Search
Close this search box.

Pengalaman Melakukan Terapi Hormon (Bagian 1)

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Kesulitan dalam mendapatkan layanan transisi seperti terapi hormon/HRT (Hormone Replacement Therapy) di Indonesia membuat teman-teman transgender kerap menggunakan “cara mandiri” tanpa konsultasi dengan dokter terkait jenis obat yang diminum, metode terapi, maupun dosisnya yang berpotensi membahayakan diri sendiri.

Meski besar tantangannya dan belum banyak informasi untuk mendapatkan akses konseling dan terapi HRT, prosedur tersebut masih memungkinkan di Indonesia. Tidak hanya itu, terapi hormon berlaku untuk umum juga sehingga dapat membantu teman-teman cisgender yang misalnya mengalami kelebihan hormon testosteron atau ingin meningkatkan hormon estrogen agar bisa hamil. Praktik terapi hormon merupakan sesuatu yang lazim dilakukan di Indonesia untuk beragam kebutuhan.

Terapi hormon merupakan sesuatu yang lazim dilakukan di Indonesia. Bagi teman-teman transgender, pil KB dan salep gel hormon merupakan solusi yang paling umum dan mudah aksesnya. Namun bila teman-teman membutuhkan terapi hormon yang tepat untuk kesehatan fisik dan mental, memang perlu adanya kunjungan dan resep dokter.

Terhitung saat ini, penulis sedang menjalani proses untuk mendapatkan HRT dengan bantuan penanganan medis dan ingin berbagi pengalaman mengenai proses dari awal hingga sekarang, termasuk penanganan dengan rumah sakit bila sudah berhasil memulai terapi hormon.

Proses mendapatkan rujukan dan resep dokter
Untuk memulai proses ini, penulis mengunjungi dokter di klinik swasta dan meminta resep obat untuk HRT. Meski jumlahnya tidak banyak, namun tetap ada beberapa dokter yang inklusif, paham atas permasalahan dan pengobatan hormon untuk teman-teman transgender, serta mau memberikan resep obat HRT.

Pada sesi ini, dokter akan berdiskusi terlebih dahulu dengan pasien terkait riwayat gender, motivasi, jenis pengobatan, serta pemahaman atas risiko dan efek samping dari terapi hormon ini. Kemudian, dokter tersebut akan meminta pasien untuk melakukan pemeriksaan sesuai kebutuhan, misalnya tes darah (darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati, kolesterol, gula darah) sebelum bisa mendapatkan resep obat yang sesuai dengan kondisi pasien.

Pasien umumnya harus merogoh kocek pribadi untuk melakukan tes laboratorium di laboratorium rumah sakit swasta. Sebelum itu, perlu ada diagnosis mental (depresi, cemas, trauma, dan lainnya) terlebih dahulu yang kemudian menyambung ke kondisi disforia gender dengan poli psikiater.

Proses memulai tes laboratorium dan psikologis
Untuk memulai tahap tes laboratorium dan psikologis, penulis harus memulai sesi rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat kecamatan terlebih dahulu, khususnya puskesmas tingkat kecamatan di Poli Kejiwaan.

Setelah mendapat rujukan dari tingkat kecamatan, penulis melanjutkan sesi rujukan ke Poli Kejiwaan di sejumlah rumah sakit, mulai dari rumah sakit tipe C, B, kemudian A. Sepanjang proses ini, penulis harus beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan rumah sakit yang mengharuskan pasien untuk melakukan registrasi online melalui aplikasi pihak rumah sakit terkait. Untuk mencapai rumah sakit tipe A, penulis membutuhkan waktu kurang dari seminggu saja.

Namun begitu berhasil sampai ke tahap ini, Poli Kejiwaan rumah sakit tipe A harus melakukan tes terhadap penulis terlebih dahulu untuk memastikan kesiapan psikis yang akan dihadapi sebelum pihak rumah sakit memberi akses untuk tes scan otak dan tes darah lengkap.

Dalam hal ini, penulis melakukan tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) yang terdiri dari kurang lebih 560 soal terkait kondisi kejiwaan yang pasien harus jawab dengan Ya atau Tidak. Usai tes MMPI pertama beserta penilaian internal pihak rumah sakit sendiri, pihak Poli Kejiwaan Dewasa menyatakan penulis belum siap secara psikis sehingga harus minum obat anti-depresi terlebih dahulu selama satu bulan lebih.

Persiapan fase usai mendapatkan HRT
Setelah menjalani proses pengobatan dan psikoterapi, pihak Poli Kejiwaan Dewasa kemudian meminta penulis melakukan tes MMPI untuk yang kedua kalinya untuk melihat perkembangan kejiwaan dan kesiapan penulis untuk melakukan HRT.

Berdasarkan penilaian internal lanjutan, pihak Poli Kejiwaan menjelaskan bahwa kesiapan pasien bergantung pada hasil tes MMPI serta konsultasi rutin setiap dua minggu sekali. Kemudian, walaupun sudah mendapatkan akses tes laboratorium dan berhasil memulai HRT, pasien harus tetap melakukan kunjungan rutin ke Poli Kejiwaan karena terapi hormon memiliki banyak risiko, gejala, dan efek sampingnya.

Hal ini sangat penting, mengingat teman-teman transgender pada umumnya mengakses proses terapi yang berbahaya karena kurangnya informasi mengenai rujukan psikiater dan resep dokter di Indonesia. Contohnya, mereka cenderung mengonsumsi pil KB dengan dosis seenaknya karena akses pengobatannya mudah, kemudian mengalami gejala-gejala fisik dan psikis yang seharusnya dapat mereka hindari bila konsultasi terlebih dahulu dengan dokter umum dan dokter psikiater.

Karena itu, meski dengan banyaknya keterbatasan di Indonesia, berdasarkan pengalaman pribadi ini, teman-teman transgender, genderqueer, maupun masyarakat umum paling tidak masih memiliki kesempatan untuk melakukan terapi hormon di Indonesia. 

Terakhir, bila teman-teman membutuhkan bantuan terkait pihak dokter yang dapat dihubungi maupun pertanyaan lainnya, silakan menghubungi penulis melalui:

Email : rleina.tama@gmail.com

Instagram : rleina.tama

Twitter/X : @LenaInatama

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.