Search
Close this search box.
ourislands.id

SuaraKita.org – Bissu adalah kaum rohaniawan dalam agama Tolotang yang merupakan agama asli suku Bugis, yang gendernya dipandang sebagai campuran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan.

Bissu biasanya mampu mengambil peran gender laki-laki dan perempuan dan dilihat sebagai separuh manusia dan separuh dewa, bertindak sebagai penghubung antara kedua alam manusia dan alam dewata.

Menurut Sharyn Graham, seorang peneliti di University of Western Australia di Perth, Australia, seorang Bissu tidak dapat dianggap sebagai waria, karena mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender apa pun namun setelan tertentu dan tersendiri untuk golongan mereka.

Menurutnya, dalam kepercayaan tradisional Bugis, tidak terdapat hanya dua gender seperti yang kita kenal, tetapi empat (atau lima bila golongan Bissu juga dihitung), yaitu:

  1. “Oroane” (laki-laki)
  2. “Makunrai” (perempuan)
  3. “Calalai” (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki)
  4. “Calabai” (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan)
  5. Bissu yang dipercaya sebagai kombinasi dari semua jenis kelamin tersebut.

Meski begitu, Petsy Jessy Ismoyo, peneliti dari Indonesian Consortium for Religious Studies, Yogyakarta, menjelaskan keberadaan bissu sebagai pelaku spiritual masyarakat Bugis, saat ini berada di titik rentan. Adanya pergeseran makna spiritual atas istilah Bissu karena jenis kelaminnya, menjadi salah satu penyebabnya.

“Hal ini mengakibatkan tergesernya Bissu sebagai orang yang memiliki kedudukan spiritual tertinggi pada orang Bugis, menjadi orang yang memiliki perilaku menyimpang menurut pengetahuan gender biner,” tulisnya.

Tersingkirnya Bissu di tanah kelahirannya sendiri, disertai dengan rentetan sejarah kelam nan bengis. Menurut Jessy, ada beberapa faktor lain yang membuat keberadaan Bissu berada di titik Rentan. Seperti pergeseran gender plural menjadi gender biner dikarenakan masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17. Jessy juga menyatakan bahwa peran Islam dalam menggeser keberagaman gender suku Bugis kentara saat adanya Operasi Toba tahun 1966.

Sejak Operasi Toba, para Bissu bersembunyi dari kematian, akibatnya upacara Mapallili (upacara menanam padi) tidak lagi diadakan secara besar-besaran. Orang-orang tidak berani untuk mempertahankan tradisi mereka karena takut berujung kematian. Hal itu membuat kelompok Bissu kini mulai terlupakan dan banyak tergabung dengan organisasi Waria di Sulawesi Selatan. 

Sejak Puang Matowa terakhir meninggal, kepemilikan tanah ulayat menjadi milik pemerintah berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 tentang hak atas tanah,” terang Jessy.

Adanya peraturan tersebut, menyebabkan tergantikannya sistem tradisional yang telah dijalankan oleh suku Bugis. Sistem ini dinilai telah menggeser nilai malebbi (kemuliaan) dan malempu (kejujuran) ke dalam peraturan yang memiliki kekuatan hukum dalam masyarakat.

Hal ini menjadi kabar buruk bagi Bissu, sebab mereka tidak lagi memiliki sumber dana yang tetap untuk membiayai upacara dan mencukupi kehidupan di Bola Arajang. Oleh karena itu, para Bissu harus mencari mata pencaharian lain untuk memenuhi kehidupan mereka.

“Itu sebabnya mereka bekerja di Salon, dan dengan demikian stereotip mulai tertanam di dalamnya sebagai ‘Salon Banci’,” imbuh Jessy, “Bukan karena mereka ingin, tetapi mereka memiliki akses terbatas untuk memilih pekerjaan lain.”

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syamsurijal Ad’han menilai, perkembangan zaman membuat posisi Bissu semakin berat. Mereka kian berada dalam masa-masa krisis karena sejumlah polemik yang muncul belakangan ini.

“Problemnya sekarang ini bagaimana mendorong generasi muda untuk tertarik menjadi bagian dari komunitas Bissu. Bagaimana misalnya tertarik untuk makkanre guru (belajar) dan seterusnya,” paparnya.

Selain persoalan generasi, masalah lain yang dihadapi Bissu sampai saat ini adalah asumsi kesyirikan. Aktivitas mereka kerap dianggap bertentangan dengan keyakinan agama yang diakui di Indonesia sehingga membuat banyak orang tidak lagi tertarik untuk ikut.

“Problem pemusyrikan terhadap Bissu itu juga suatu masalah yang kita harus selesaikan. Secara kebudayaan juga untuk mengubah mindset masyarakat kita di Bugis yang tadinya misalnya mengapresiasi kebudayaan Bissu menjadi menolak,” jelasnya.

Mari kita jaga terus keberadaan Bissu, karena mereka pun bagian dari  Warga Negara Indonesia yang memiliki hak sebagai manusia. Bissu adalah pelaku budaya, dan seharusnya dihargai dihormati selayaknya seniman. NKRI harus menjadi tempat yang aman untuk semua golongan dan etnis. Karena tidak akan tercapai Bhineka Tunggal Ika bila Bissu masih tersingkirkan dari rumahnya sendiri. (Esa)

Sumber:

Bissu – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bissu: Kearifan Bugis Terbungkam, Kini Mendekam dalam Liminalitas – Semua Halaman – National Geographic (grid.id)

Tantangan Bissu Bugis di Era Modern, Minim Generasi hingga Tekanan Penolakan (detik.com)

Menguak Seluk Beluk Bissu dalam Tradisi Bugis: Sejarah dan Tantangan Dimasa Kini – WGWC (womenandcve.id)