Search
Close this search box.

Mempertanyakan Niat: Pemerintah Indonesia Tidak Berkomitmen untuk Menghapus Kekerasan Seksual

Bissu Makassar (dok. 500px/Rudi Rustam)

Oleh: Sharyn Davies, Alegra Wolter, dan Dédé Oetomo

SuaraKita.org – Dengan menghapus kata “penghapusan” dari RUU kekerasan seksual yang diusulkan di Indonesia, bangsa ini tidak lagi berusaha untuk menghentikan kekerasan seksual, tetapi hanya menghukumnya. Meskipun ada sedikit kemenangan dalam keragaman gender dan seksual di Indonesia selama beberapa dekade terakhir, tindakan nyata masih terbatas. Dengan RUU PKS yang diusulkan, Indonesia tidak lagi berusaha untuk mencegah kekerasan seksual, komitmen bangsa terhadap warganya harus dipertanyakan.

RUU untuk menghapus kekerasan seksual terus melemah. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pertama kali diusulkan pada tahun 2016, dan sementara banyak revisi telah diperdebatkan—paling baru pada tahun 2021—masih belum ada kepastian kapan RUU itu akan disahkan.

Dalam bentuknya yang sekarang, RUU tersebut telah mengalami pengurangan dari sembilan menjadi empat bentuk kekerasan seksual, yang menandakan kegagalan pemerintah Indonesia dan pengadilannya untuk mengambil sikap yang efektif dan etis terhadap kekerasan seksual terhadap warganya sendiri, khususnya terhadap perempuan dan anggota komunitas LGBTQI. Di antara lima bentuk kekerasan seksual yang dihilangkan adalah kawin paksa, aborsi paksa, prostitusi paksa, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Apalagi, RUU tersebut berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang secara gamblang mengisyaratkan bahwa “penghapusan” kekerasan seksual tidak lagi penting. Sekarang memasuki masa jabatan keduanya, Presiden Joko Widodo harus segera mengambil tindakan karena pandemi hanya meningkatkan tingkat kekerasan seksual dan rumah tangga.

Ketika Indonesia menganut demokrasi pada tahun 1998 setelah pengunduran diri paksa pemimpin otoriter Presiden Soeharto, ada banyak harapan untuk kesetaraan gender dan seksual. Sejumlah perubahan penting mulai berlaku sekitar waktu ini, seperti pembentukan komisi urusan perempuan. Tahun-tahun awal demokrasi Indonesia merupakan masa dimana bangsa membangun fondasi yang kokoh bagi seluruh warganya. Memang, Indonesia membangun fondasi ini di atas sejarah yang seringkali secara mengejutkan mendukung pluralitas gender dan seksual.

Sejarah yang Kaya tentang Gender dan Keragaman Seksual

Yang pasti, seperti tempat lain, Indonesia memiliki masa lalu yang kompleks dalam kaitannya dengan gender dan keragaman seksual, tetapi ada bukti bahwa masyarakat kadang-kadang mendukung. Salah satu contoh yang menarik perhatian dunia (termasuk lewat pertunjukan teater karya Robert Wilson berjudul La Galigo ) berasal dari Sulawesi Selatan. Ada bukti tertulis dari misionaris yang bepergian ke Sulawesi Selatan pada tahun 1500-an yang menceritakan tentang pemimpin spiritual bissu androgini yang memperoleh kekuatan dari menggabungkan unsur-unsur perempuan/laki-laki/maskulin/feminin. Bissu Adalah komunitas tokoh spiritual yang telah lama berperan di Sulawesi Selatan, termasuk dalam memfasilitasi pernikahan bangsawan. Jauh dari apa yang disebut sebagai impor Barat, dukungan dan penyertaan gender dan keragaman seksual seperti itu telah ada sebelumnya dalam pengaruh Barat skala besar. Memang, misionaris Eropa-lah yang mencaci – maki pemegang kekuasaan Sulawesi Selatan karena menghormati pemimpin bissu yang berbeda gender dan seksual .

Barat untuk Disalahkan

Terlepas dari sejarah ini, perdebatan kontemporer yang dominan di Indonesia memposisikan keragaman gender dan seksual sebagai impor asing yang tidak diinginkan. Penempatan ekspresi gender atau seksualitas apa pun di luar standar cis-heteronormatif inilah yang membuat pengesahan RUU PKS terhenti . Orang-orang, seperti pemuka agama konservatif dan beberapa politisi, yang menentang RUU ini mengatakan bahwa jika disahkan, tidak banyak yang bisa menghentikan orang-orang di Indonesia untuk berhubungan seks dengan siapa pun yang mereka sukai. Pemikiran sesat ini juga tercermin dalam pelaksanaan pendidikan seksualitas komprehensif yang mencakup unsur persetujuan (consent) dan SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, Sex Characteristics). Misalnya, ada persepsi yang salah bahwa jika kita mengajarkan persetujuan kepada anak-anak kita, itu berarti mendorong kaum muda untuk berhubungan seks, sedangkan mengajarkan SOGIESC berarti mengubah orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Pola pikir yang ketinggalan zaman seperti itu bertentangan dengan fakta bahwa pendidikan seksualitas yang komprehensif sebenarnya melindungi anak dari kekerasan seksual.

Tingginya Tingkat Kekerasan Berbasis Gender

Walaupun temuan utama dari Survei Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) 2016 di Indonesia mengungkapkan bahwa sekitar satu dari tiga perempuan berusia lima belas hingga enam puluh empat tahun pernah mengalami beberapa bentuk kekerasan dalam hidup mereka, suksesi RUU tersebut tetap terhenti. Meskipun data nasional resmi seputar kekerasan terhadap populasi LGBTQI masih kurang, laporan Human Rights Watch mencatat tingkat kekerasan yang mengkhawatirkan dalam domain orientasi seksual dan identitas gender, mulai dari penggerebekan polisi yang sistematis hingga ditelanjangi, diperkosa, dan dibakar hidup-hidup.

Sementara situasinya suram, ada beberapa cerita harapan. Misalnya, BBC baru-baru ini memuat berita yang menampilkan Amar Alfikar, seorang transgender dan pemuka agama Indonesia. Kisah Amar Alfikar menginspirasi di banyak tingkatan, terutama karena ia menunjukkan bagaimana Islam, yang seringkali disamarkan sebagai lawan dari keragaman gender dan seksual, mengakomodasi keragaman tersebut. Memang, ketika misionaris Portugis datang ke Sulawesi Selatan pada abad keenam belas berniat untuk mengkonversi penduduk menjadi Kristen, bissu menyarankan kaum bangsawan untuk menerima tawaran konversi dari utusan Muslim yang ada di sana pada waktu yang sama. Bissu berkata bahwa dalam Islam, mereka dapat melihat tempat bagi diri mereka sendiri yang tidak dapat mereka lihat dalam bentuk kekristenan yang dihadirkan. Alasan lain, tentu saja, berperan dalam masyarakat di Sulawesi Selatan yang masuk Islam dan bukan Kristen. Namun, patut dicatat bahwa orang Portugis menyebut bissu sebagai penghalang utama misi mereka.

Penguatan konservatisme agama dan politik, yang didasarkan pada ideologi seksis, homofobik, dan transfobik yang kuat membuat RUU Kriminalisasi Kekerasan Seksual di Indonesia sulit disahkan. Dalam banyak hal, sungguh menggembirakan melihat kantong keragaman bertahan dari tekanan pandemi. COVID-19 telah memberikan dampak yang merugikan dan mematikan bagi perempuan dan komunitas LGBTQI di Indonesia. Akses ke perawatan seksual dan reproduksi rutin, termasuk kontrasepsi hormonal, pengobatan ARV, kondom, dan program penjangkauan populasi rentan, secara signifikan berkurang sebagai sumber sekarang dialihkan ke Tanggap COVID-19. Ketika orang-orang datang ke fasilitas kesehatan untuk perawatan atau vaksinasi COVID-19, banyak yang mengalami dilema nyata untuk mengungkapkan kondisi kesehatan yang mendasarinya, seperti HIV, karena takut secara historis ditolak karena status kesehatan mereka yang unik. Perempuan transgender, yang menjadi target kekerasan yang paling terlihat, memiliki akses terbatas ke perawatan kesehatan karena diskriminasi yang mencolok dan kurangnya akses ke dokumentasi hukum, karena beberapa dipaksa meninggalkan rumah pada usia muda.

Kekurangan RUU

Awalnya diusulkan pada 26 Januari 2016, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) diusulkan untuk membantu melindungi warga negara Indonesia dari kekerasan seksual. RUU PKS juga awalnya bertujuan untuk mencegah kekerasan seksual dan memberikan lebih banyak hak kepada penyintas, termasuk penyintas perkosaan dalam pernikahan. Komnas Perempuan dan Forum Penyedia Layanan merupakan pengusul awal RUU PKS. Namun sejak 2016 melemah di pengadilan. Pada tahun 2020, Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan pembahasannya dengan alasan “kesulitan.”

Versi Agustus 2021 memiliki beberapa perbedaan dari aslinya. Misalnya, sekarang hanya lima bentuk kekerasan seksual yang diakui, bukan sembilan seperti aslinya. Kelima bentuk tersebut adalah: Pelecehan Seksual (Pasal 2), Penggunaan Paksa Alat Kontrasepsi (Pasal 3), Hubungan Seksual Paksa (Pasal 4), Eksploitasi Seksual (Pasal 5), dan Tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan tindak pidana lainnya (Pasal 5). Pasal 6). Sungguh tragis bahwa fokusnya sekarang murni pada penuntutan tindak pidana dan tidak, pada tingkat mana pun, pada pemberantasan kekerasan seksual sejak awal.

Ada beberapa kekurangan dari RUU tersebut. Misalnya, RUU yang direvisi menawarkan sangat sedikit perlindungan bagi penyintas kekerasan seksual. Aparat penegak hukum dapat berbuat sangat sedikit untuk mendukung para korban, dan ini hanya melanggengkan posisi mengerikan yang dialami para korban. RUU yang direvisi juga memberikan sedikit bantuan kepada kementerian atau lembaga untuk mendukung para penyintas. Pemerintah tidak diberi mandat untuk mendukung korban dan tidak ada peraturan yang memaksa mereka untuk mendukung korban. Selain itu, RUU yang direvisi tidak mewajibkan layanan seperti Pusat Layanan Terpadu untuk mendukung korban. Peran layanan dukungan seperti paralegal untuk membantu korban telah dihapus. RUU yang direvisi tidak mendukung kepentingan dan kebutuhan khusus para korban penyandang disabilitas. Dengan demikian, tidak ada dukungan untuk juru bahasa isyarat atau bantuan psikologis. Terakhir, RUU yang direvisi tidak mengatur kekerasan gender berbasis online.

Namun demikian, sangat penting bahwa pemerintah Indonesia harus mengabaikan suara-suara yang berbeda dan menyadari urgensi pengesahan RUU ini, meskipun dalam versi yang dipermudah undang-undang tersebut hanya memberikan sedikit perlindungan dari kekerasan seksual. Pengesahannya akan menjadi langkah pertama dalam memastikan keselamatan warganya di negara mereka sendiri.

Sharyn Davies adalah Direktur Herb Feith Indonesian Engagement Center di Monash University dan telah lama mendukung kesetaraan gender dan seksualitas di nusantara.

Alegra Wolter adalah seorang dokter medis dan aktivis transgender asal Indonesia yang menjabat sebagai Ketua Dewan Penasehat Perkumpulan Suara Kita. Pekerjaan komunitasnya berfokus pada berbagai kampanye kesehatan dalam spektrum gender dan keragaman seksual.

Dédé Oetomo adalah Pembina pada organisasi LGBTQI Yayasan GAYa NUSANTARA dan Dosen Ajun bidang gender dan seksualitas di Universitas Airlangga.

 

Sumber:

GJIA Georgetown University