Search
Close this search box.

   

SuaraKita.org – Angola telah mendekriminalkan homoseksualitas – 133 tahun setelah pasal yang melarang hubungan sesama jenis dimasukkan dalam hukum pidana negara ketika negara Afrika barat daya itu masih merupakan koloni Portugis. Yang dalam hukumnya pelaku dapat dijebloskan ke penjara.

Anggota parlemen yang memilih untuk merombak hukum pidana Angola tidak hanya menghapus bagian itu. Mereka juga melarang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual.

Reformasi ini dipuji oleh para aktivis hak asasi manusia yang telah mendorong hak yang setara bagi komunitas LGBT di Angola dan negara-negara Afrika lainnya.

Kejahatan atas dasar kebencian masih merajalela

” Associacao Iris Angola ,” sebuah organisasi yang mengadvokasi hak-hak LGBT yang didirikan pada tahun 2013, telah diberikan pengakuan hukum pada tahun 2018. Pimpinan organisasi Carlos Fernandes menyambut baik langkah menghapuskan undang-undang yang berasal dari tahun 1886. Namun, ia menambahkan, dibutuhkan lebih banyak untuk melindungi kaum homoseksual di Angola. Hingga empat anggota komunitas LGBT terbunuh dalam tiga tahun terakhir, katanya.

“Saya pikir sekarang ada kerangka hukum untuk mengejar pelaku kejahatan homofobik,” katanya.


Meskipun Angola tidak menuntut homoseksual dan lesbian dalam beberapa dekade terakhir, hubungan sesama jenis masih dianggap tabu oleh pemerintah konservatif Angola, sebagian besar karena pengaruh kuat Gereja Katolik. Itu mungkin menjadi bagian dari alasan mengapa ketentuan anti-homoseksualitas tidak diubah sebelumnya.

Waktunya untuk perubahan

“Politisi mungkin memperhatikan sudah waktunya untuk mengubah hukum pidana dan memperbaruinya untuk mencerminkan zaman sekarang,” kata Neela Ghoshal dari organisasi hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch (HRW).

Dia menambahkan bahwa tidak ada perdebatan besar dalam masyarakat Angola sehubungan dengan perubahan karena kesadaran dan toleransi terhadap hubungan sesama jenis sudah ada. Keputusan pemerintah untuk juga melarang diskriminasi “menunjukkan bahwa itu bukan hanya penerimaan pasif atas hak-hak LGBT, tetapi juga perlindungan aktif yang bukan sesuatu yang telah kita lihat di banyak negara lain,” katanya. “Ini sangat tidak biasa.”

Orang-orang yang menolak untuk mempekerjakan orang lain karena orientasi seksual mereka sekarang dapat menghadapi tuntutan dua tahun penjara.

Bagaimana sikap Afrika?

Menurut HRW, ada tanda-tanda bahwa negara-negara lain di kawasan Afrika yang siap untuk mendekriminalisasi homoseksualitas – dan sebagai hasilnya mereka tidak menghadapi banyak reaksi dari masyarakat.

Negara Afrika tenggara, Mozambik, misalnya, melegalkan homoseksualitas pada tahun 2015. Mozambik juga merupakan bekas jajahan Portugis dan membatalkan ketentuan yang sama saat itu. Tapi Mozambik masih tidak melangkah lebih jauh selain memberikan pengakuan hukum untuk Lambda, satu-satunya organisasi LGBT di negara ini.


Organisasi hak asasi manusia di negara – negara Afrika lainnya seperti Kenya dan Botswana saat ini berjuang melawan diskriminasi hukum terhadap homoseksual di pengadilan. Di Zimbabwe situasinya menjadi sedikit melunak sejak Robert Mugabe kehilangan kekuasaan – ia adalah salah satu kekuatan pendorong dalam membangkitkan kebencian terhadap kaum homoseksual. HRW mengatakan pemerintah baru telah bertemu dengan kelompok-kelompok LGBT.

Namun komunitas LGBT masih menghadapi diskriminasi yang merajalela di Uganda , kata Neela Ghoshal. “Banyak politisi mendapat dukungan dari pemilih karena sikap negatif mereka terhadap kaum homoseksual,” katanya, seraya menambahkan ia tidak percaya pemerintah akan mengubah sikap mereka dalam waktu dekat. Uganda dikenal dengan kekejamannya menganiaya homoseksual dan sering menjatuhkan hukuman penjara yang berat.

Sebaliknya, pendekatan Afrika Selatan terhadap homoseksualitas jauh lebih liberal – setelah apartheid, negara ini adalah negara pertama di dunia yang mengubah konstitusi untuk melarang diskriminasi terhadap orientasi seksual. Pada tahun 2006, Afrika Selatan menjadi negara Afrika pertama (dan negara kelima di dunia) yang mengizinkan pernikahan sesama jenis. Meski begitu, anggota komunitas LGBT di Afrika Selatan masih sering mengalami kekerasan dan beberapa bahkan terbunuh, menurut HRW.

“Pemerintah hanya sedikit bertindak untuk membantu mengubah opini publik,” kata Neela Ghoshal. “Itu akan menjadi tantangan bagi semua negara.”

Harapan untuk perubahan di Namibia

Tetangga Afrika Selatan, Namibia, masih menghukum homoseksualitas. Itu sebabnya Marc Thema (34) warga Namibia, memutuskan untuk menikahi pasangannya di Afrika Selatan. Dia menawarkan saran kepada orang muda melalui media sosial.

“Tidak masalah dengan siapa aku menikah, tidak masalah dengan siapa aku tidur,” katanya. “Aku lelaki yang bahagia menikah. Jika kamu mau bertanya, aku akan memberitahumu aku menikah dengan lelaki.”


Dan komunitas LGBT di Namibia sedang tumbuh. Parade pride pertama diadakan sekitar tiga tahun yang lalu. “Kami benar-benar pada titik di mana bahkan kepala inspektur kepolisian ingin melakukan pelatihan keberagaman di kepolisian untuk menjelaskan bahwa mereka ada di sana untuk semua warga Namibia, tidak peduli orientasi seksualnya,” kata Friedel Dausab, yang mengepalai organisasi hak asasi manusia Out Right Namibia.

“Aku percaya bahwa pernikahan untuk semua masih akan tiba waktunya dalam hidupku.” (R.A.W)

Sumber:

DW