita terbaru, dalam Surat Edaran yang diterbitkan Bupati Gorontalo, Sofyan Puhi, pada 25 April 2025, menyebutkan adanya larangan kegiatan keramaian hiburan rakyat dan hajatan pesta yang melibatkan waria [transpuan], biduan, alkohol, narkoba, dan judi. Para pejabat yang disebut dalam surat diminta berhati-hati memberikan izin kegiatan keramaian, serta memantau dan mencegah “segala bentuk kegiatan dalam hal hiburan rakyat, usaha karaoke, turnamen pertandingan, serta hajatan pesta yang melibatkan waria” (Lahay, 2025).

Surat Edaran ini bukan hanya diskriminatif, tetapi juga dapat membatasi kebebasan berekspresi seseorang, serta hak untuk dapat menjalankan aktivitas ekonomi. Liputan BBC Indonesia juga menunjukkan surat edaran ini mengakibatkan seorang seniman transgender Gorontalo kehilangan delapan kontrak pekerjaan. Di tengah semakin memburuknya perekonomian Indonesia akibat resesi dan deindustrialisasi, pemerintah justru semakin merepotkan rakyat yang memiliki kemampuan untuk menghidupi dirinya sendiri atau bahkan mempekerjakan orang lain dengan alasan moralitas.

Selain itu, LBH Masyarakat juga menyebutkan bahwa pelarangan transpuan untuk hadir di kegiatan hiburan merupakan bentuk kebijakan diskriminatif dan mematikan perekonomian mereka. Sementara, banyak transpuan bekerja di sektor informal, karena mereka kerap kali tersingkir dan terdiskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan formal (Lahay, 2025).

Dalam catatan Peta Kebijakan Diskriminatif Indonesia, Jakarta Feminist juga telah mengumpulkan bahwa terdapat lebih dari 170 Peraturan Daerah yang diskriminatif dan melanggar kebebasan individu serta otonomi tubuh. Kebijakan-kebijakan ini utamanya menyasar kelompok marginal dan menggunakan dalih moralitas seperti pekerja seks, kelompok LGBTQ, hingga praktik kohabitasi (Puspitasari, 2024).

Perda diskriminatif ini memuat aturan dan kebijakan yang dapat merugikan seseorang atau kelompok tertentu. Akibatnya, mereka tidak bisa mendapatkan keadilan. Hak-hak mereka dibatasi dan dirampas oleh aturan yang tidak inklusif. Kebijakan ini secara khusus menempatkan kelompok rentan sebagai target kontrol, mengurangi perlindungan dan kepastian hukum, serta menghadirkan secara langsung maupun tak langsung diskriminasi yang berlapis, karena identitasnya sebagai kelompok marginal.

 

Referensi:
Human Rights Campaign. “Marriage Equality Around the World”. Diakses dari https://www.hrc.org/resources/marriage-equality-around-the-world, pada 3 Juni 2025, pukul 11.30 WIB.

Jenkins, Andrea (2019). “Power to the People: The Stonewall Revolution”. QED: A Journal in GLBTQ Worldmaking. 6 (2): 63 — 68. doi:10.14321/qed.6.2.0063. ISSN 2327–1590.

Konde.co. (2023). “Marak Perda Anti LGBT, Diskriminasi Makin Banyak Terjadi .” Diakses dari https://www.konde.co/2023/02/marak-perda-anti-lgbt-diskriminasi-makin-banyak-terjadi/, pada 3 Juni 2025, pukul 11.30 WIB.

Lahay, Sarjan. (2025). “’Transpuan dilarang bernyanyi’ — Surat edaran bupati Gorontalo dinilai diskriminatif dan ‘amnesia budaya’”. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/c0l0d107x33o, pada 3 Juni 2025, pukul 11.30 WIB.

Puspitasari, Rustiningsih Dian. (2024). “Melihat Peta Perda Diskriminatif, Ada 177 Perda Mengontrol Tubuh Perempuan.” Diakses dari https://www.konde.co/2024/04/melihat-peta-perda-diskriminatif-ada-177-perda-mengontrol-tubuh-perempuan/, pada 3 Juni 2025, pukul 11.30 WIB.

 

*penulis adalah aktivis queer dan keberagaman di Yogyakarta. Ia pernah menjadi National Coordinator untuk Students For Liberty Indonesia 2024/2025 dan merupakan lulusan S1 Hubungan Internasional di Universitas AMIKOM Yogyakarta dengan fokus studi internasionalisasi gerakan sosial.