SuaraKita.org – Melakukan advokasi Kartu Tanda Penduduk (KTP) ternyata tidak cukup berdasar komitmen pemerintah saja, tapi diperlukan sinergi antara pemerintah dengan komunitas target penerima manfaat. Dirjen kependudukan dan catatan sipil Kemendagri RI sudah mengeluarkan surat edaran (SE) berkaitan proses pembuatan KTP bagi komunitas transgender di seluruh Indonesia. Bapak Zuhdan, selaku Dirjen Dukcapil Kemendagri Republik Indonesia sudah mempromosikan perihal itu melalui media sosial, khususnya tiktok.
@kumparan
Surat edaran juga sudah disebarkan dan disampaikan kepada seluruh Disdukcapil baik propinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Dapat dipastikan seluruh Disdukcapil Propinsi, Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia mengetahui perihal itu semua.
Tetapi, apakah kebijakan itu membuat komunitas transgender datang “berbondong-bondong” ke kantor Disdukcapil untuk mengurus KTP? Ternyata tidak, karena masih ada hambatan lainnya. Komunitas transgender, khususnya transpuan yang tidak memiliki KTP juga punya permasalahan sendiri. Pada umumnya, mereka individu transpuan yang miskin, berpendidikan rendah, dan memiliki trauma masa lalu atas stigma atau identitasnya sebagai transpuan.
Selain persoalan ekonomi (tidak ada transport untuk datang ke kantor Disdukcapil) hal yang paling substansial bagi mereka adalah “kehilangan” kesadaran atas hak dan kewajiban sebagai warga negara. Sikap politik sebagai warga “luntur” bahkan sebagian hilang. Tentu ini ada sebab mendalam kalau ingin dibongkar lebih jauh. Hal ini adalah satu petunjuk khas dari sikap politik (baik sadar atau tak sadar) dari kelompok yang terpinggirkan secara sistematis dalam waktu lama.
Maka untuk menjawab persoalan ini, menurut saya perlu ada perlakuan lain, yang sifatnya kreatif. Misalnya perlu ada kehadiran “focal point'” atau kader sesama komunitas transpuan di masing-masing wilayah Propinsi, Kabupaten atau Kota. Komunitas transpuan yang menjadi “focal point’ juga harus diorganisir secara sistematis dan teknis mengenai cara-cara membantu teman transpuan lainnya mendapatkan akses KTP. Tugas utama para “focal point” selain berkoordinasi dengan pihak disdukcapil setempat, juga membantu mencari, mendorong, mengajak, sampai mengantarkan setiap individu transpuan yang akan mengurus KTP ke kantor Dukcapil setempat.
Anda atau kita mungkin berpikir, kok manja sekali ya komunitas transpuan? Sampai didampingin sangat detail seperti itu, bahkan sampai disediakan transportasi? Itulah salah satu kekhasan dari persoalan dasar dari kelompok marginal, dalam hal ini transpuan. Mungkin kelompok marginal lainnya punya kekhasan lain. Maka gerakan “jemput bola” dengan mendatangi komunitas rentan, yang dilakukan oleh team Dirjen Dukcapil untuk akses Adminduk bagi warga rentan, perlu diapreasiasi. Disitulah satu indikator kehadiran negara untuk warganya.
Pada kelompok rentan, ada sistem sosial, ekonomi, politik yang sengaja atau tak disadari meminggirkan kehidupan mereka, baik pada level mikro sampai makro. Akhirnya setiap individu transgender kehilangan segala akses dan kesadaran politiknya sebagai warga negara.
Aparat pemerintah seperti Dirjen Dukcapil dan aparatnya, secara individu atau kebijakan mungkin tidak berniat melakukan tindakan peminggiran. Namun fakta realitas masih menunjukkan adanya kesenjangan itu. Diskriminasi yang menimpa kelompok marjinal, tidak hanya tidak didukung dengan kebijakan politik formal (pada yang tampak saja), tetapi juga karena sistem sosial masih memandang kelompok marjinal dengan stigma.
Disitulah penting setiap dari kita, khususnya pemerintah dapat memahami secara mendalam kebutuhan khas dari setiap kelompok marginal atau rentan ketika akan membuat dan penerapan suata kebijakan. Hal ini disebabkan fakta bahwa setiap kelompok marginal atau rentan masing-masing memiliki karakter yang berbeda dan tidak akan sama satu dengan yang lainnya.
Jakarta, 13 September 2021
Hartoyo, pendiri Suara Kita