Search
Close this search box.

[Kisah] Kemerdekaan Sejati, Kemerdekaan Diri Sendiri

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Umur Kemerdekaan Indonesia saat ini memang sudah memasuki tahun ke-78, namun sayangnya, tak semua warga negara Indonesia sudah merasa merdeka. Contohnya kelompok minoritas identitas gender dan orientasi seksual, setiap hari mereka mendapatkan kekerasan berbasis Sexual Orientation, Gender Identity, Expression & Bodily (SOGIEB).

Merdeka menjadi diri sendiri bagi Lidia (nama samaran) bukan hal yang didapatkan dengan mudah. Pasalnya, Lidia terpaksa pergi dari rumah setelah orang tua tak bisa menerima identitasnya. Hal itu dialaminya secara tiba-tiba saat ibunya ingin menkonfirmasi soal identitas Lidia.

“Disidang beberapa kali oleh orang tua,” cerita Lidia. “Pagi-pagi mama langsung tanya-tanya gitu, ‘lu suka sama perempuan?’ Itu mama seperti menyimpulkan sendiri.” 

Setelah itu, Lidia mengaku keadaan di rumahnya makin panas. Ia diberikan ultimatum oleh orang tuanya. Pilihan antara tetap di rumah, tetapi menyembunyikan identitasnya, atau pergi dari rumah. Karena sudah merasa tertekan, ia akhirnya memilih untuk pergi, tepatnya pada April tahun 2016. 

Beberapa hari sebelum ia memutuskan untuk pergi dari rumah, Lidia sudah mencari informasi mengenai ke mana ia akan berlabuh mencari tempat singgah yang aman. Ia kemudian bertemu dengan Suara Kita melalui situs web Suarakita.org dan rutin berkomunikasi soal langkah apa yang harus dia ambil semisal harus pergi dari rumah.

“Aku bilang ke orang tuaku bahwa aku mau pergi ke tempat orang-orang yang sama seperti aku. Waktu itu, aku nyebutnya shelter,” jelasnya. 

Di Suara Kita, Lidia mendapatkan beberapa bantuan seperti tempat tinggal sementara selama satu bulan dan juga mendapatkan bantuan hukum dari LBH APIK karena sempat mendapatkan teror. 

“Orang tua sempat datang ke kantor, mencari-cariku, tetapi waktu itu aku tidak masuk kerja karena baru saja sampai di Suara Kita. Jadi waktu itu, pihak LBH APIK telepon balik orang tua,” terang Lidia yang kini berdomisili di Jakarta. 

“Waktu itu juga, Suara Kita sempat ingin mencari tokoh agama, namun memang sulit mencari yang bisa mengerti,” tambahnya.

Suara Kita juga kemudian menemui orang tua Lidia sebagai langkah pemulihan hubungan kedua pihak. Meskipun, saat itu belum membuahkan hasil.

Lidia bercerita, butuh waktu selama dua tahun baginya untuk bisa berdiri sendiri lagi. Hal ini ditandai ketika dirinya akhirnya memutuskan untuk pulang di tahun 2018 untuk merayakan Natal dan Tahun Baru bersama keluarganya. 

Lidia mengatakan, penting adanya kehadiran lembaga-lembaga yang bisa membantu kelompok minoritas identitas gender dan orientasi seksual yang mendapatkan kekerasan berbasis SOGIEB. 

“Waktu itu, ada kenalanku yang ingin cari bantuan dan dia bingung mau tinggal di mana. Jadi, kalau ditanya perlu atau tidak, jawabannya perlu banget. Minimal untuk beberapa saat,” kata Lidia. 

Pengalaman Lidia ini juga banyak terjadi pada kelompok minoritas identitas gender dan orientasi seksual. Dari pengalaman-pengalaman itu juga, dapat disimpulkan bahwa konsep “merdeka” bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh dengan mudah. Padahal, hak untuk merdeka adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang.

“Merdeka itu bebas berpikir, bebas berbicara tetapi jangan sampai menyakiti orang lain dan bebas bertindak tetapi harus ada tanggung jawab,” pungkas Lidia.

 

*Penulis pernah terlibat di beberapa buku terbitan Suara Kita. Esa juga adalah kontributor di website Suarakita.org sejak 2013 hingga sekarang. Beberapa pelatihan jurnalistik yang pernah ia ikuti antara lain dari Suara Kita, Jurnal Perempuan, dan Wahid Foundation.