Search
Close this search box.

[Kisah] Bukan Salah Mario

Oleh: Jon Mario*

SuaraKita.org – Pagi ini adalah pagi yang cerah untuk menceritakan siapa diriku dan bagaimana aku bertahan hidup sampai detik ini aku dapat menulis tulisan ini di laptop bulukku walaupun aku baru saja bangun tidur.

Namaku Clara. Tetapi aku lebih nyaman dipanggil dengan sebutan “Mario”. Aku berusia 22 tahun. Aku kuliah di salah satu kampus di Yogyakarta. Fyi, aku tidak suka dipanggil dengan nama asliku, ya, Clara. Karena aku merasa diriku ini adalah seorang lelaki. Aku selalu risih apabila ada yang memanggilku dengan sebutan nama itu.

Ada beberapa temanku yang memanggilku dengan sebutan “Clara” dan secara spontan aku langsung tidak respect kepada mereka. Entah kenapa. Tapi ya sudahlah. Ya walaupun aku tahu, itu adalah nama pemberian kedua orangtuaku, tapi entah kenapa aku tak suka dipanggil dengan sebutan “Clara”.

Bukannya aku tidak menghargai kedua orang tuaku, tetapi….yaaa..aku merasa aku ini lelaki, jadi aku tak pantas bila dipanggil dengan nama perempuan seperti itu.

Sejak sebelum aku lahir, Opa dan Papaku menginginkan anak pertama lelaki di hasil pernikahan Papa dan Mamaku. Kenapa? Karena Papaku berasal dari luar jawa, sehingga Papa berharap supaya anak pertamanya adalah anak lelaki, agar dapat menurunkan marga penerus. Sampai-sampai Opa dan Papaku sudah menyiapkan nama lelaki untukku, yaitu Mario atau Domang. Ya, hingga akhirnya yang keluar dari rahim ibuku adalah aku. Seorang bayi merah yang memiliki jenis kelamin perempuan. Hmm..Opa dan Papaku sedikit kecewa dengan hal itu. Begitu cerita dari Papaku sendiri.

Sejak kecil, aku selalu diberi mainan lelaki, contohnya adalah mainan gitar-gitaran. Selain itu, selama aku remaja ini, Papa sangat sering membelikanku  pakaian lelaki, seperti, kaos lelaki, jaket, sepatu, motor. Aku merasa nyaman dengan perlakuan Papa yang seperti itu kepadaku.

Orientasi seksual

Kelas 5 SD. Aku merasa ada yang berbeda dengan diriku. Aku menyukai perempuan.

“Yang benar saja, masak aku suka dengan perempuan,” kurang lebih seperti itu batin ku saat itu.

Aku menyukai kakak kelasku dan tetangga depan rumahku dulu sebelum aku pindah ke rumah yang sekarang. Saat itu aku benar-benar bingung. Aku menganggap diriku ini gila dan tidak normal. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat itu. Aku berusaha untuk mengelak dengan apa yang kurasakan, tetapi hasilnya nihil. Aku tetap menyukai perempuan.

Hingga akhirnya di masa SMP aku mengenal yang namanya internet. Aku browsing mengenai diriku sendiri. Ternyata aku masuk dalam kategori LGBT. WOW. Aku memiliki kelompok dan orientasi seksual yang berbeda dengan orang pada umumnya. Kalau dibaca dari penjelasannya, aku masuk dalam label lesbian butch.

Seiring dengan berjalannya waktu, aku makin tidak menyukai memakai pakaian perempuan. Pakaian yang ketat dan rok yang membuat kakiku silir [1] dengan adanya angin. Aku lebih menyukai memakai kaos oblong dengan celana kolor. Simple.

Kelas 2 SMP aku memangkas rambutku seperti lelaki. Dan kalian tahu apa hasilnya? Mamaku kaget dan marah. Hmm.. Sudah kuduga.

Dinamika Kehidupan Setelah Itu

Aku sekarang sudah beranjak dewasa. Mamaku sudah mengerti mengenai orientasi seksualku sejak tahun 2014 kemarin. Ya, aku yang memberitahunya. Mamaku tidak marah, tetapi mamaku menangis. Aku adalah anak yang paling tidak bisa melihat Mamaku menangis. Hingga saat itu aku ikut menangis. Jadi, di kamar kosku, aku dan Mamaku sama-sama menangisi keadaan. Sejak itu Mamaku menyuruh aku untuk kembali ke jalan yang benar (menurutnya), yaitu menyukai lelaki.

“Iya Ma.” Aku hanya mengiyakan permintaan mamaku. Tetapi tidak bisa. Aku tetap mencintai seorang lelaki. Sampai detik ini aku menulis tulisan yang kamu baca.

Oktober 2017, aku memberanikan diri untuk bilang kepada Mamaku bahwa aku masih mencintai perempuan. Aku tak bisa memenuhi keinginan Mama untuk mencintai lelaki dan membangun keluarga kecil yang harmonis dengan lelaki tersebut.

Sejujurnya, aku merasa risih dan jijik dengan lelaki. Karena aku menganggap diriku ini lelaki, dan ingin memiliki perempuan sebagai pasangan hidupku.

Saat itu Mamaku sangat terpukul. Mama tidak dapat menyimpan kesedihannya sendirian, sehingga Mama menceritakan ini semua ke Papa, tanpa sepengetahuanku. Tapi aku tahu kalau sebenarnya Papa tahu mengenai orientasi seksualku.

Tempo hari aku secara diam-diam membuka handphone Mama dan melihat percakapan mereka di WA, di sana mereka sedang membicarakan aku dan orientasi seksualku dan Mama terlihat sangat terpukul dengan orientasi seksual yang ada dalam diriku. Perubahan Mama sangat terlihat. Mama menjadi seorang yang pendiam, dan suka menyendiri di kamar.

“Maafin aku Ma, aku enggak bisa jadi apa yang kayak Papa Mama pengen, tapi aku janji aku bakal bahagiain Papa Mama dengan caraku sendiri. maafin aku Ma,” begitulah suara ku dalam hati saat itu. Aku merasa bersalah. Aku benar-benar tidak tega melihat mama seperti itu. Aku sangat sayang mamaku.

Di kampus, di jalan, di kos, di mana pun itu aku selalu memikirkan Mama. Sampai aku benar-benar merasa tidak ingin pulang ke rumah. Di rumah aku tidak tega melihat Mama seperti itu. Tapi saat itu pacarku bilang kalau aku harus tetap pulang ke rumah. Pacarku adalah orang yang mengerti keadaanku saat itu.

“Aku sayang sama Mama, sama keluarga, tetapi kenapa aku terlahir seperti ini. Kenapa aku terlahir sebagai perempuan secara biologis namun memiliki ekspresi gender maskulin dan menyukai perempuan? Kenapa aku menyakiti hati Mama. Tetapi aku juga tidak bisa bahagia apabila aku harus menjalin sebuah hubungan dengan lelaki, itu akan menjadi mimpi buruk bagiku”

Aku sempat marah dengan Tuhan. Di dalam kamar kos sendirian, aku menangis. Aku bilang kepada Tuhan kenapa dulu Tuhan tidak melahirkan aku sebagai lelaki yang tulen saja. Dengan kehidupanku yang seperti ini aku merasa bingung dengan segalanya, sampai-sampai ketika aku pengen pipis di tempat umum, seperti mall, pom bensin atau apapun aku selalu bingung aku harus masuk ke dalam kamar mandi perempuan atau kamar mandi lelaki.

Aku merasa diriku ini lelaki, pernah beberapa kali aku selalu masuk ke dalam kamar mandi lelaki dengan perasaan was-was takut apabila mereka (pengguna kamar mandi lainnya) mengetahui bahwa secara biologis aku ini perempuan. Sehingga saat aku berada di kamar mandi lelaki aku langsung masuk ke dalam bilik yang disediakan untuk orang BAB.

Namun, ketika aku masuk ke kamar mandi perempuan, aku merasa tidak nyaman, aku merasa itu bukan diriku dan tidak seharusnya aku berada di situ. Pernah beberapa kali juga aku masuk kamar mandi perempuan, aku ditegur mengapa aku masuk ke kamar mandi perempuan. Dan mereka mengira bahwa aku salah masuk kamar mandi. Hingga aku harus bersuara terlebih dahulu supaya mereka paham bahwa aku perempuan. Jujur, aku capek dengan keadaan yang membuatku bingung. Kenapa harus setengah-setengah seperti ini.

Jika aku ini lelaki tulen, aku tidak akan bingung seperti sekarang, aku tidak akan mengecewakan kedua orang tuaku dan tiap malam minggu aku sudah dapat ngapelin pacarku di rumahnya tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti sekarang bahkan jika aku lelaki tulen aku sudah dapat melamar pacarku dari kemarin. Gila. Kenapa aku harus terlahir setengah-setengah seperti ini.

Aku merasa stres waktu itu, aku ingin bunuh diri tetapi aku tidak bisa meninggalkan Mama dan keluarga serta pacarku begitu saja, itu namanya aku pecundang.

Hingga akhirnya aku tetap bertahan hidup dengan segala pikiran yang ada.

***

Semakin kesini aku semakin dikekang oleh kedua orang tuaku. Aku tidak diperbolehkan untuk potong rambut. OH GOD. Aku sangat-sangat tidak nyaman dengan rambut panjang atau rambut tebal. Itulah alasanku kenapa aku selalu melanggar larangan Papa dan Mamaku untuk tidak potong rambut.

Setiap aku merasa rambutku sudah tebal, aku selalu potong pangkas di barber langgananku tanpa sepengetahuan papa dan mama. Tetapi, setiap hari Sabtu aku selalu pulang ke rumah, jadi ya sama saja Papa dan Mama akan tahu kalau aku potong rambut. Dan sudah kuduga lagi bagaimana respon mereka. Papa marah-marah, Mama sedih, nangis dan memasang ekspresi muka yang membuatku tidak tega. Hal seperti ini selalu aku hadapi setiap aku potong rambut. Selalu…

Mas.

Jujur, sejak dulu aku sangat suka dipanggil mas. Ya sekali lagi aku katakan, karena aku merasa aku ini seorang lelaki. Di mana pun itu aku suka dipanggil dengan sebutan mas, bang, tole, pak, dan semacamnya.  Tetapi rasa senangku ini tidak dirasakan oleh Mama. Setiap ada orang yang memanggilku “Mas” di depanku dan di depan Mama, Mama selalu sedih. Hingga suatu ketika Mama bicara

“Kamu tahu enggak nak, hati Mama hancur ketika orang lain menganggapmu lelaki, karena Mama yang melahirkanmu.”

Hmm.. ya seperti biasa, aku juga ikutan sedih apabila Mama seperti itu, tapi ya gimana lagi, aku suka dipanggil mas, apa Mama nggak tahu  itu? Hiks ….

Dosen dan pendeta

Ketika benar-benar stres mengenai rasa bersalahku terhadap Mama, aku merasa buntu dengan pikiranku. Hingga akhirnya aku menghubungi pihak Suara Kita untuk bertanya apakah ada layanan sesi konseling. Lalu admin Suara Kita memberikan kontak seorang Pendeta yang bernama Mercy. Beliau dari Jakarta dan kami sudah sempat berkomunikasi melalui WA. Aku sangat ingin bertemu dengan Pendeta Mercy untuk menceritakan segalanya yang membuatku sesak akhir-akhir ini.

Tiba-tiba bulan Maret 2018, Pendeta Mercy memberiku kabar gembira untukku, yaitu beliau akan datang ke Jogja karena ada sebuah urusan dan beliau akan menyempatkan waktu untuk bertemu denganku, puji Tuhan doaku dijawab oleh Tuhan. Segeralah kami membuat janji hari dan tempat untuk bertemu. Hingga akhirnya hari tersebut pun tiba, aku bertemu dengan Pendeta Mercy.

Aku menceritakan mengenai kehidupanku sejak awal saat aku mulai suka dengan perempuan sampai aku bercerita mengenai beban pikiran mengenai rasa bersalahku terhadap Mama yang membuatku tertekan. Saat itu aku ingin menangis, tetapi aku gengsi. Hmm.. tapi air mata ini akhirnya keluar secara perlahan bak air menetes dari keran kamar mandi yang bocor ketika Pendeta Mercy mendoakan aku agar aku dapat hidup dengan pilihanku dan tetap kuat dalam menjalani kehidupan yang banyak beban.

“Kamu kenapa merasa bersalah dengan Mama?”

“Karena aku sudah membuat Mama menangis, bu. Aku nggak tega melihat Mama menangis” begitulah jawabanku.

“Lalu, menurutmu, apakah yang Kamu pilih saat ini adalah suatu hal yang salah, Mario?”

“Tidak Bu”

“Nah, lantas apa yang membuatmu merasa bersalah? Kalau Kamu merasa bersalah itu berarti apa yang Kamu jalani saat ini adalah suatu hal yang salah. Mengenai Mama yang terus menerus mengekang Kamu dan melarang Kamu potong rambut, serta sering menangis dan menyendiri itu adalah sikap bahwa Mama belum dapat menerima orientasi seksualmu, jadi bukan semata-mata Kamu salah dan menjalani suatu hal yang salah. Mama hanya perlu waktu. Toh sekarang Kamu tetap diterima kan di rumah, tetap dianggap sebagai anak kan? Hanya saja Mama Papa belum bisa menerima orientasi seksualmu, Mario.”

Jawaban Pendeta Mercy membuat mataku melek dan hatiku lega. Aku tersadar aku harus apa sekarang dan aku sudah mendapatkan penjelasan yang membuatku dapat berdiri tegak kembali.

“Tetapi Bu, bisa nggak kira-kira Mama Papa menerima orientasi seksualku suatu hari nanti?” tanyaku dengan menahan tangis.

“Bisa saja Mario, asalkan Mama Papa memiliki kasih yang besar dari pada rasa benci terhadap orientasi seksualmu.”

Percakapan itulah yang aku ingat sampai sekarang. Jawaban Pendeta. Mercy sangat membekas di hati. Sejak itu, aku berusaha untuk cepat lulus agar aku dapat membahagiakan Papa Mama dengan caraku sendiri. Selain itu, aku jadi tidak merasa bersalah lagi, karena yang aku jalani saat ini bukanlah suatu kesalahan. Bahkan Tuhan saja mengasihi semua umat-Nya, tanpa membeda-bedakan. Aku hanya menjalani apa yang aku rasakan dari dalam diri, aku seorang yang menyukai dan mencintai wanita.

Selain bertemu dengan pendeta, aku memiliki sahabat baik yang selalu ada untuk aku dan care terhadap permasalahanku, bahkan permasalahan asmara sekalipun. Beliau adalah Mas Tatung, seorang dosen psikolog klinis. Beliau mengerti mengenai orientasi seksualku dan beliau sempat bertemu dengan Mama ketika aku menyarankan Mama untuk bertemu dengan dosen yang sangat memahami aku serta orientasi seksualku.

Saat bertemu dengan Mas Tatung, Mama meminta Mas Tatung agar dapat “menyembuhkan” aku. Namun, Mas Tatung tidak mengiyakan permintaan Mama. Karena menurut Mas Tatung, orientasi seksual bukanlah sebuah penyakit. Mama sangat keras orangnya. Ya begitulah..

Melalui Mas Tatung aku makin memiliki teman-teman yang senasib denganku. Mereka adalah sepasang butch dan fem,  serta seorang transman yang sekarang jadi teman sharing-ku di beberapa kampus. Kami sering berkunjung ke kampus-kampus untuk menceritakan kehidupan kami sebagai kelompok LGBT dan pergumulan kami dalam menghadapi orang-orang yang homophobic. Aku melakukan itu tanpa sepengetahuan Mama dan Papaku pastinya.

***

Kini aku menjalani hidupku dengan hati yang tegar, meskipun kadang masih tidak tega melihat Mama yang suka memasang wajah sedih dan masih merasa jengkel ketika Papa marah setelah melihat model rambutku yang makin pendek. Mungkin dia tidak mau aku lebih ganteng darinya haha.. (pikiranku selalu aku bawa santai apabila aku sudah merasa sesak dengan semuanya)

Kini aku mengucap syukur kepada Tuhan karena telah melahirkan aku seperti ini. Karena dengan hidup seperti ini, aku jadi orang yang kuat dengan kata-kata pedas dari orang lain yang mengejek dan memandang aku sebelah mata. Aku percaya Tuhan memiliki rencana sendiri dalam hidupku. Terkait dengan keluargaku, aku akan tetap seperti ini, dengan jalanku yang membuat aku bahagia dan enjoy menjalani hidup. Aku hanya berharap keluargaku dapat menerima orientasi seksualku suatu hari nanti dan dapat menerima hubunganku dengan pacarku saat ini.

“Pa, Ma, aku ingin bahagiain Papa Mama dengan caraku sendiri”

Untuk pacarku, terima kasih telah menjadi tumpuan saat aku jatuh. Terima kasih karena kamu, aku jadi kuat. Kalau kamu baca tulisanku saat ini, kamu jangan geer, aku tidak sedang gombalin kamu, tapi aku benar-benar bersyukur dapat memiliki kamu, perempuan yang berusaha sempurna di depan mataku. Aku mencintaimu dan aku mengasihimu.

Untuk Kamu para pembaca yang hebat yang sedang membaca tulisanku saat ini, apapun orientasi seksualmu, apapun latar belakangmu, aku cuman mau bilang sama Kamu,  

“Jangan sedih dengan apa yang Kamu jalani saat ini, karena Kamu nggak sendirian. Jangan berhenti untuk berharap, karena apa yang Kamu punya dan jalani saat ini adalah pemberian dari Tuhan. Jangan Kamu sedih karena kamu berbeda. Tetapi banggalah karena kamu berbeda sedangkan mereka yang sama hanya bisa memaki dan menyakiti orang lain.”

Atau bahkan kamu yang membaca tulisanku saat ini adalah seorang heteroseksual, aku mau bilang:

“Terima kasih karena sudah mau membaca tulisanku, dan tetaplah rangkul orang-orang yang ada di sekitarmu, mungkin di antara mereka ada seorang yang merasa minder atau galau dengan orientasi seksualnya. Rangkul mereka, beri mereka dukungan” (R.A.W)

[1] silir‘ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah rasa sejuk karena ada angin yang bertiup perlahan-lahan

*Penulis lahir di Dili dan sekarang sedang menempuh pendidikan sarjana psikologi di salah satu universitas di Yogyakarta.