Search
Close this search box.


SuaraKita.org – Dalam rangka menciptakan lingkungan yang inklusif dalam sistem pendidikan, 27 sekolah, termasuk 25 sekolah negeri, telah disertifikasi sebagai sekolah yang “trans-friendly” alias ramah terhadap transgender.

Perkembangan ini terjadi setelah selama lebih dari 8 bulan para kepala sekolah di Delhi diperkenalkan dengan pengetahuan identitas transgender dan hak mereka, dan juga kepekaan akan kebutuhan dan dukungan yang diperlukan oleh siswa transgender.

Proyek jangka panjang yang bernama ‘Purple Board’ ini diinisiasi oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan dirayakan dalam sebuah malam penghargaan dengan tujuan membuat pendidikan dapat diakses dengan bebas oleh transgender, juga anak-anak yang kebingungan dengan gender mereka. Hal ini dapat dicapai dengan menghadirkan isu transphobia dan lebih jauh lagi mengidentifikasi masalah dan menghentikan perudungan terhadap transgender.

Penghargaan yang diberikan berupa sebuah bendera dengan warna biru, merah muda dan garis putih horizontal yang melambangkan komunitas transgender. Selain itu penghargaan ini merupakan sebuah simbol bahwa langkah-langkah kecil telah diambil untuk membuat lingkungan sekolah yang inklusif, khususnya bagi transgender dan anak-anak yang belum yakin dengan gendernya.

LSM Society for People’s Awareness Care and Empowerment (SPACE) memulai proyek ini dengan Direktorat Pendidikan, pemerintah New Delhi dan proyek ini didukung oleh Kedutaan Besar Kerajaan Belanda.

Pada bulan Oktober tahun lalu, para kepala sekolah menghadiri sebuah lokakarya yang diselenggarakan oleh SPACE dan seiring dengan berjalannya waktu lokakarya ini juga diberikan kepada guru-guru. Selain itu, hal yang dilakukan selama lokakarya adalah interaksi pribadi dengan siswa dari kelas 9 sampai kelas 12 dalam 4-5 lokakarya yang dilakukan di sekolah.

Dalam lokakarya tersebut juga, anggota SPACE yang transgender mencoba mengedukasi dan meningkatakan kepekaan siswa dalam pemahamannya tentang transgender dan permasalahan yang mereka temukan di sekolah.

Aktivitas yang menarik yang mereka lakukan untuk menghilangkan keraguan dari para siswa adalah sebuah kotak dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh anak-anak, tanpa mencantumkan nama mereka mengenai transgender, kata direktur SPACE, Anjan Joshi.

“Guru diminta untuk maju ke depan selama sesi dan siswa akan diminta untuk memasukkan pertanyaan, ke dalam kotak, yang tidak ingin mereka tanyakan secara terbuka. ‘Apakah transgender punya anak?’ adalah salah satu contoh pertanyaan yang ada. Banyak anak-anak yang coming out sebagai transgender lewat pesan anonim mereka. Pada awalnya, banyak kepala sekolah yang tidak menerima lokakarya ini untuk diadakan dengan alasan sekolah mereka tidak memiliki siswa yang trans. Kenyataannya tidak ada satu sekolah pun yang di mana anaknya tidak datang kepada kami dan mengaku trans,” kata Anjan.

Ketika ditanya apakah ada siswa yang menghalangi jalannya lokakarya ini, Anjan menjawab, “Tidak ada sama sekali. Tetapi, ada 3 sekolah swasta yang hanya mengizinkan lokakarya yang pertama. Mereka tidak terima dengan pemikiran berinteraksi dengan siswa dan keluar dari proyek ini.”

Salah seorang siswa kelas 12 SMA negeri India, Salma, juga menyampaikan pendapatnya.

“Ketika saya melihat transgender, saya berpikir bagaimana caranya mereka berperilaku secara berbeda dengan kita. Kemudian saya sadar bahwa mereka sama saja seperti kita, dan mereka hanya mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Perasaan mereka berbeda dengan tubuh mereka ketika dilahirkan. Mereka seharusnya dapat bersekolah di sekolah yang sama dengan kita dan merasa aman,” jelas Salma. (K.O)

Sumber:

ITNews