Search
Close this search box.

[Cerpen] Bertiga

Oleh: Pudji Tursana* 

SuaraKita.org – Pagi masih buta, namun Bram terbangun nyalang dengan kesadaran terang-benderang. Dadanya terasa tertimpa sesuatu beraroma alang-alang. Pelan-pelan ia mengangkat kepala Srikandi, ditahannya kepala itu, dan sambil menggeser tubuhnya, ia mengambil bantal untuk mengganjal kepala, menggantikan dadanya. Perubahan itu membuat Srikandi menggumam tanpa terbangun dari tidur.

Bram beringsut bangun dan pergi ke kamar kecil, menyelesaikan bisnis kecilnya. Keran air diputarnya pelan, sehingga air mengalir kecil saja untuk mencuci tangan. Asal-asalan ia menggelung rambut di pucuk kepalanya.

Langit yang masih gelap di pagi yang masih buta adalah surga bagi Bram. Ia bisa mengerjakan hal-hal yang disukainya dengan perlahan-lahan. Mengisi ketel untuk merebus air, menyalakan kompor dengan api sedang, meletakkan ketel di atas kompor yang menyala, dan menunggu air mendidih. Semua dilakukan dengan perlahan-lahan. Pada pagi seperti ini, biji kopi bisa digiling dengan gilingan tangan, pelan-pelan, merasakan biji kopi memadat menjadi bubuk setengah halus.

Peluit ketel berbunyi seturut uap air mendidih yang meniupnya. Bram menunggu semenit untuk menikmati bunyinya. Bunyi paling nyaring sepagi itu. Apa boleh buat.

Kopi dituang ke dalam teko. Ketel diangkat dari kompor. Semenit kemudian, air dari ketel dituangkan pelan-pelan ke dalam teko, diputar-putar sedikit bergaya. Bram tersenyum sendiri. Aroma kopi pelan-pelan merebak, menguapi ruang tengah, dan berangsur-angsur mewangi ke ruang tidur.        

***

Aroma tembakau lintingan dan dada yang hangat berganti bidang empuk beraroma kamper. Srikandi tahu, Bram sudah bangun. Ia meneruskan tidurnya, meskipun tubuhnya berangsur awas. Menggelungkan tubuh dan kembali mencoba terlelap, tidak membuatnya melewatkan suara lamat-lamat di kamar mandi, dapur, dan ruang tengah.

Bergelung setengah terbangun, sambil mendengarkan suara-suara khas Bram, begitu ia menyebutnya, adalah kesenangan Srikandi. Ia tahu, Bram lebih senang sendiri di saat seperti ini. Srikandi pun lebih senang sendiri, saat menikmati suara-suara khas Bram yang ini.

Lamat-lamat aroma kopi menyentuh cuping hidungnya. Sebuah tarikan nafas yang panjang dan lama, ditingkahi lengan dan kaki terentang melebar, dan tubuh diregangkan, menandai kesadaran jiwa dan raganya yang sudah terbangun. Srikandi memandang nyalang langit-langit kamar. Pikiran kosong di pagi yang buta adalah surganya Srikandi.

Memandang nyalang langit-langit kamar dengan pikiran kosong, selama yang Srikandi bisa. Pelan-pelan matanya terpejam lagi.

***

Kopi siap, terjaga hangat. Air panas di dalam termos siap. Giliran jendela-jendela dibuka. Langit yang hitam perlahan-lahan benderang dan semburat sinar merah kuning membuka hari di ufuk Timur.

Sebentar lagi Kartini akan tiba dari Jogjakarta. Ia berangkat kemarin malam dengan kereta.

Benar saja, saat Bram membuka pintu depan, dan beranjak keluar rumah sambil membawa kunci gerbang, sebuah sepeda motor ojek pangkalan berhenti di depan gerbang. Kartini turun dari boncengan. Bram membuka pintu gerbang.

“Terima kasih, Pak,” kata Bram, sambil mengambil ransel yang diletakkan di depan sadel motor.

“Terima kasih ya,” sambung Kartini sambil menepuk bahu tukang ojek.

Tukang ojek terkekeh, menganggukan kepala, dan berlalu dari hadapan mereka.

Kartini serta merta memeluk Bram dan menggantungkan tubuhnya. Bram menenteng ransel asal-asalan sambil menyambut pelukan Kartini. Mereka berjalan berdua, setengah terhuyung sambil berpelukan.

“Bau kereta, “ gumam Bram, sambil meniupi lekuk leher Kartini.

Kartini terkikik pelan.

Srikandi menyeruput kopi pelan-pelan. Suara lamat-lamat di teras depan membuatnya bergeming saja. Namun pelan-pelan lesung pipi di sebelah kiri nampak saat bibirnya tersenyum.

Kartini menepuk bahu Srikandi dan mendaratkan kecupan singkat di pelipisnya, seraya berjalan langsung ke kamar mandi. Kartini selalu segera membasuh diri setiap pulang dari mana saja, terutama setelah perjalanan jauh. Debu dan kotoran dari luar rumah membuat Kartini gelisah. Tapi ia tahan tidak mandi seharian jika tidak bepergian ke mana-mana.

Suara air mengalir berhenti. Kartini keluar kamar mandi dengan baju kebangsaannya, celana pendek dan singlet. Tangannya mengusap-usap kepala dengan handuk. Ujung-ujung rambutnya basah dan masih meneteskan air segar. Ia duduk di sebelah Srikandi dan menyenderkan dirinya, menyurukkan kepala ke bahu Srikandi.

“Hm…, hangat,” gumamnya sambil memeluk Srikandi.

“Siapa suruh mandi pagi-pagi buta begini. Dingin.” Balas Srikandi acuh tak acuh. Namun Srikandi balas memeluk dan mencium Kartini. Lembut. Hangat.

Bram memandangi mereka berdua dan tersenyum. Pemandangan yang sudah biasa. Tepatnya setelah ia membiasakan diri. Dipandangi dengan lembut oleh dua pasang mata dengan cara yang berbeda juga berangsur dibiasakannya.

Mereka duduk bertiga di ruang tengah, mengelilingi meja makan. Kartini dan Srikandi masih berpelukan dan sesekali berciuman. Bram duduk di seberang mereka, tenang-tenang menyeruput kopi. Melihat pandangan Kartini kepadanya, Bram beranjak mengambil gelas, menuangkan segelas air panas dari termos, dan memberikan gelas kepada Kartini. Kartini menyambut gelas itu dengan malas-malasan.

“Ayo ke sini,” kata Bram, “Memangnya hanya Srikandi yang rindu? Aku juga.”

“Iya, sana,” balas Srikandi tertawa lembut, paham,”Mau mandi, nih. Mau kejar kereta pukul tujuh.”

“Tugas sampai pukul berapa?” tanya Bram.

“Aku ambil dua shift sekalian,” jawab Srikandi, tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.

Bram balas tersenyum, berterima kasih. Kartini acuh tak acuh menyeruput air hangatnya pelan-pelan.

Bram beranjak, mengambil Kartini dari pelukan Srikandi, membopongnya, dan membawanya ke ruang tidur mereka. Srikandi beranjak mandi. Kartini tenggelam, tertidur dalam pelukan Bram.

Tepukan lembut di pipi membuat Bram terbangun. Ternyata ia ikut tertidur bersama Kartini.

“Berangkat, ya,” bisik Srikandi.

Kartini bergelung tidur dipelukan Bram, dengan tangan dan kakinya membelit, seolah Bram adalah guling yang nyaman.

“Kunci dari luar, ya,” sahut Bram berbisik pula.

Srikandi mengangguk, mencium lembut keduanya dan pergi.

***

Kecupan-kecupan di sekujur wajahnya membuat Kartini terbangun. Pelan-pelan ia membuka mata. Hidungnya berangsur-angsur mengenali aroma di sekelilingnya. Aroma yang sangat akrab dan dikenalnya, aroma tembakau lintingan dan kopi. Kecupan-kecupan itu masih terus berlangsung dan kemudian ditingkahi oleh elusan dagu yang belum bercukur di pipi dan pelipisnya, lalu terus mengelus hingga ke ceruk lehernya. Rasa geli membuatnya terkikik.

“Geli,” katanya.

“Hm …,” gumam Bram sambil terus mengecup Kartini,

Kartini kenal dengan gumaman ini. Sambil tersenyum Kartini mulai membalas kecupan Bram.

“Srikandi sudah berangkat?”

“Hm …,”

Kartini tertawa lembut. Ini Bram. Bramnya. Pagi ini pagi mereka berdua.

Kartini terbangun dengan perasaan hangat dan tenang. Degup jantung Bram berdentam lembut menembus gendang telinganya. Juga suara helaan nafas yang tenang dan teratur. Pelan-pelan Kartini bangkit dari tidurnya. Tubuhnya terasa penat sekaligus nyaman. Wajahnya terasa panas, teringat dari mana rasa penat itu.

Penyebab rasa pegalnya tidur dengan tangan dan kaki terentang memenuhi tempat tidur. Kartini memandangi wajah Bram. Dahi yang lebar, kening beranak rambut dengan beberapa titik keringat membasahi sudutnya, cekungan di pelipis dengan alis yang tebal, mata terpejam dan bulu mata yang lentik, hidung yang bangir, garis bibir tegas, dan sekujur wajah belum bercukur.

***

Masih ada beberapa sampel darah yang harus diproses. Srikandi melirik jam dinding di sudut laboratorium. Telinga dan tengkuknya terasa dingin. Tiga jam lebih ia sudah duduk di ruang bersuhu rendah. Hari ini adalah hari yang panjang. Ia menghela napasnya.

Kopi seduhan Bram sangat dirindukannya kalau sedang kedinginan begini. Menyesal karena tadi pagi berangkat terburu-buru. Biasanya ia membawa bekal kopi panas di termos. Biasanya Bram sudah menyiapkan kopi lengkap dengan bekalnya.

Pagi tadi tidak biasa. Kartini pulang. Srikandi menghela napasnya.

***

Lima tahun yang lalu.

Bram dan dirinya sering berjumpa dalam jam kerja yang sama. Mereka sama-sama analis di sebuah laboratorium ternama. Sejak Bram hadir, kopi di dapur laboratorium berangsur lezat dan menyegarkan. Segera saja, pagi Srikandi terasa tak lengkap tanpa seruputan kopi racikan Bram.

“Ini, aku bawa kopi.”

“Racikan Bram lagi? Masih bersedia dia melayani kamu, yang aneh-aneh?” tanya Kartini sambil sibuk dengan kertas-kertas di tangannya.

Sore itu, sebuah akhir minggu yang tenang. Matahari bersinar hangat dan angin bertiup sepoi-sepoi. Srikandi bahagia karena Kartini yang penulis sedang tidak bertualang.

“Lalu kapan aku akan ketemu Bram?” tanya Kartini sambil lalu.

Srikandi semakin sibuk menuang kopinya. Dua cangkir keramik tua, satunya sudah tidak bergagang lagi, yang selalu digunakan oleh Srikandi, menjadi pusat perhatiannya.

“Srikandi?” sepasang tangan dengan rambut-rambut halus melingkari pinggangnya. Srikandi bergeming saja, tetap sibuk menuang kopinya.

Kartini tertawa halus, mengecup-kecup bahu Srikandi, pelan-pelan ke leher, mengendus-endus tengkuknya, dan pecahlah tawa Srikandi, kegelian. Pelukan di pinggang semakin erat. Srikandi membalikkan tubuhnya, balas memeluk Kartini, dan sepasang cangkir keramik tua dengan sabar menunggui mereka. Aroma kopi memenuhi udara.

“Kopinya.” Kata Srikandi terpatah-patah.

Kartini terkekeh halus. Sudah terlambat. Saat ini Srikandi menjelma dewi yang dipuja. Bagaikan pita bercahaya, Kartini mengikat Srikandi dalam terang bergelombang. Srikandi melayang, semakin lama semakin tinggi, dan telinganya seolah mendengar dentang-dentang lonceng menggema halus. Dentang-dentang menenangkan ini meluruhkan Srikandi, mendaratkannya dalam pelukan Kartini. Tubuhnya terasa ringan. Srikandi menyerah pada ritual pemujaan Kartini. Ia meleleh. Ia mencair. Ia terhisap oleh Kartini.

Butir-butir keringat bercahaya di anak-anak rambut Srikandi. Mata Srikandi terpejam. Tubuhnya bergetar lembut dalam pelukan Kartini. Aroma rahasia bergelora. Cuping hidung Kartini mengembang dan jantungnya berdebar. Saat ini adalah keseluruhan Srikandi dalam pelukannya. Saat ini adalah ruang ketentraman jiwa Kartini.

Pelan-pelan Srikandi membuka matanya dan serta merta pandangannya bertemu dengan tatapan Kartini yang teduh dan dalam. Wajah Srikandi memanas. Tatapan Kartini menggetarkan tubuhnya hingga ke ujung-ujung jari. Srikandi mengepalkan tangannya, mengusutkan singlet Kartini. Rasa ngilu bergelombang mengunci dirinya. Srikandi tidak lagi berdiri bersandar di pinggir meja. Ia telah meluruh, tenggelam dalam pelukan Kartini, dan mereka berdua sudah terbaring di atas tikar.

Tangan Srikandi mengelus-elus tangan Kartini. Pelan-pelan ia menyembunyikan wajahnya dalam lekuk leher Kartini. Tiba-tiba ia menarik sembarangan rambut-rambut halus yang tumbuh di lengan Kartini.

“Ouch!”

Suasana sontak berubah. Srikandi terbebas dari tatapan Kartini yang dalam. Pelan-pelan lesung pipi Srikandi muncul.

“Kebiasaan.” Gerutu Kartini.

Srikandi masih mengelus-elus Kartini. Kali ini kening, pipi, leher, dan dagu Kartini, secara bergiliran memperoleh sentuhannya. Lalu jemarinya mengurai-urai rambut Kartini yang wangi dan lurus. Kartini berdehem.

“Jadi kapan Bram dikenalkan padaku?” tanyanya.

“Hm …, keintiman tidak bisa ditukar dengan keinginan. “

Kartini tertawa kecil.

“Apa kelihatan begitu?”

“Terasa begitu.”

“Apa bedanya aku tanya sekarang atau nanti atau besok? Aku sudah tanya berkali-kali.”

“Iya nanti. Aku belum bercerita pada Bram.”

“Apa yang akan kamu ceritakan?” tanya Kartini sambil mengecup-kecup leher Srikandi.

“Aih, geli. Sudah, ah.”

“Kamu akan mengatakan apa pada Bram?” tanya Kartini lagi, sambil memeluk Srikandi lebih erat.

“Hm, bahwa aku ingin mencari kekasih lelaki untuk kekasihku, supaya kehidupan intimnya lebih sehat?”

“Hah! Aku selalu aman, dan penuh kendali.”

“Iya, tetapi tetap saja, bagaimana kita selalu tahu bahwa kamu akan selalu bertemu lelaki yang aman? Bagaimana aku tahu bahwa lelaki ini menghormatimu? Aku tidak suka selalu mengantar dan menungguimu di tempat lelaki yang berbeda-beda.”

“Sudah lama tidak begitu. Akhirnya memang membosankan. Seperti pergi ke WC.”

“Aku tidak suka bagianmu yang itu, Kartini. Saat kamu tidak bahagia dengan dampak keputusan dan tindakanmu.”

“Ah, aku realistis, lelaki tidak sebegitunya paham soal rasa hormat pada tubuh perempuan dan keintiman. Bahwa mereka mengerti soal keintiman saja sudah lumayan, seringkali langsung pada tujuan. Hal itu ok saja untuk aku, karena aku tak mencari keintiman dari mereka.”

“Itu menyakitkan,” sela Srikandi, “Bagaimana bisa berbagi keintiman tanpa rasa hormat? Kamu bukan hanya boneka yang bisa diperlakukan seenaknya.” Suara Srikandi yang halus mulai meninggi dan basah.

“Hey, hey, shhh ….” Kartini memeluk Srikandi.

Isakan Srikandi perlahan menjadi helaan nafas yang tenang. Mereka berpelukan dalam diam yang nyaman. Srikandi berangsur tertidur. Kartini masih nyalang, terluka oleh kegelisahan Srikandi.

Sore itu, kopi yang mendingin memaafkan mereka lagi.

Kartini menggendong Srikandi dan memindahkannya ke tempat tidur. Srikandi langsung bergelung dan tidak terbangun. Srikandi sangat mudah tidur, di mana saja, apalagi di tempat yang nyaman dan akrab seperti tempat tidur mereka. Tempat tidur yang sangat besar ini, terbesar yang tersedia di toko furniture. Mereka sengaja membelinya karena memang bercita-cita bahwa suatu hari akan menemukan belahan jiwa ketiga.

***

Masih di kamar ini.

Kartini bergelung di sebelah Bram yang mendengkur perlahan. Matanya berputar pelan-pelan memandangi kamar dari segala arah. Dinding kamar bergaris-garis miring dari bayangan kisi-kisi jendela yang disinari matahari sisa pagi. Rumah mereka adalah rumah tua satu batu yang berlangit-langit tinggi dan beratap limas. Rumah yang sangat tua, diwarisi oleh Srikandi sebagai keturunan terakhir dari keluarganya yang antik. Rumah yang selalu sejuk karena udara berputar-putar di atap limas dan keluar masuk lewat ventilasi berliuk yang tinggi di dinding, hampir menyentuh pinggiran langit-langit. Rumah yang sangat indah. Rumah bersuara udara. Rumah tempat waktu berhenti. Firdaus.

Saat ini suara udara itu mendengung di gendang telinga Kartini. Bram masih tidur. Mungkin dia bangun terlalu pagi. Mungkin nanti dia tugas malam. Suatu hari aku harus menulis tentang rumah ini. Srikandi masih lama lagi baru akan pulang. Rindu ini belum selesai, begitu saja Kartini teringat sebuah klausa kalimat sembarang entah di mana. Masih sambil berbaring Kartini terkekeh sendiri, menertawakan isi kepalanya yang bermacam-macam. Ini tanda harus bangun dan makan. Perutnya juga keroncongan. Seolah menjawab obrolan Kartini dengan diri sendiri, sebuah suara bergemuruh keluar dari perut Bram. Kartini merasa geli, kening Bram dikecupnya berulang-ulang, hingga Bram setengah terbangun.

Sepasang tangan yang hangat menangkap kepala Kartini yang baru akan beranjak dari tempat tidur. Bibir Kartini tertangkap oleh kecupan lembut yang panjang, dalam, lama, dan seolah tiada henti. Kartini tersengal oleh tawa dan nafas yang pendek. Ia menghela kepalanya, berusaha melepaskan diri.

“Ampun?” suara Bram berat dan serak setengah tidur.

“Ampun.”

Bram terkekeh dan melepaskan tangannya. Kartini tersengal dan segera beranjak dari tempat tidur sebelum Bram terjaga sungguh-sungguh. Bram melanjutkan tidurnya. Kartini memandangi tempat tidur mereka. Tetap saja ada yang tak lengkap. Sisi tempat biasa Srikandi berbaring seolah tetap kosong meskipun Bram terbaring melintang di tengah tempat tidur.

Kartini menghela nafasnya, melangkah pelan keluar kamar.

***

Srikandi melepas seragam kerja, menggantungnya di dalam lemari besi. Dinding lemari di sisi pintu bertempelan foto-foto bertiga, Kartini, Bram, dan dirinya dalam berbagai pose dan peristiwa. Mereka tampak konyol, gembira, lucu, ada sesekali serius, dan satu foto mereka berdiri berjajar, sedih dan kucel dalam pakaian hitam tanda duka nestapa di depan nisan yang masih basah. Itu foto tiga tahun yang lalu, saat Oma Srikandi meninggal. Srikandi menyentuh foto-foto itu dan memikirkan bahwa sudah cukup lama tidak ke makam Oma. Bisa nanti di akhir minggu sore-sore, mengajak semua, mumpung di rumah. Foto peristiwa duka itu disentuhnya. Rindu Oma. Detail kecil pada foto itu, tangan Kartini yang memeluknya, telapak tangannya di lengan atas masih menyisakan rasa hangat pada hatinya, dan Bram yang menggandengnya, melindungi.

Oma merawat Srikandi sejak kecil. Orang tua Srikandi adalah ibu dan ayah yang bekerja di berbagai belahan dunia, berpindah-pindah, dan hampir tidak pernah bersama. Srikandi sering bertanya-tanya mengapa dirinya ada kalau hanya untuk ditinggal bersama Oma, sedangkan mereka entah di mana berupaya memperbaiki dunia. Orang tua Srikandi bersama-sama terakhir kalinya saat menuju pulang ke rumah, meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang yang tragis. Ironi tragis ini menjadikan Oma pusat hidup Srikandi. Srikandi tumbuh dalam dunia kecil bersama Oma. Oma merawatnya dengan makanan sehat dan cinta yang besar. Oma membacakan dongeng para peri yang penyayang, hewan yang bisa berbicara dan berpikir penuh pertimbangan, para penyihir baik yang menang dan yang jahat terkalahkan, serta para pahlawan yang penolong. Oma yang menjadi ibu dan ayah, membuat Srikandi berani memberi makna atas segala sesuatu tanpa tergantung apa kata orang ramai. Srikandi berani memiliki pendapatnya sendiri sekaligus tidak merasa perlu untuk memperdebatkan situasi di luar sarangnya. Acuh tak acuh sekaligus menyerap segala sesuatu, senang menyendiri dan diam-diam mengamati, menarik diri dalam keramaian, lebih memilih melihat diri dalam orang lain, dan semuanya dalam diam.

Kartini muncul bagaikan bola-bola api yang berpijar terang benderang. Ia menarik laron dan berbagai serangga malam untuk datang mengelilinginya. Banyak serangga malam tidak mawas diri yang terbakar oleh pijar Kartini. Srikandi melihatnya begitu. Kartini selalu dalam kerumunan bahkan saat ia bergeming tampak jauh dalam pikiran sendiri. Kartini dalam geming pikiran sendiri yang memikat Srikandi, dalam diam dan dari jauh. Saking asyiknya dengan diri sendiri, yang diam-diam mengamati, Srikandi tak menyadari Kartini mendekat. Ternyata pijar terang itu membutuhkan gua yang tenang untuk menjaganya tetap tetap hangat temaram. Bara api ini membutuhkan sekam untuk terus menghangatkannya.

Lonjakan kereta membangunkan Srikandi dari lamunan yang panjang. Perjalanannya masih akan ditempuh dalam tiga stasiun lagi. Mungkin Bram sudah berangkat kerja dan selisipan kereta dengannya. Semoga ada seduhan kopi dingin yang ditinggalkannya. Srikandi ingat semalam Bram membuat seduhan kopi dingin.

Ingatan Srikandi kembali kepada foto mereka bertiga di makam. Oma meninggal setelah sakit lanjut usia yang panjang. Srikandi tak akan bisa bertahan jika tanpa Kartini yang bersamanya menapaki hari-hari terakhir Oma. Sakitnya Oma pula yang mempertemukan Kartini dengan Bram, dan membangun hubungan mereka bertiga, jiwa dan raga.

***

Punggung Kartini setengah bungkuk, tanda tenggelam dalam bacaan. Srikandi melangkah pelan-pelan, maksudnya ingin mengejutkan Kartini. Dua langkah lagi ….

“Kopi dinginmu ada di kulkas.” Kata Kartini lembut.

“Ahh …,” keluh Srikandi, “Kok tahu?”

Kartini menunjuk pintu kaca di depannya sambil tertawa dan semakin tertawa geli karena pelukan Srikandi dari belakang. Jemari Srikandi menggelitik lehernya. Srikandi terkekeh, selalu lupa ada pintu kaca menuju teras dalam yang selalu setengah terbuka saja.

“Bram sudah berangkat?”

Kartini mengangguk, “Itu kopimu di kulkas,” ulangnya.

Srikandi bersenandung mengambil kopi, menyeruputnya, dan bahagia merasakan kesejukannya hingga ke dada. Sambil masih membawa botol kaca berisi seduhan kopi dingin, Srikandi mendekati Kartini, duduk di sebelahnya, menyenderkan tubuhnya kepada Kartini. Reflek saja Kartini memeluk Srikandi, sudah sewajarnya begitu, dan tetap saja Kartini membaca. Kepala Srikandi bersandar di dada Kartini. Detak jantung Kartini teguh, menenangkan.

“Besok ke Oma ya, “ pinta Srikandi.

“Sore ya, tunggu Bram selesai istirahat.”

Srikandi mengangguk dan bertanya, “Tadi bagaimana?”

Sontak Kartini terkekeh, “Tadi baik-baik, kami istirahat.”

“Sudah tiga tahun ya,” seloroh Srikandi, “Apakah Bram baik-baik?”

Kartini serta merta menenggakkan tubuhnya, memandang Srikandi dalam, “Ada apa, An?”

Srikandi mengangkat bahunya, “Ya tidak ada apa-apa, maka aku tanya, apa iya tidak ada apa-apa.”

Kartini tersenyum dan menyenderkan tubuh mereka berdua ke sandaran kursi. Lengan Kartini menarik Srikandi ke dalam pelukannya. Mereka berdua berdiam diri tidak sebentar, saling berpelukan, begitu saja. Srikandi mendengarkan detak jantung Kartini. Detak yang tenang dan tetap. Kartini merasakan hela nafas Srikandi yang lembut dan tenang. Demikian sore itu berlalu dengan hening dan tenang.

“Nanti kita tanya Bram, kalau dia pulang,” seloroh Kartini pelan-pelan, “Tadi pagi kami baik-baik, Bram mengurusku baik-baik.”

“Hm …,” Srikandi menengadahkan kepalanya dan memandang Srikandi, jemari telunjuknya diadu antara jemari kiri dan kanan,” Kalian berhm-hm?” lanjutnya.

Kartini tertawa lembut. Pelukannya semakin erat pada Srikandi. Srikandi menerima kecupan lembut sepanjang pelipis dan kecupan yang lama dan lembut di bibirnya.

“Iya, kalau begitu.” Ujar Srikandi sambil terkekeh, hangat dan bahagia.

“Tadi Pak RT datang lagi, minta KK.”

Srikandi mendengus, “Hah! Kan dulu sudah!”

Kartini geli dengan Srikandi yang tiba-tiba ketus. Dunia Srikandi yang terlampau lama aman diurus oleh Oma membuat Srikandi sering terlepas dari dunia fana yang nyata. Hal-hal seperti administrasi kependudukan sering membingungkannya. Belum lagi antipatinya pada hal-hal yang berbau pemerintahan, pergi ke kelurahan, mengurus surat-surat  ke RT, RW, dan seterusnya, selalu membuat Srikandi kesal dan uring-uringan.

“Itu kan dulu, lima tahun yang lalu, saat kita baru bersama-sama. Aku yang bolak balik ke kelurahan untuk mengurus KK. Ingat?” tanya Kartini sambil terkekeh dan lanjutnya,  “Lalu tiga tahun lalu, setelah Oma meninggal, kita ubah KK lagi, tapi lupa memasukkan Bram.”

“Bram belum bersama kita waktu itu.” Keluh Srikandi.

“Ah iya, benar. Hei, jangan mengeluh. Gak apa-apa, nanti pelan-pelan kita urus langsung ke kelurahan, seperti biasa. Pak RT hanya heran karena Bram kan tinggal di rumah bersama kita.”

“Kan kita saling bersepupu, “ keluh Srikandi lagi.

Kartini tergelak, “Bersepupu, eh?” kilahnya.

“Iya, sepupu yang saling memenuhi hasrat paling purba dari manusia? Hasrat yang paling diatur oleh agama dan negara. Tapi kita di dalam sini merdeka.” Sambung Srikandi pelan, lalu disambung tertawa bahagia.

“Lalu Pak RT?” goda Kartini.

“Biarin!” Srikandi ketus lagi. Kartini tergelak.

***

Makam Oma adalah sebongkah batu alam berbentuk trapesium memanjang berukuran sepanjang tubuh orang dewasa, dan tingginya sekitar 15 cm. Nama Oma, tanggal lahir dan meninggalnya, terukir di bagian atas nisan. Sedikit di bawahnya, terukir kutipan dari Walt Whitman, “When I give, I give myself.”, yang adalah kutipan favorit Oma dan sangat sesuai dengannya.

Lembabnya cuaca menyuburkan lumut yang tumbuh di penampang nisan. Pakis-pakisan juga tumbuh di setiap sudut nisan. Alang-alang tumbuh acak hampir menutupi puring-puringan dan dedaunan pohon teh-tehan. Sedikit benalu tumbuh meliliti batang-batang teh-tehan.

Sore itu matahari bersinar terik dan menghadiahkan bayangan landai memanjang yang memperindah pemakaman. Bayangan ranting-ranting pohon, dan nisan-nisan yang tinggi meneduhkan beberapa sisi tempat Oma bersemayam.

Srikandi duduk santai di pinggir nisan. Tangannya mengelus-elus nisan itu, dalam diam. Lelumutan yang tumbuh di atas ukiran pelan-pelan dikoreknya dengan kuku hingga bersih. Lumut yang tumbuh di tempat lain dibiarkan untuk menyejukkan. Helai-helai kelopak bunga mawar tabur dan kuncup-kuncup melati serta bunga kenanga berjatuhan perlahan di atas nisan. Kartini menaburkan semuanya dengan hati-hati. Bram membuka bir kaleng kesukaan Oma dan menuangkannya di atas nisan. Bir jatuh berkecipakan di atas bunga-bunga dan meninggalkan titik-titik air. Udara yang hangat menguapkan aroma bir, mempertajam wangi bunga tabur. Saat tiba membuka kaleng bir kedua, Srikandi mengambil kaleng itu, bersulang pada Oma dan minum beberapa teguk. Kartini tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Srikandi. Bram menggeram saja.

“Haus, panas.” Kata Srikandi.

Kartini tersenyum dan mengelus pipi dan dagu Srikandi. Srikandi tersenyum dan menuangkan sedikit bir yang masih ada dalam kaleng ke atas nisan. Srikandi kemudian mulai menyiangi alang-alang dan benalu. Sesekali Srikandi memekik geli saat berjumpa dengan serangga dan ulat yang bertebaran. Segera saja tanaman perdu tampak berseri bersih.

Bram dan Kartini duduk hening dan tenang di nisan Oma. Buku kumpulan puisi Walt Whitman tergelak terbuka di pangkuan Kartini. Kartini membacanya serupa mendaras doa. Suaranya mengalun membaca setiap baris. Bram duduk bergeming, menunduk, dan  mendengarkan. Seolah acuh, namun sesaat Srikandi selesai menyiangi perdu, Bram bangkit berdiri dan membuka karung goni berisi pupuk kandang dan mulai menuangkan pupuk sedikit-sedikit di sepanjang perdu yang tumbuh.

Selesainya kerja Bram, selesai pula Kartini mendaraskan puisi. Srikandi duduk termangu-mangu, tampak mengantuk dan wajahnya kemerahan karena udara sore yang hangat. Bertiga mereka duduk mengelilingi nisan.

Tiba-tiba Bram bersuara, “Oma, ini tahun ketiga saya bersama Kartini dan Srikandi.”

Kartini dan Srikandi saling berpandangan bertanya-tanya. Reflek mereka saling menggenggam tangan. Bram tersenyum melihat mereka, menenangkan.

“Bersama mereka saya menemukan adik, kekasih, kakak, ayah, dan ibu, bahkan diri saya sendiri. Mereka merekatkan kembali puing-puing jiwa saya yang pecah. Saya manusia penuh bekas luka yang tak terperi. Pun tetap mereka memeluk dan membungkus bekas luka itu. Pada sore itu Oma, sore terakhir saya bersama Oma, saya tahu saya tak bisa berpisah dengan satu dan hanya bersama yang satu. Oma meyakinkan saya bahwa hal itu tidak apa-apa. Bersama mereka saya utuh. Perjumpaan saya yang singkat dengan Oma membuat saya mampu melihat segala kemungkinan dalam situasi percintaan kami. Saat ini saya hidup dalam kelimpahan jiwa.”

Tangan Bram menyusul tenggelam dalam genggaman tangan Srikandi dan Kartini. Bertiga mereka terdiam, menikmati suara kehidupan, hingga mentari nyaris hilang di balik awan lembayung senja.

***

Curahan hati Bram seolah menjadi penanda babak baru bagi hidup mereka. Tidak ada lagi jiwa yang bersembunyi atau merasa perlu memberi ruang bagi yang lain. Bertiga mereka semakin utuh berbagi jiwa dan raga, sekaligus semakin rapuh satu sama lain. Srikandi adalah dewi yang dipuja sebagai kekasih oleh Kartini dan sebagai saudari oleh Bram. Bram adalah satria pelindung dan kakak bagi Srikandi serta dewa pujaan Kartini. Kartini adalah kekasih bagi Bram dan Srikandi. Berdua mereka memuja Kartini, meletakkan jiwa mereka dalam setiap lekuk rahasia jiwa dan raga Kartini. Betapa kuat sekaligus rentan mereka berbagi dan berkelindan satu sama lain.

Malam ini panas dan bergelora, bagaikan kembang api, bertiga berpijar, bertiga membara, bersama-sama melesat menjelma meteor, berbagi harapan, meluruh menjadi butiran bintang-bintang yang sejuk jatuh ke bumi.

***

Srikandi berjongkok di pojok kebun, asyik membolak-balik tanah humus timbunan dedaunan untuk media tanam. Pot tanaman berbagai ukuran tergeletak di sebelah Srikandi, beberapa sudah terisi tanah.

“Bram,” seru Srikandi, “Ini sudah menumpuk di sini, cepetan!”

Di sisi lain kebun, Bram tampak asyik dengan berbagai bibit di botol-botol kaca yang mungil. Wajahnya tampak serius dan sesekali mengerling jengkel pada Srikandi. Bram bergeming seolah tidak mendengarkan seruan Srikandi. Pot-pot berbagai ukuran berderet rapi di sebelahnya. Pada beberapa pot ada semacam penanda yang bertuliskan nama tanaman yang bibitnya sudah ditanam. Beberapa pot tampak belum ada bibitnya. Mungkin ini sebabnya Bram tak acuh pada panggilan Srikandi.

Kartini duduk membaca di teras. Sesekali matanya mengamati Srikandi dan Bram sambil tersenyum simpul, lalu ia kembali membaca. Lamat-lamat terdengar suara Srikandi memanggil Bram. Pelan-pelan suara mereka menghilang, tertelan suara kata-kata dari buku yang dibacanya. Sore yang ceria, lamat-lamat hangat dan tenang.

Sepercik air membasahi Kartini dan beberapa tetes jatuh membasahi halaman bukunya. Kartini serta merta berhenti dari membaca dan mencari sumber air yang mengganggunya. Kartini menyatukan alisnya, tapi tak bisa lama-lama. Teriakan dan tertawa terbahak memenuhi udara. Bram mengejar Srikandi sambil menyemprotkan air dari selang. Srikandi berlari menghindar sambil tertawa-tawa. Bram lebih cepat, menangkap pinggang Srikandi dan menariknya jatuh ke tanah basah. Sontak mereka berdua bergelimpangan, basah dan kotor oleh tanah. Srikandi dan Bram bergulingan di tanah, saling menggelitiki dan berusaha mengalahkan satu sama lain. Namun kemudian Bram mengalah, membiarkan Srikandi mendudukinya. Udara penuh gelak tawa.

Sore yang hangat telah berganti temaram menjelang senja. Kartini bangkit menyalakan lampu teras. Bram dan Srikandi sudah duduk bersebelahan dengan tenang menikmati sisa sore yang hangat. Mereka sudah rukun lagi, saling berbagi seduhan kopi dingin. Kartini tersenyum dan berjalan mendekati mereka. Bram serta merta menggeser duduknya dari sebelah Srikandi, memberi ruang untuk Kartini. Tanpa peduli pada basah dan kotornya Srikandi dan Bram, Kartini duduk di antara mereka, saling berbagi seduhan kopi dingin. Duduk bertiga saling berpelukan memandang senja yang berangsur datang.

 

Stasiun Jakarta Kota

Penghujung November 2017

 

*Penulis adalah relawan di Perkumpulan Suara Kita dan saat ini menjadi buruh di kantor pelayanan pendidikan. Ia pernah menulis secara random/acak di blog Perempuan Berbagi yang telah punah oleh waktu dan beberapa kegiatan menulis bersama puisi dan/atau cerpen. Beberapa tulisannya bisa dibaca di diksipudji.wordpress.com dan dapat dihubungi via email: pudjitursana@gmail.com

Bagikan

Cerpen Lainnya